Malang, MINA – Di balik slogan belas kasih dan solidaritas, bantuan kemanusiaan untuk Palestina ternyata sarat dengan kepentingan geopolitik. Fakta mengejutkan itu terungkap dalam kuliah tamu bertajuk “Politic of Humanitarian Aid to Palestine” yang diselenggarakan oleh Program Studi Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya (FISIP Unbraw) pada Senin (26/5).
Kuliah tersebut menghadirkan Dr. Moh Azmi Abdul Hamid, Presiden Dewan Konsultatif Malaysia untuk Organisasi Islam, sebagai pembicara utama, dan dimoderatori oleh Abdullah, S.Sos., M.Hub.Int., dosen Hubungan Internasional FISIP Unbraw.
Acara yang digelar secara daring itu menjadi ajang diskusi hangat bagi puluhan mahasiswa yang ingin memahami lebih dalam dinamika bantuan kemanusiaan yang kerap dijadikan alat politik oleh negara-negara besar.
Dalam pemaparannya, Dr. Azmi mengkritisi keras praktik-praktik yang menurutnya menjadikan bantuan kemanusiaan ke Palestina sebagai alat legitimasi politik negara-negara donor, khususnya dari Barat.
Baca Juga: Hong Kong Siap Tampung Mahasiswa yang Terdampak Larangan Trump
“Bantuan itu bukan gratis. Ada syarat-syarat politik yang disisipkan, seperti pengakuan terhadap Israel dan dorongan normalisasi hubungan diplomatik. Ini bukan sekadar bantuan, ini adalah bentuk kolonialisme modern,” tegasnya.
Dr. Azmi juga menyoroti peran lembaga-lembaga internasional seperti PBB dan USAID, yang menurutnya sering kali tidak netral dan justru menjadi bagian dari strategi kebijakan luar negeri kekuatan besar dunia. Selama kontrol distribusi bantuan berada di tangan pihak luar, ujar Dr. Azmi, Palestina akan terus hidup dalam bayang-bayang ketergantungan dan kerentanan struktural.
Sebagai solusi, Dr. Azmi mengajak negara-negara Muslim dan masyarakat internasional yang memiliki komitmen terhadap keadilan untuk membangun mekanisme bantuan kemanusiaan yang bebas dari syarat dan intervensi politik.
“Kita perlu merancang sistem bantuan alternatif yang berbasis pada prinsip keadilan sejati dan kemanusiaan murni. Bukan bantuan yang digunakan untuk mengatur nasib bangsa lain,” ujarnya.
Baca Juga: Prabowo Dukung Papua Nugini Masuk ASEAN
Abdullah, dosen HI FISIP UB yang menjadi moderator dalam diskusi ini, menekankan pentingnya forum akademik seperti ini untuk memperluas cara pandang mahasiswa dalam memahami krisis Palestina, bukan hanya sebagai tragedi kemanusiaan, tapi juga sebagai konflik politik global yang sarat kekuasaan dan ketidakadilan sistemik.
“Kami ingin mahasiswa tidak hanya melihat Palestina dari sisi belas kasih, tetapi juga memahami bagaimana kekuatan dunia bekerja di balik wacana kemanusiaan,” jelasnya.
Kuliah tersebut menjadi bagian dari rangkaian mata kuliah Studi Kawasan Timur Tengah dan mencerminkan komitmen akademik FISIP UB untuk menumbuhkan sensitivitas global dan keberpihakan terhadap isu-isu keadilan internasional melalui pendidikan kritis dan berbasis fakta.[]
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Serangan Drone Besar-besaran Ukraina Targetkan Helikopter Putin