AGAR BPJS KESEHATAN SESUAI SYARIAH

afta peci putihOleh: Ali Farkhan Tsani, Wartawan Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Ketua Bidang Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia () Pusat Dr. K.H. Ma’ruf Amin meminta pemerintah untuk segera memperbaiki pengelolaan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan karena diangggap tidak sesuai dengan prinsip syariah.

Menurutnya, penyelenggaraan  dianggap tidak sesuai dengan prinsip syariah karena mengandung unsur (ketidakjelasan), (memiliki unsur pertaruhan), dan (bunga).

Karena itu, menurutnya, MUI bersifat mendorong agar lembaga keuangan menerapkan prinsip syariah, dan ini dilakukan sudah lama. Bahkan, kini sudah tumbuh beberapa lembaga keuangan yang menerapkan prinsip syariah itu.

Ia menambahkan, BPJS Kesehatan tidak berkonsultasi terlebih dulu dengan MUI saat meluncurkan programnya sehingga akhirnya menimbulkan keraguan di tengah masyarakat.

Ia juga menyebutkan, modus transaksional yang dilakukan BPJS Kesehatan belum mencerminkan konsep ideal jaminan sosial dalam Islam. Apalagi jika dilihat dari hubungan hukum akad antar-pihak.

“Di dalam hukum syariah, akad yang terjadi antara pihak harus dilakukan dengan jelas, sehingga tidak menimbulkan keraguan. Setiap pihak juga tidak boleh mengambil keuntungan dari pihak lainnya,” ujarnya.

MUI menilai bahwa sistem jaminan sosial seharusnya berpedoman pada asas tolong-menolong, adanya saling menjamin satu sama lain, dan wilayahnya merasakan kecintaan persaudaraan, serta itsar atau mendahulukan kepentingan orang lain.

Jika hal itu terjalin, maka masyarakat akan terbentuk secara kukuh, kuat dan tidak terpengaruh oleh goncangan-goncangan yang terjadi.

Hal yang juga menjadi sorotan MUI dalam kasus ini yakni masalah denda administrasi sebesar 2 persen per bulan dari jumlah iuran tertunggak, baik bagi penerima upah maupun bukan, dalam aturan main BPJS. Denda ini dibayarkan secara bersamaan.

Padahal pengguna BPJS Kesehatan diharapkan dari kalangan masyarakat bawah. Di samping berpotensi mengandung unsur riba juga semakin memberatkan warga yang membayarnya saja sudah terlambat karena memang belum ada, ditambah denda pula.

BPJS MUI
BPJS (MUI)

Indonesia

Keputusan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) MUI se-Indonesia V yang diselenggarakan di Pondok Pesantren at-Tauhidiyah, Cikura, Tegal, Jawa Tengah pada tanggal 19-22 Sya’ban 1436 H/ 7-10 Juni 2015 M antara lain menyebutkan soal BPJS Kesehatan.

Berikut sebagian petikan putusan Ijtima’ Ulama tersebut soal BPJS Kesehatan:

Deskripsi Masalah Kesehatan adalah hak dasar setiap orang, dan semua warga negara berhak mendapatkan pelayanan kesehatan.Dengan mempertimbangkan tingkat urgensi kesehatan termasuk menjalankan amanah UUD 1945, maka Pemerintah baik di tingkat pusat maupun daerah telah melakukan beberapa upaya untuk meningkatkan kemudahan akses masyarakat pada fasilitas kesehatan.

Tentang modus transaksional yang dilakukan oleh BPJS -Khususnya BPJS Kesehatan- dari perspektif ekonomi Islam dan fiqh mu’amalah, dengan merujuk pada Fatwa Dewan Syari’ah Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) dan beberapa literatur, nampaknya bahwa secara umum program BPJS Kesehatan belum mencerminkan konsep ideal jaminan sosial dalam Islam, terlebih lagi jika dilihat dari hubungan hukum atau akad antar para pihak.

Dalam hal terjadi keterlambatan pembayaran iuran untuk Pekerja Penerima Upah, maka dikenakan denda administratif sebesar 2% (dua persen) per bulan dari total iuran yang tertunggak paling banyak untuk waktu 3 (tiga) bulan. Denda tersebut dibayarkan bersamaan dengan total iuran yang tertunggak oleh Pemberi Kerja. Sementara keterlambatan pembayaran Iuran untuk Peserta Bukan Penerima Upah dan Bukan Pekerja dikenakan denda keterlambatan sebesar 2% (dua persen) per bulan dari total iuran yang tertunggak paling banyak untuk waktu 6 (enam) bulan yang dibayarkan bersamaan dengan total iuran yang tertunggak B.

Karena itu, Penyelenggaraan jaminan sosial oleh BPJS Kesehatan, terutama yang terkait dengan akad antar para pihak, tidak sesuai dengan prinsip syari’ah, karena mengandung unsur gharar (ketidakpastian, pengambilan hak orang lain yang tidak sepatutnya), maisir (perjudian, spekulasi), dan riba (bunga).

MUI di samping memedomani landasan berdasarkan Al-Quran dan Al-Hadits dalam membuat putusan, juga menyandarkan pada Ijma’ ulama. Adapun dalil Ijma’ Ulama soal kesehatan, adalah sesungguhnya kaum muslimin di setiap tempat dan waktu telah bersepakat untuk saling menolong, saling menanggung, saling menjamin dan mereka bersepakat untuk melindungi orang-orang yang lemah, menolong orang-orang yang terzhalimi, membantu orang-orang yang teraniaya.

Sikap tersebut tercermin ketika terjadi kekeringan/peceklik pada zaman Umar bin Khattab dan terdapat dalam sejarah pada zaman Umar bin Abdul Aziz dimana tidak ditemukan lagi orang miskin sehingga muzakki (orang yang berzakat) kesulitan menemukan mustahiq (orang yang berhak menerima zakat).

Adapun untuk sistem jaminan sosial adalah telah diketahui bersama bahwa masyarakat yang berpedoman pada asas tolong-menolong, individunya saling menjamin satu sama lain, dan wilayahnya merasakan kecintaan, persaudaraan, serta itsar (mendahulukan kepentingan orang lain), maka hal tersebut membentuk masyarakat yang kokoh, kuat, dan tidak terpengaruh oleh goncangan-goncangan yang terjadi. Dengan demikian, wajib bagi setiap individu umat Islam untuk memenuhi batas minimal kebutuhan hidup seperti sandang pangan, papan, pendidikan, sarana kesehatan, dan pengobatan.Jika hal-hal pokok ini tidak terpenuhi maka bisa saja menyebabkannya melakukan tindakan-tindakan kriminal, bunuh diri, dan terjerumus pada perkara-perkara yang hina dan rusak.

Selanjutnya, MUI memberikan Rekomendasi berdasarkan kajian tersebut, direkomendasikan beberapa hal berikut adalah: 1. agar pemerintah membuat standar minimum atau taraf hidup layak dalam kerangka Jaminan Kesehatan yang berlaku bagi setiap penduduk negeri sebagai wujud pelayanan publik sebagai modal dasar bagi terciptanya suasana kondusif di masyarakat tanpa melihat latar belakangnya; 2. agar pemerintah membentuk aturan, sistem, dan memformat modus operandi BPJS Kesehatan agar sesuai dengan prinsip syariah. (Putusan Ijtima’ Ulama MUI, 7-10 Juni 2015, hlm 56-61).

Adopsi Prinsip Syariah

Sementara itu, Humas BPJS Irfan Humaidi, BPJS yang dikelola saat ini sudah mengadopsi prinsip-prinsip syariah.

Menurutnya BPJS Kesehatan adalah badan hukum publik yang diamanahkan oleh UU untuk menyelengarakan program jaminan kesehatan. Kita bukan institusi keuangan yang melakukan pembiayaan kepada pihak ketiga yang mungkin ada unsur tadi. Lembaga ini murni menyelengarakan dan mengumpulkan pungutan uang yang dikumpulkan dengan gotong-royong dan itu dipergunakan bagi yang sakit. Jadi gotong royong yang tidak sakit bantu yang sakit.

Soal bunga atau riba, ia menambahkan, BPJS tidak membungakan uang, tetapi uang yang diterima hanya numpang lewat, dan tidak lama langsung dibayarkan. Termasuk salah satu aturannya adalah pengenaan denda kalau terlambat bayar iuran.

Tentu saja pihaknya terbuka untuk masukan dari berbagai pihak, termasuk dari MUI. Selanjutnya pemerintahlah yang mengambil keputusan. Sedangkan BPJS menyelenggarakan saja. Rekomendasi MUI itu adalah mendorong pemerintah untuk menerapkan BPJS ini agar sesuai dengan prinsip syariah.

Ia pun hanya menyatakan bahwa secara esensi penyelengaraan BPJS Kesehatan banyak muatan syariahnya. Misalnya prinsip gotong royong, atau ta’awun, saling bantu, di situ ada prinsip syariah.

Adapun soal denda keterlambatan, itu bukanlah bunga atau riba. Itu hanya dua persen dan hanya tiga bulan, berikutnya tanpa tambahan dua persen. Prinsipnya adalah nirlaba, tidak ada kepentingan untuk meraup keuntungan karena dana terkumpul kembali ke manafaatkan peserta.

mui
Majelis Ulama Indonesia (Ant)

Diskusi Bersama

Dari pihak pemerintah, Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan, akan membicarakan Fatwa MUI yang menyatakan bahwa BPJS tidak memenuhi ketentuan syariah.

“Saya belum baca itu, tetapi yang dimaksud halal itu jelas. Agama Islam itu sederhana, selama tidak haram, ya halal. Pertanyaannya, apanya yang haram? Tentu perlu kita gali,” kata Kalla.

Ia menambahkan, “Kita pelajari saja masalahnya dan kita bisa diskusikan dengan para ulama, tentu di sini banyak perbedaan-perbedaan pendapat,” kata JK.

Menurut JK, sistem yang berlaku di BPJS Kesehatan maupun BPJS Ketenagakerjaan adalah untuk membantu rakyat. Oleh sebab itu, perlu ditelusuri bagian mana dari sistem BPJS yang tidak syar’i.

Menyoal alasan tidak syar’i adalah denda 2 persen apabila masyarakat tidak membayar, JK menilai di setiap peraturan pasti ada denda yang berlaku apabila dilanggar.

“Kadang-kadang juga dalam bank syariah juga begitu, kalau telat sesuatu juga ada sanksinya. Ya tergantung nanti kita perbaiki sanksinya, bukan denda, apalah itu, administrasi,” imbuhnya.

Sementara Wakil Ketua Komisi IX DPR Asman Abnur mengaku belum mendapatkan informasi soal fatwa yang telah dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Untuk itu, Komisi IX DPR akan menggelar rapat dengar pendapat dengan MUI dan pihak lain guna dimintai masukannya perihal fatwa tersebut.

Menurutnya, pihaknya akan turut membahas tentang niatan MUI yang ingin BPJS secara syariah. Sebab, rekomendasi dari semua pihak tak boleh diabaikan begitu saja.

“Rekomendasi dari pihak manapun saya kira tidak ada masalah, bisa jadi pertimbangan, tapi aturan UU tetap dilaksanakan, karena UU adalah aturan tertinggi. Kalau mau direvisi tentu butuh proses,” ujarnya.
Jika memang nantinya dalam pembahasan yang intens dengan MUI dan pihak lainnya tentang BPJS syariah, dia tak menutup kemungkinan akan ada dua program BPJS, yaitu syariah dan yang nonsyariah.

“Bisa saja dibuat dua program, syariah dan nonsyariah, tinggal masyarakat pilih yang mana. Tentu ini ada prosesnya nanti,” tambahnya.

Memfasilitasi Umat

Pakar ekonomi syariah, Dr. Syafi’i Antonio mengomentari soal ijtima’ MUI tentang BPJS Kesehatan. Menurutnya, MUI tidak mengeluarkan fatwa haram BPJS Kesehatan seperti yang digemborkan media belakangan. MUI hanya memberikan jawaban atas permintaan rekomendasi produk BPJS, yang setelah ditelaah disimpulkan ada beberapa hal yang belum sesuai syariat Islam.

Di antaranya adalah menyangkut akad yang belum jelas antara masyarakat yang membayar premi dengan pemerintah sebagai pengelola dana.

“Ketika peserta memberikan uang ke BPJS, apa judul akadnya. Apakah ta’awuni (tolong menolong), saling sharing atau untuk meminta imbalan services, dan ini tinggal mengganti formulir saja,” kata Syafii.

“Penggunaan dana saat ini juga masih disimpan di bank konvensional, yang sekarang masih dikelola juga untuk usaha-usaha haram menurut syariat. Pembayarannya mesti lewat bank syariah milik negara dan investasinya harus ke saham-saham syariah yang terdaftar dalam DES (Daftar Efek Syariah),” tambahnya.

Ia menambahkan, denda jika peserta telat bayar juga belum jelas dipakai buat apa, karena dalam syariat cuma boleh buat kegiatan sosial.

“Denda boleh, tapi harus dijelaskan apakah masuk charity (derma) atau sosial dan tidak boleh diklaim sebagai other income (pendapatan lain-lain oleh lembaga BPJS),” kata Syafii.

Ia menambahkan, MUI melihat BPJS Kesehatan saat ini sebagaimana melihat konvensional. Jika kita melihat dari kacamata financial management maka tidak ada yang salah, tapi jika dilihat dari kacamata Islam, maka ada beberapa hal yang tidak sesuai dengan Al-Qur’an, Sunnah dan ijtihad ulama.

Menurutnya, rekomendasi MUI adalah bertujuan memfasilitasi Umat Islam yang ingin mengikuti syariat Islam. “Jadi, buat mereka yang tidak mau ya tidak bisa dipaksa, dan tidak perlu diributkan,” ujarnya.

Karena itu, ia menegaskan, MUI merekomendasikan untuk memperjelas akad dari poin-poin yang dianggap belum sesuai syariah. Dana pun harus diinvestasikan ke saham-saham yang terdaftar di Efek Syariah. Akad jika bayar denda pun dipakai untuk alokasi sosial, bukan operasional.

“Solusinya, nanti ketika mendaftar bisa juga peserta diberi pilihan mau ikut BPJS yang Konvensional atau Syariah. MUI menghendaki adanya solusi buat memfasilitasi Umat Islam yang ingin sesuai dengan syariat Islam,” paparnya.

BPJS-SyariahBPJS Syariah

Asosiasi Asuransi Syariah Indonesia (AASI) menilai Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) harus dibuat menjadi BPJS Syariah. Ketua Umum AASI Adi Pramana mengusulkan lebih bagus full saja semuanya BPJS syariah.

“Industri syariah siap mengelola dana BPJS tersebut. Sama saja seperti dulu dana haji, ujungnya dialihkan. BPJS pun prinsipnya sama, akarnya sama, sistemnya juga sama,” ujarnya.

Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Muliaman D Hadad menyataklan, pihaknya menyiapkan sistem mekanisme syariah untuk Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). OJK mengatakan, salah satu opsi yang diambil adalah penunjukan bank syariah sebagai pengelolaan dana BPJS.

Karena itu, menjadi harapan baik dengan adanya pertemuan pihak BPJS Kesehatan, MUI, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), Kemenkeu, dan Kemenkes di Jakarta, tangga 4 Agustus 2015 lalu.

Harapannya adalah bahwa program BPJS akan disempurnakan agar sesuai dengan nilai-nilai syariah, dengan menghilangkan unsur-unsur gharar, maisir, dan riba, dari dalam program BPJS. Adanya unsur-unsur gharar, maisir, dan riba inilah yang menyebabkan program BPJS disebut .

Sehingga dengan demikian masyarakat luas dapat tetap memperoleh santunan kesehatan, yang memang menjadi tanggung jawab dan kewajiban pemerintah. Namun, dengan tetap mengedepankan nilai-nilai syariah yang telah ditentukan di dalam Al-Quran dan As-Sunnah, serta dikuatkan dengan ijtima ‘ulama. Sehingga masyarakat mendapatkan santunan kesehatan yang penuh berkah dalam ridha Allah Subhanahu Wa Ta’ala. (T/P4/R02)

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Wartawan: Ali Farkhan Tsani

Editor:

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.

Comments: 0