Pagi itu Nuradi Indra Wijaya (42) sudah siap dengan kendaraan yang juga berfungsi sebagai perpustakaan keliling. Pria yang akrab disapa Adi tersebut memodifikasi kendaraan bermotor beroda tiga yang biasa digunakan sebagai pengangkut barang menjadi perpustakaan bergerak.
Motor buatan China berwarna biru, ia rombak sehingga memiliki kontainer di bagian belakangnya. Di dalam kontainer tersebut, terdapat beberapa rak tempat buku-buku diletakkan. Rak-rak buku tersebut didesain khusus sehingga dapat diputar ke arah luar agar buku-buku mulai dari buku agama, pertanian, sejarah, novel, hingga filsafat ia bawa hari itu, mudah terlihat.
Pagi itu Adi mengunjungi dusun Lojajar Kecamatan Ngemplak Sleman, sekitar 20 menit perjalanan dari rumahnya. Ia segera menuju rumah kepala dusun Lojajar. Di teras rumah kepala dusun tersebut, Adi memarkir perpustakaannya.
Puluhan anak telah menunggu Adi dan perpustakaannya. Sesaat kemudian, tampak anak-anak berdesakan melihat-lihat dan mengambil buku yang mereka minati. Beberapa anak juga terlihat mengembalikan buku yang mereka pinjam minggu sebelumnya. Dalam waktu yang tidak lama terlihat anak-anak duduk di tempat-tempat yang teduh sambil asyik membaca buku-buku mereka.
Baca Juga: Wawancara Eksklusif Prof El-Awaisi: Ilmu, Kunci Pembebasan Masjid Al-Aqsa
Beberapa orang tua juga tampak melihat-lihat koleksi perpustakaan Adi sambil sesekali ngobrol dengannya. Adi tidak segan berbagi pengalaman tentang menumbuhkan budaya membaca di kalangan anak-anak kepada beberapa orang tua yang datang.
Dari Keluarga Yang Mencintai Buku
Adi sudah lebih dari 10 tahun mengabdikan diri sebagai pegiat literasi, berjuang dari dusun ke dusun menumbuhkan kegemaran membaca di kalangan anak-anak maupun orang dewasa.
“Benar-benar pengabdian, saya beli buku-buku dan peralatan ini dengan uang sendiri, tidak pernah memungut uang sepeser pun dari masyarakat,” kata ayah dua anak tersebut.
Baca Juga: Amalan Sunnah pada Hari Jumat
Ia memang terlahir dari keluarga yang mencintai buku. Belanja buku bagi Adi dan keluarganya adalah aktivitas rutin. Semangat berbagi mendorongnya untuk mengajak orang lain turut serta membaca buku-bukunya.
Tahun 2010 dengan uang pribadinya ia membuka taman bacaan sederhana di rumahnya di jalan Kaliurang, Kecamatan Ngemplak Sleman. Di tempat tersebut ia juga membuka usaha berjualan material bangunan untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarganya.
Taman bacaan yang ia beri nama ‘Mata Aksara’ terbuka untuk umum. Di tempat tersebut ia juga sering memberikan ceramah tentang manfaat menumbuhkan minat baca anak-anak dan pendidikan anak usia dini kepada para tetangga sekitarnya.
“Biar generasi muda di kampung kami jadi generasi yang tingkat literasinya tinggi, generasi yang cinta membaca dan menulis,” ujar pria yang pernah gagal menyelesaikan pendidikan di Universitas Negeri Yogyakarta tersebut.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-8] Mengajak Kepada Kalimat Syahadat
Keluarganya turut mendukung perjuangannya. Istrinya, Heni Wardatur Rohmah, memutuskan mengundurkan diri dari pekerjaannya sebagai sekretaris di Universitas Gajah Mada Yogyakarta, untuk bersama-sama mengurus Mata Aksara.
“Dulu istri saya sekretaris Pak Pratikno yang sekarang jadi Mensesneg, akhirnya istri memutuskan berhenti kerja dan ikut ngurus taman bacaan kami,” kenang Adi.
Selain mengurus taman bacaan, Adi juga rajin berkeliling dari kantor desa yang satu ke kantor desa yang lain untuk mendorong pemerintah desa membuat perpustakaan desa. Ia sering juga menawarkan konsep penumbuhan minat baca masyarakat ke sejumlah instansi pemerintah.
“Pernah menawarkan konsep-konsep ke kementerian pendidikan, kelautan, atau kementerian desa. Beberapa instansi tertarik, tapi belum ada tindak lanjut,” kata pria kelahiran 5 Februari 1975 tersebut.
Baca Juga: Tertib dan Terpimpin
Menuai Apresiasi
Beberapa tahun terakhir ini, perjuangannya di bidang literasi, mulai menuai apresiasi dari berbagai pihak. Pada 2015, Perpustakaan Nasional Indonesia menganugerahinya dengan penghargaan Nugra Jasadarma Pustaloka, sebuah penghargaan tertinggi yang diberikan kepada para pejuang literasi.
Beberapa penerbit juga rutin mengirimkan buku-buku terbitan mereka kepada Mata Aksara. Hal ini, menurut Adi sangat membantu operasional lembaganya. Adi juga sering diundang untuk hadir dalam berbagai kegiatan terkait literasi seperti peringatan Hari Aksara Internasional ataupun seminar dan lokakarya.
Kini, Mata Aksara yang dulunya hanya berupa taman bacaan berkembang menjadi tempat belajar yang lengkap. Adi menamainya dengan Rumah Pintar Mata Aksara. “Tidak hanya buku-buku, di tempat kami juga tersedia berbagai permainan edukatif dan alat peraga pendidikan,” ujarnya.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-7] Agama itu Nasihat
Adi bertekad terus berjuang di bidang literasi sampai tua, dan berharap anak-anaknya dapat meneruskan apa yang telah dirintisnya ini. “Sampai tua sampai tubuh ini nggak kuat lagi, insya Allah kalau ikhlas berjuang untuk masyarakat, bisa jadi amal kami,” kata pria yang saat ini sedang menyelesaikan pendidikan pascasarjana di Universitas Terbuka ini dengan nada serius. (T/R05/RS1)
(Sumber: Laman resmi Kemdikbud)
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Baca Juga: Ada Apa dengan Terpilihnya Trump?