Adab Seorang Da’i (1)

Oleh Bahron Ansori, wartawan MINA

Memilih hidup menjadi da’i adalah sebuah kemuliaan. Baik buruknya umat ini, berkaitan erat bagaimana dakwah yang dilakukan oleh para da’i. Karena itu, membekali diri sebelum terjun ke dunia dakwah bagi setiap orang yang memilih profesi ini (da’i), adalah sebuah kewajiban. Bagaimana mungkin seorang yang tak berilmu akan membagikan ilmunya kepada orang lain yang juga tak berilmu? Bagaimana mungkin seseorang yang tak berlilin akan menerangi orang lain? Begitulah da’i.

Sebelum ia terjun ke rimba kehidupan bermasyarakat, sejatinya dia membekali dirinya dengan berbagai bekal. Selanjutnya, bekal yang sudah dimiliki seorang da’i belum bisa dibilang cukup bila ia masih belum pula memahami -adab Seorang Menjadi seorang Da’i. Berikut ini setidaknya beberapa adab yang perlu diketahui oleh seorang da’i agar dakwahnya berhasil. Adab-adab itu antara lain sebagai berikut.

Pertama : Ikhlas di dalam dakwah

Ikhlas adalah sebuah keharusan dalam menjalankan dakwah ke jalan Allah Azza wa Jalla. Ikhlas merupakan adab yang paling agung dan merupakan esensi dakwah serta merupakan pondasi keberhasilan amal dakwah. Dakwah ke jalan Allah adalah ibadah untuk bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, sedangkan ikhlas merupakan salah satu syarat diterimanya suatu ibadah,

وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاء وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ

Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (Qs. al-Bayyinah : 5)

Seorang da’i terlarang beramal atas dasar riya’ (pamer agar dilihat orang) dan sum’ah (pamer agar didengar orang). Jangan pula untuk mengambil dunia dan reruntuhan yang fana (tidak kekal) lagi akan lenyap. Hendaklah lisannya senantiasa mengucapkan :

قُلْ مَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ

Katakanlah: Aku tidak meminta upah sedikitpun kepada kamu dalam menyampaikan risalah.” (Qs. al-Furqon : 57)

Jangan mencari harta dalam dakwah, kedudukan dan jangan pula syuhroh (popularitas). Namun wajib baginya beramal hanya mengharapkan wajah Allah Ta’ala semata.

Kedua : Ilmu

Ilmu adalah hal penting dan utama yang wajib dicari oleh seorang da’i sebelum ia menyampaikan dakwahnya. Tentu saja yang dimaksud ilmu di sini utamanya adalah ilmu syariah, yang diwariskan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam. Hendaklah ia berdakwah di atas bashiroh (keterangan yang jelas), karena Allah berfirman,

قُلْ هَذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَاْ وَمَنِ اتَّبَعَنِي وَسُبْحَانَ اللّهِ وَمَا أَنَاْ مِنَ الْمُشْرِكِينَ

Katakanlah: Inilah jalan (agama)ku, Aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan Aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik”. (Qs. Yusuf : 108)

Allah sendiri telah menetapkan di dalam kitab-Nya yang mulia tentang pentingnya bagi para du’at untuk mempelajari ilmu syar’i, sebagaimana dalam firman-Nya Ta’ala :

وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنفِرُواْ كَآفَّةً فَلَوْلاَ نَفَرَ مِن كُلِّ فِرْقَةٍ مِّنْهُمْ طَآئِفَةٌ لِّيَتَفَقَّهُواْ فِي الدِّينِ وَلِيُنذِرُواْ قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُواْ إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ

Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya bila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” (Qs. at-Taubah: 122)

Ilmu syar’i itu wajib bagi setiap muslim, tapi kewajibannya lebih ditekankan dan diharuskan lagi bagi da’i, karena perkaranya tidak dikhususkan hanya melulu kepadanya, tapi juga kembali kepada selainnya. Oleh karena itu, seseorang harus berupaya memahami tingkatan yang memadai tentang hakikat Islam dan hukum-hukum syariat, sehingga manusia menjadi yakin dengan ilmunya dan menerima dakwahnya.

Ketiga : Mengamalkan Ilmu

Mengamalkan ilmu adalah hal yang penting di dalam kehidupan seorang da’i. Seorang da’i tanpa amal bagaikan seorang pemanah tanpa busur. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala sendiri telah mencela orang-orang yang berupaya melakukan perbaikan terhadap manusia tapi melupakan diri mereka sendiri,

أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنسَوْنَ أَنفُسَكُمْ وَأَنتُمْ تَتْلُونَ الْكِتَابَ أَفَلاَ تَعْقِلُونَ

Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri, padahal kamu membaca Al Kitab (Taurat)? Maka tidaklah kamu berpikir?” (Qs. al-Baqarah : 44)

Dan firman-Nya yang lain,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ كَبُرَ مَقْتًا عِندَ اللَّهِ أَن تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ

Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” (Qs. ash-Shaff: 2-3)

Bila seorang da’i adalah orang yang shalih (lurus) dan mustaqim (jujur) terhadap dirinya sendiri, maka manusia akan bersegera menerima ucapannya dan mendengar perkataannya, dan ia akan menjadi orang yang berpengaruh terhadap masyarakat.

Keempat : Mendahulukan yang prioritas

Sesuatu yang pertama kali diserukan oleh para rasul ‘alaihim ash-Sholatu was Salam adalah dakwah kepada aqidah shahihah, karena aqidah shahihah merupakan pondasi. Allah Ta’ala berfirman,

وَمَا أَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ مِن رَّسُولٍ إِلَّا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدُونِ

Dan kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu melainkan kami wahyukan kepadanya: “Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan aku, Maka sembahlah olehmu sekalian akan aku”.” (Qs. al-Anbiya’: 25)

Bila aqidah telah lurus, mereka menyeru kepada perkara-perkara agama lainnya, baik berupa perkara-perkara yang fardhu (wajib), nafilah (sunnah), adab dan selainnya. Untuk itu wajib bagi setiap da’i supaya mendahulukan yang prioritas di dalam dakwahnya, dan yang demikian ini merupakan sebab-sebab diperolehnya kesukesan di dalam dakwah.

Kelima : Sabar

Sabar merupakan penopang yang paling kuat bagi seorang da’i yang sukses. Seorang da’i itu membutuhkan kesabaran sebelum, ketika dan setelah berdakwah. Dengan inilah Allah memerintahkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam, Ia berfirman,

فَاصْبِرْ كَمَا صَبَرَ أُوْلُوا الْعَزْمِ مِنَ الرُّسُلِ

“Bersabarlah kamu sebagaimana bersabarnya ulul azmi dari para rasul.”

Sabar di dalam dakwah kedudukannya bagaikan kepala terhadap jasad. Maka tidak ada dakwah bagi orang yang tidak memiliki kesabaran sebagaimana tidak ada jasad bagi orang yang tidak memiliki kepala.

Seorang da’i harus bisa bersabar atas dakwahnya dan terhadap apa yang ia dakwahkan, karena dakwah ke jalan Allah adalah jalan yang dipenuhi dengan kesukaran-kesukaran dan kesulitan-kesulitan. Seorang da’i, ia pasti akan menghadapi berbagai bentuk gangguan, hinaan dan cercaan, bila ia sabar terhadapnya, maka ia adalah seorang imam yang patut diteladani, Allah Ta’ala berfirman,

وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا وَكَانُوا بِآيَاتِنَا يُوقِنُونَ

Dan kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah kami ketika mereka sabar dan adalah mereka meyakini ayat-ayat kami.” (Qs. as-Sajdah : 24)

Telah ada pada kekasih kita Shallallahu ‘alaihi wa Sallam uswah hasanah (panutan yang baik) bagi diri kita, beliau telah melangsungkan dakwahnya selama 23 tahun, berdakwah menyeru kepada Allah siang dan malam, secara diam-diam maupun terang-terangan. Namun, tidak ada satupun yang dapat memalingkan beliau dari dakwahnya dan tidak ada pula yang dapat mengehentikan upaya beliau.

Beliau mendapatkan berbagai kesulitan dan gangguan dari kaumnya, sampai-sampai gigi serinya patah, pipinya terluka. Bahkan suatu hari sempat sebilah pedang telah dihunuskan pada dadanya. Namun ia tetap bersabar dengan kesabaran yang belum pernah dialami nabi sebelumnya. Ia senantiasa menyebarkan agama Allah dan menegakkan jihad terhadap musuh-musuh Allah.

Bersabar atas segala gangguan yang menimpa, sehingga Allah kokohkan kedudukannya di bumi dan Allah menangkan agamanya dari semua agama serta Allah menangkan umatnya dari seluruh ummat.(A/RS3/P1)

bersambung…

(Sumber: Buku Bekal Bagi Para Di Jalan Dakwah, karya Faqihuz Zaman al-Imam al-‘Allamah Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rh.)

Mi’raj News Agency (MINA)