Adakah pro-Palestina dalam Pertikaian Internal Zionis?

Ilustrasi: Warga Israel memprotes Perdana Menteri Benjamin Netanyahu di luar kediaman resmi perdana menteri di Yerusalem, pada 25 Juli 2020. (Olivier Fitoussi)

Oleh: Robert Inlakes, analis politik, wartawan, dan pembuat film dokumenter

Setiap hari Sabtu jumlah orang yang keluar untuk memprotes rezim baru yang dipimpin oleh Benjamin Netanyahu terus meningkat, yang menyebabkan beberapa kebingungan internasional mengenai apa artinya ini ? Dan bagaimana hal ini akan mempengaruhi rakyat Palestina. Jawabannya ada beberapa dugaan, tapi satu hal yang pasti, protes sama sekali bukan tentang Palestina.

Sabtu lalu, 21 Januari 2023, media mencatat bahwa sekitar 110.000 pengunjuk rasa Israel berdemonstrasi menentang pemerintahan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu. Kehadiran beberapa bendera Palestina, di antara lautan bendera Israel, pada demonstrasi “Tel Aviv” telah menyebabkan kebingungan mengenai apa arti protes tersebut dan apakah ada arus meningkat di seluruh populasi Zionis.

Unsur pertama yang harus dibahas di sini, adalah klaim bahwa entah bagaimana ada unsur pro-Palestina dalam demonstrasi yang sedang berlangsung melawan Netanyahu.

Meskipun ada sejumlah kecil kaum Kiri Israel yang membawa bendera Palestina, tidak ada indikasi bahwa sejumlah besar pengunjuk rasa bersimpati dengan penderitaan rakyat Palestina. Bahkan jika ribuan orang membawa bendera Palestina, atau memendam simpati, protes itu bertentangan dengan kebijakan yang dianggap membahayakan kekuasaan Zionis Israel.

Meskipun rezim Benjamin Netanyahu menjadi pemerintahan Zionis sayap kanan paling keras dalam sejarah, pencopotannya dari kekuasaan tidak akan menguntungkan rakyat Palestina secara substantif.

Oposisi Israel dipimpin oleh Yair Lapid, yang merupakan Perdana Menteri interim hingga Desember tahun lalu.

Kemudian politisi oposisi terbesar kedua adalah Benny Gantz, mantan menteri perang dan memimpin militer Israel dalam berbagai operasi pembantaian terhadap Jalur Gaza, terparah pada tahun 2014.

Penduduk Zionis, yang tinggal di tanah Palestina yang telah dibersihkan secara etnis, terutama kecewa dengan dua hal; Benjamin Netanyahu dan beberapa mitra koalisinya.

Selain kebijakan terkait rencana perombakan peradilan Israel, entitas Zionis tidak memiliki konstitusi dan terbuka untuk reformasi yang tak terhitung jumlahnya pada sistem hukumnya, sesuatu yang ingin dimanfaatkan oleh Netanyahu untuk keuntungan individu dan meneruskan agenda kubu Zionis sayap kanan.

Di sisi lain, oposisi Israel – dengan kata lain, kubu sayap kanan moderat – percaya bahwa upaya reformasi hukum rezim Netanyahu membahayakan sifat “Demokrasi” mereka, sedangkan kubu sayap kanan berpendapat bahwa “demokrasi telah berbicara” melalui keputusan mereka untuk memilih Netanyahu dan sayap kanan dalam pemilu November tahun lalu.

Semua ini untuk mengatakan, demonstrasi adalah mengenai serangkaian perselisihan internal dalam gerakan Zionis, tidak ada yang mengadvokasi hak asasi manusia Palestina.

Bahkan, bagian dari keprihatinan yang telah disuarakan oleh oposisi Israel, adalah bahwa sifat ekstrim dari kebijakan terhadap Palestina dan pelemahan Otoritas Palestina, dapat membahayakan keamanan Israel dan menyebabkan Intifada Ketiga, yang sangat tidak mereka inginkan.

Sebaliknya, kubu oposisi bermaksud mempertahankan status quo, menjaga warga Palestina di bawah pendudukan, mempertahankan apartheid, dan perlahan-lahan mengerjakan program pembersihan etnis mereka.

Zionis liberal ini berusaha agar isyu Palestina perlahan memudar ke latar belakang saat mereka melanjutkan dengan masalah lain dan tidak ingin menangani masalah ini secara langsung

Mereka lebih suka mempertahankan status quo dan kadang-kadang menjalankan operasi militer seperti yang terjadi pada 18 tahun terakhir.

Demonstrasi dan aksi anti-Netanyahu secara umum dapat membuat perbedaan bagi rakyat Palestina, dan ini membawa pada cara rezim beroperasi. Pertarungan antara oposisi Israel dan koalisi yang berkuasa dapat mengakibatkan kekerasan di jalan-jalan, aksi pemogokan, dan membuat Zionis saling bertikai. Bahkan dalam koalisi Netanyahu, pemikir yang lebih strategis dari partai Likud yang berkuasa sudah merasa sulit untuk berurusan dengan orang-orang seperti Itamar Ben-Gvir dan Bezalel Smotrich dari aliansi Zionisme Religius, yang mengambil langkah-langkah irasional yang memicu ketegangan.

Pekan lalu misalnya, pasukan polisi pendudukan Israel mengevakuasi sebuah pos pemukim ilegal yang dibangun di tanah Palestina dekat Nablus, sebuah langkah yang diambil oleh Menteri Perang Israel Yoav Galant yang memilih untuk mengabaikan seruan dari Bezalel Smotrich untuk menunda pengungsian. Insiden ini menjadi titik ketegangan antara aliansi Zionisme Religius dan koalisi Netanyahu lainnya.

Bagaimana perpecahan di antara elit publik dan politik Zionis ini akan mempengaruhi orang-orang Palestina adalah dalam efek destabilisasi dan dalam membuat rezim dapat diprediksi, sehingga lebih mudah untuk menyusun strategi. Pasukan perlawanan Palestina sekarang memiliki musuh yang jauh lebih emosional dan lebih dapat diprediksi, provokasi para ekstremis dalam pemerintahan Netanyahu juga pasti akan membawa lebih banyak masyarakat Palestina menentang kebijakannya.

Jika Israel berperang satu sama lain, setengah dari publik Zionis tidak memiliki kepercayaan pada penguasa mereka, dan seluruh struktur rezim didasarkan pada emosi yang dapat diprediksi. Namun, jika pemberontakan datang dari rakyat Palestina, itu mungkin memiliki efek yang jauh lebih besar secara keseluruhan.

Jika situasi lain, seperti yang terjadi pada Mei 2021; di mana orang-orang Palestina di dalam wilayah pendudukan 1948 dan Al-Quds yang diduduki turun ke jalan, mengorganisir aktivitas pemogokan, selain konfrontasi bersenjata strategis yang terjadi, “Tel Aviv” akan berada dalam posisi yang lemah dan rentan.

Selain itu, provokasi pemerintahan baru atas Al-Aqsa ini mungkin berakhir dengan menarik kekuatan luar untuk berpartisipasi dalam pertempuran melawan militer Israel, yang akan memiliki konsekuensi yang menghancurkan bagi entitas Zionis.

Meskipun konflik internal ini tidak segera berdampak apa-apa bagi warga Palestina, demonstrasi massa dan perpecahan, dari pihak Zionis dapat dimanfaatkan dan dijadikan lawan yang lebih mudah.

Sudah diketahui umum bahwa Palestina tidak memiliki kemampuan senjata melawan penjajah mereka, tetapi dengan kemampuan yang mereka miliki mereka masih mampu memberi kekalahan strategis, seperti yang kita lihat selama pertempuran Saif al-Quds pada Mei 2021. (AT/RI-1/P1)

Sumber: Al Mayadeen

 

Mi’raj News Agency (MINA)

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.