Oleh M. Jundullah Alfaatih, Siswa SMA kelas XII An-Nahl Gunung Putri, Kab Bogor, pemerhati media sosial.
Sebagai anak yang dilahirkan di era digital, saya hidup dalam situasi serba canggih, mudah dan modern. Di satu sisi, itu adalah kemudahan yang harus disyukuri sebagai bagian dari episode takdir saya. Tetapi ada kegundahan yang dirasakan, jika penggunaan sosial media berdampak pada ketidakseimbangan diri.
Dalam tulisan ini, Saya ingin menyorot platform media sosial Tiktok. TikTok dirancang agar manusia suka dan nyaman menggunakannya. Fitur-fiturnya membuat banyak orang ketagihan untuk terus melihat tayangan-tayangan yang ditampilkan. Hal itu karena tayangan dibuat sedemikian rupa agar terlihat ramah sehingga dapat menimbulkan adiksi pada otak.
Namun, platform ini banyak sekali mendapat cibiran dengan berbagai alasan. Banyak negara telah memutuskan untuk memblokir TikTok di wilayahnya. Selain dapat merusak moral dan mental, Tiktok juga dapat merusak nalar.
Baca Juga: Saatnya Wanita Generasi “Z” Beraksi
Di tahun 1980-an ke belakang, otak manusia harus bekerja ekstra secara manual untuk mendapatkan informasi atau kepuasan. Manusia harus mencari buku ke sana-sini untuk mendapatkan satu informasi, atau harus menggerakkan badannya ke suatu tempat untuk menonton layar tancap atau menghadiri pesta, dan sebagainya.
Memasuki abad ke-21, tahun 2000-an, teknologi telah memberikan fasilitas alternatif yang membuat manusia mudah menemukan sumber informasi yang diinginkan. Cukup dengan mengetik kata kunci di Google atau YouTube, maka ia akan mendapatkan apa yang dibutuhkannya.
Lalu pada tahun 2016, lahirlah aplikasi media sosial bernama TikTok. Ia bisa melacak apa yang kita suka. Ketika kita menonton TikTok dan men-scrollnya, kita tiba-tiba disuguhi dengan apa yang kita suka, bahkan tanpa kita mengetikkan kata kuncinya.
Jadi, dalam hal ini, manusia benar-benar menikmati tayangan-tayangan yang algoritmanya sudah disiapkan oleh TikTok. Inilah yang akhirnya menyebabkan otak manusia hanya untuk menikmati informasi yang ada di sana.
Baca Juga: Thufanul Aqsa, Perjuangan Menuju Kebebasan
Dampaknya adalah memunculkan sifat adiksi, yang akan membuat penggunanya semakin hari semakin terikat. Selain itu, kita semakin “teralienisasi” dari dunia nyata kita. Menonton terlalu banyak dan terlalu sering pada akhirnya menghancurkan pemahaman kita tentang realita.
Sejatinya, jika kita ingin mendapatkan kesenangan, kita harus berjuang dulu, dan perjuangan itu pun sebenarnya membuat kita senang. Sama halnya seperti bermain bola. Dalam proses menuju kemenangan, kita menikmati setiap proses pergerakan bola, kerjasama tim dan sebagainya, terlebih ketika kita merasakan kemenangan dari usaha keras tersebut, kita akan merasa puas. Namun, jika kalah, kita akan termotivasi untuk melakukannya lagi, untuk mulai dari awal agar mencapai kemenangan.
Proses bekerja otak inilah yang mestinya dilalui, berjuang dulu, kemudian menang. Namun, TikTok menawarkan hal yang sebaliknya. Kita tidak perlu berjuang, tidak perlu berbuat apapun, kemudian kita disuguhi oleh tayangan-tayangan yang menyenangkan.
Tanpa kita sadari sadari bahwa cara kerja TikTok yang seperti itu membuat kita kecanduan. Tak terasa kita sudah menghabiskan waktu berjam-jam scrolling di TikTok. Kemudian kita akan merasa bahwa dunia nyata seharusnya demikian, pada kenyataannya dunia nyata tidak selalu begitu.
Baca Juga: Enam Tips Hadapi Musim Penghujan
Dunia nyata sejauh ini menuntut kita untuk melakukan sesuatu terlebih dahulu untuk menikmatinya, berjuang terlebih dahulu untuk akhirnya mendapatkan hasilnya.
TikTok bekerja sebaliknya, pada akhirnya ada kesenjangan antara realitas dengan dunia TikTok. Manusia-manusia “dipaksa” menuntut kehidupan nyatanya menjadi seideal seperti yang ada di TikTok.
Penelitian menunjukkan, orang yang terbiasa menonton TikTok lebih dari 4 jam dalam sehari, perilaku dan mentalnya menjadi lebih lemah.
Ada juga penelitian di Cina yang menyebutkan bahwa TikTok bukan hanya merusak mental manusia, tapi juga merusak nalar manusia. Caranya, mereka menyajikan tayangan-tayangan yang sangat menyenangkan dan berada di puncak kesenangan dalam durasi yang pendek, akhirnya banyak manusia tidak terbiasa mencari informasi dalam durasi yang panjang. Ini berpengaruh besar pada kemampuan manusia dalam bersabar, dalam membaca, dan dalam memproses informasi.
Baca Juga: Sampah Menumpuk, Salah Siapa?
Sebagai generasi muda tentu saja kita tidak ingin waktu kita terbuang sia-sia untuk melakukan hal yang kurang bermanfaat. Sebagai generasi penerus kita punya tanggung-jawab yang besar untuk peradaban dunia.
Lalu bagaimana agar tidak berketergantungan dengan TikTok?
Pertama, kita punya aturan batasan waktu penggunaan TikTok, misalnya tidak lebih dari 40 menit dalam sehari. Hal ini untuk membantu mengurangi kecanduan dan memastikan hari-hari berjalan produktif.
Kedua, bijak memilah dan memilih konten. Sebaiknya jika kita terpaksa harus mengklik fitur “ikuti”, maka ikutilah kreator yang menyajikan konten positif dan edukatif.
Baca Juga: BPS: Pengangguran Terbanyak Lulusan SMK
Ketiga, kita terus belajar membangun kesadaran Diri. kita terus berupaya mendalami dampak konten media sosial terhadap emosi dan mental kita.
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Pembebasan Baitul Maqdis dan Palestina Melalui Literasi dan Edukasi