Adab Diskusi

Oleh Bahron Ansori, jurnalis MINA

Ketika dijadikan sebagai salah satu cara efektif dalam mencari kebenaran, maka mutlak dirumuskan syarat dan dalam berdiskusi, agar tujuan menggapai ridha Allah dalam penelitian dapat terealisir.

Adab berbeda pendapat itu ialah : pertama, tidak mendahului fardhu ain (yang harus dikerjakan setiap orang) dengan fardhu kifayah yang menjadi otoritasnya dalam standar syar’iy. Ada ulama yang mengatakan, “Barangsiapa yang belum melaksanakan fardhu ain lalu ia menyibukkan diri dengan fardhu kifayah, dan menganggapnya mencari kebenaran, maka anggapannya itu dusta.”

Kedua, tidak mendiskusikan sesuatu kecuali yang waqi’iy (faktual) atau yang mungkin terjadi pada umumnya. Para salaf hanya mendiskusikan sesuatu yang terjadi atau mungkin terjadi.

Ketiga, dialog tertutup lebih baik dari pada forum terbuka di hadapan para pembesar maupun penguasa. Suasana tertutup lebih mencerminkan mahabbatullah (cinta Allah) dan kejernihan hati dan perasaan untuk memperoleh kebenaran.

Sedang dalam forum terbuka akan mendorong kecenderungan seseorang untuk riya’ atau semangat mengalahkan lawan, benar atau salah. Akibatnya, yang dicari bukan lagi kebenaran tetapi saling menjatuhkan satu dengan yang lain.

Keempat, dialog atau diskusi harus diniatkan semata-mata untuk mencari kebenaran. Tidak boleh membedakan sikap apakah kebenaran itu muncul dari dirinya atau dari orang lain. Memandang teman bicara sebagai pendamping mencari kebenaran bukan lawan yang harus dikalahkan.

Bersyukur ketika ia bisa menunjukkan kesalahan dan menawarkan kebenaran. Umar bin Khatthab setelah menetapkan jumlah bilangan mahar, lalu ditegur oleh seorang wanita yang menolak ketetapan itu, kata Umar, “Betul wani-ta itu dan Umar salah.” As Syafi’iy berkata, “Saya tidak pernah berdiskusi dengan siapapun, kecuali saya berharap agar kebenaran akan keluar darinya”

Kelima, tidak menghalangi pihak lain menggunakan satu dalil ke dalil lain, atau dari satu problem ke problem lain. Tujuannya, tentu semata-mata ingin meraih kebenaran dengan sebenar-benarnya, tidak sekedar benar menurut satu pihak atau pihak lain.

Keenam, tidak melakukan diskusi kecuali dengan orang yang dianggap akan dapat diambil ilmunya. Artinya, seorang yang berdiskusi dengan orang lain, tidak semata-mata ingin mengetahui apa alasan orang lain sehingga ia memegang teguh kebenarannya. Tetapi paling tidak, dari diskusi tersebut, seseorang bisa meraih ilmu dari orang yang diajaknya berdiskusi. Intinya, ada take and give di antara kedua pihak.

Dengan memperhatikan adab dan syarat dalam berdiskusi ini maka spirit mahabbah fillah (cinta karena Allah) dan Ta’awun (kerja sama) untuk mencapai kebenaran akan terealisir. Semoga para pemimpin negeri ini benar-benar mema-hami adab-adab dalam berdiskusi sehingga keputusan-keputusan yang diambil akan melahir-kan kebijakan yang bisa memberi manfaat bagi rakyat kecil. (RS03/P1)

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Wartawan: Bahron Ansori

Editor: Ismet Rauf

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.