MUDIK merupakan tradisi yang telah mengakar kuat dalam budaya masyarakat Muslim, khususnya di Indonesia. Setiap tahun, jutaan orang melakukan perjalanan pulang kampung untuk bersilaturahmi dengan keluarga dan kerabat. Namun, agar mudik tidak hanya menjadi aktivitas sosial semata, penting untuk menjadikannya sebagai ibadah yang bernilai di sisi Allah. Islam mengajarkan bahwa setiap aktivitas, termasuk perjalanan, dapat bernilai ibadah jika dilakukan dengan niat yang benar dan sesuai dengan tuntunan syariat.
Pertama, niat yang ikhlas menjadi kunci utama dalam menjadikan mudik sebagai ibadah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya amal itu tergantung pada niatnya, dan setiap orang akan mendapatkan sesuai dengan apa yang diniatkannya.” (HR. Bukhari dan Muslim). Dengan demikian, jika mudik dilakukan dengan niat bersilaturahmi, berbakti kepada orang tua, dan menyambung ukhuwah Islamiyah, maka perjalanan ini akan bernilai ibadah.
Kedua, menjaga akhlak dan adab selama perjalanan. Islam mengajarkan agar setiap Muslim bersikap santun dan tidak merugikan orang lain. Dalam kondisi perjalanan mudik yang sering kali padat dan melelahkan, penting untuk tetap bersabar, menghindari emosi berlebihan, serta berbuat baik kepada sesama pemudik. Rasulullah ﷺ bersabda, “Orang yang kuat bukanlah yang menang dalam perkelahian, tetapi yang mampu menahan amarahnya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Ketiga, memastikan sumber biaya mudik berasal dari rezeki yang halal. Allah berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman! Makanlah dari rezeki yang baik yang Kami berikan kepadamu…” (Qs. Al-Baqarah: 172). Membiayai perjalanan mudik dengan harta yang halal akan membawa keberkahan dan ketenangan dalam perjalanan, serta menjauhkan diri dari keburukan.
Baca Juga: Tadabur Surah Muhammad: Kebatilan Tidak Punya Akar Hanya akan Punah dan Binasa
Keempat, menjaga shalat selama perjalanan. Salah satu tantangan dalam mudik adalah keterbatasan waktu dan tempat untuk beribadah. Namun, Islam memberikan keringanan dalam shalat, seperti qashar (meringkas) dan jama’ (menggabungkan) shalat bagi musafir. Allah berfirman, “Dan apabila kamu bepergian di bumi, maka tidaklah berdosa kamu mengqashar shalat…” (Qs. An-Nisa: 101). Dengan menjaga shalat, perjalanan akan lebih diberkahi dan selamat.
Kelima, memperbanyak dzikir dan doa selama perjalanan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan doa ketika bepergian, seperti: “Maha Suci Allah yang telah menundukkan kendaraan ini untuk kami, padahal kami sebelumnya tidak mampu menguasainya. Dan sesungguhnya kami akan kembali kepada Tuhan kami.” (Qs. Az-Zukhruf: 13-14).
Membaca doa sebelum berangkat dan berdzikir di sepanjang perjalanan akan mendatangkan perlindungan serta ketenangan hati.
Keenam, menjaga keselamatan dan tidak membahayakan diri sendiri maupun orang lain. Islam sangat menekankan pentingnya menjaga nyawa. Allah berfirman, “Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan…” (Qs. Al-Baqarah: 195). Oleh karena itu, pemudik harus memastikan kendaraan dalam kondisi baik, mematuhi aturan lalu lintas, serta tidak memaksakan diri saat lelah.
Baca Juga: Panduan Zakat Fitrah, Niat dan Pelaksanaannya
Ketujuh, berbagi dengan sesama dalam perjalanan. Islam menganjurkan untuk menolong sesama, terutama dalam kondisi perjalanan yang melelahkan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barang siapa yang membantu kebutuhan saudaranya, maka Allah akan membantu kebutuhannya.” (HR. Muslim). Saling membantu dalam perjalanan, seperti berbagi makanan, memberi tempat duduk kepada yang lebih membutuhkan, atau sekadar membantu mengangkat barang, merupakan bentuk ibadah sosial.
Kedelapan, menghindari perilaku yang sia-sia dan maksiat selama mudik. Perjalanan sering kali menjadi waktu luang yang diisi dengan berbagai aktivitas. Seorang Muslim hendaknya mengisi perjalanan dengan hal yang bermanfaat, seperti membaca Al-Qur’an, mendengarkan kajian Islami, atau berdiskusi hal-hal positif. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Di antara tanda baiknya keislaman seseorang adalah meninggalkan hal yang tidak bermanfaat.” (HR. Tirmidzi).
Kesembilan, menjaga adab saat bertemu keluarga dan kerabat. Silaturahmi dalam Islam bukan sekadar berkunjung, tetapi juga harus diiringi dengan akhlak mulia. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barang siapa yang ingin diluaskan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, maka hendaklah ia menyambung silaturahmi.” (HR. Bukhari dan Muslim). Saat berkumpul, hendaknya menjaga lisan, menghindari ghibah, serta mempererat hubungan dengan cara yang baik.
Kesepuluh, memanfaatkan momen mudik untuk berdakwah dan menyebarkan kebaikan. Bertemu keluarga dan kerabat adalah kesempatan untuk menanamkan nilai-nilai Islam, baik melalui nasihat, keteladanan, maupun diskusi yang bermanfaat. Allah berfirman, “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik…” (Qs. An-Nahl: 125).
Baca Juga: Membongkar Rencana Busuk Zionis Yahudi untuk Palestina dan Dunia Islam
Kesebelas, menjadikan mudik sebagai ajang evaluasi diri. Perjalanan jauh sering kali memberi ruang untuk merenung dan bermuhasabah. Seorang Muslim hendaknya memanfaatkan kesempatan ini untuk mengevaluasi ibadah, hubungan dengan keluarga, serta perbaikan diri ke depan. Dengan menjadikan mudik sebagai refleksi, diharapkan perjalanan ini bukan sekadar pulang kampung, tetapi juga menjadi perjalanan spiritual yang mendekatkan diri kepada Allah.
Dengan memahami dan mengamalkan prinsip-prinsip ini, mudik tidak hanya menjadi rutinitas tahunan, tetapi juga menjadi sarana ibadah yang membawa berkah dan manfaat bagi diri sendiri serta orang lain.[]
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Spirit Ramadhan Harapan Indonesia Terang