AKANKAH KEKERASAN MENGARAH KE INTIFADA KETIGA?

386317_Third-IntifadaOleh Illa Kartila – Redaktur Senior Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Aksi- di kompleks , kawasan Tepi Barat dan Yerusalem Timur, juga Jalur Gaza, menimbulkan ketegangan. Di kompleks Masjid Al Aqsha, hingga pekan pertama Oktober 2015, terjadi beberapa kali bentrok warga dengan polisi, yang membuat ratusan orang terluka.

Sementara di kawasan lain di Yerusalem Timur dan Tepi Barat, bentrok terjadi antara warga Palestina dengan polisi dan tentara Israel maupun warga sipil, yang diwarnai rangkaian peristiwa penikaman yang sangat menonjol. Sejumlah warga sipil Israel tewas dan terluka akibat tikaman pisau, dan sejumlah warga Palestina tewas ditembak dengan peluru tajam.

Anggota senior kelompok Hamas yang berkuasa di Jalur Gaza lalu menyerukan Intifada atau aksi perlawanan massal ketiga terhadap Israel. Dikutip dari Breitbart, Mahmoud Al-Zahar, yang dulu menjabat Menlu Otoritas Nasional Palestina dan kini membantu memimpin Hamas mengatakan, saat ini merupakan waktu yang tepat untuk Palestina bangkit melawan Israel.

Al-Zahar menegaskan Intifada adalah satu-satunya cara untuk melindungi Masjid AlAqsha di Yerusalem dari penjajahan dan penodaan Israel. Namun, pemerintah Israel tidak mau bertanggung jawab dengan alasan tidak ada bukti, yang menunjukkan Israel telah melanggar status quo sekitar situs suci umat Islam tersebut.

Palestina menolak secara terbuka seruan Intifada, meski kepemimpinan mereka terus membenarkan untuk membalas tindakan Israel. Presiden Palestina Mahmoud Abbas, juga telah memerintahkan pasukan keamanan meningkatkan tindakan pencegahan di Tepi Barat untuk memadamkan lonjakan kekerasan terhadap Palestina.

Kantor kepresidenan Abbas menekankan langkah-langkah keamanan tambahan yang diambil, adalah untuk menjamin keamanan bagi tanah air dan masyarakat. Tetapi, meski pemimpin Palestina terus mengutuk pembunuhan orang tak berdosa, Abbas menegaskan ia tidak ingin melawan kekuatan Angkatan Pertahanan Israel (IDF).

“Kami mengatakan kepada mereka (Israel) yang tidak kami inginkan, baik militer atau eskalasi, keamanan, semua lembaga, faksi dan remaja, bahwa kami tidak ingin eskalasi,” kata Abbas.

Hanya Aksi Teror

Beberapa pihak juga mulai berfikir tentang . Media Israel sudah ramai menulis tentang masalah ini, meski banyak kalangan masih memperdebatkannya. Bahkan sepulang menghadiri SU PBB di New York, PM Israel, Benyamin Netanyahu sempat bertanya secara terbuka, apakah yang terjadi saat ini merupakan Intifada Ketiga?

Namun, para pejabat pemerintah Israel membantahnya dan menyebut kekerasan itu hanyalah aksi teror. Hani al-Masri, analis politik di Palestina juga menilai, rangkaian peristiwa itu tidak terlihat sebagai awal Intifada Ketiga. “Intifada memerlukan kepemimpinan dan para pemimpin politik Palestina justru menentangnya.”

Rangkaian peristiwa tersebut memang belum diorganisir oleh para pemimpin Palestina, baik Fatah, Hamas, maupun Jihad Islam. Perlawanan tersebut masih bersifat individual. Kendati dinilai belum merupakan Intifada, Jordan Times tetap mengaitkan aksi individu-individu di Palestina itu dengan Intifada.

“Ini adalah sebuah Intifada dari warga Palestina yang sudah sangat geram terhadap pendudukan Israel, ketidakmampuan Otoritas Palestina untuk bertindak melawan pendudukan itu, dan penolakan komunitas internasional untuk menekan Israel mengakhiri pendudukan,” tulis Jordan Times.

Memang, para pemimpin Palestina sudah menyampaikan peringatan kepada Israel, bahwa jika bentrokan di Baitul Maqdis terus terjadi, bisa membangkitkan Intifada. “Apa yang terjadi ini sangat berbahaya,” kata Presiden Otoritas Palestina, Abbas, usai bertemu Presiden Perancis, Francois Hollande. “Al Aqsha adalah garis merah yang tak boleh dilewati Israel.”

Harian Israel, Haaretz menulis, serangan-serangan dari warga Palestina belakangan ini terbilang unik, karena tanpa sel-sel organisasi yang berada di belakangnya. Media ini menyebutnya sebagai “individual terror”, orang-orang seperti bangkit bersama, mengorganisasi diri sendiri di tengah ancaman pemukim Israel dan vakumnya kepemimpinan Palestina.

Meski merupakan aksi individual, kejadiannya yang susul menyusul, membuat konfrontasi ini bisa meluas, dan mengarah ke Intifada Ketiga. “Mungkin, kelak kita harus mengakui sebuah realitas baru, bahwa Intifada Ketiga sedang berlangsung,” tulis Haaretz.

Intifada

Intifada (dari  bahasa Arab: انتفاضة intifāḍah “melepaskan diri”) adalah sebuah istilah Islam yang berarti perlawanan.

Intifada pertama kali dipakai sebagai nama oleh sebuah kelompok perjuangan Palestina yang membelot dari Gerakan Fatah. Namun kini, kata itu lekat dengan gerakan kebangkitan baru rakyat Palestina. Pada dekade 1980-an, rakyat Palestina secara serentak bangkit melakukan perlawanan menentang rezim Zionis Israel.

Sejak itu, Intifada dipakai untuk menyebut gerakan yang muncul secara tiba-tiba, serentak, independen, agresif, universal, dengan kesadaran dan rasa protes, serta dengan penuh keberanian. Gerakan itu dilakukan oleh rakyat Palestina dalam menghadapi rezim Zionis Israel.

Saat itu, rakyat Palestina tidak memiliki sarana dan fasilitas apapun dalam perjuangan membebaskan negeri mereka melawan tentara Zionis. Mereka bersenjatakan batu untuk membela diri dan menyerang musuh. Karena itu, Intifada dekade 80-an disebut juga dengan revolusi batu.

Meskipun hanya bersenjatakan batu, tetapi Intifada ini sangat menakutkan bagi Israel. Sebab dalam kitab suci mereka tercatat kisah Nabi Daud AS yang membunuh Jalut, raja yang kejam dan bengis hanya dengan senjata batu.

Dalam konflik Israel-Palestina, Intifada mencakup seluruh gerakan perlawanan untuk merebut kembali tanah Palestina pra-Israel, aksi ini didorong oleh rasa tertindas dan kehilangan yang dirasakan para penduduk Palestina sejak peristiwa pengusiran paksa oleh tentara Yahudi setelah perang 6 hari.

Intifada Palestina pertama dimulai pada 1987 dan berakhir pada 1993 dengan ditandatanganinya Persetujuan Oslo dan pembentukan Otoritas Nasional Palestina.

Intifada kedua Al-Aqsa (juga disebut Intifada Palestina kedua) adalah konflik berdarah Israel-Palestina yang berawal 29 September 2000 ketika PM Israel Ariel Sharon dan rombongan sekitar 1.000 orang (termasuk yang bersenjata), memasuki lingkungan Masjid Al-Aqsa. Intifada ini berakhir 8 Februari 2005 setelah kedua belah pihak setuju berdamai.

Empat Kebangkitan

Sejarah Palestina moderen diwarnai dengan empat kebangkitan, tahun 1921, 1932, 1939 dan 1987. Intifada terakhir disebut sebagai yang terbesar dan paling luas. Para pejuang Palestina menggunakan strategi menyerang ke dalam wilayah pendudukan (Israel) dan mengatasnamakan perjuangan ini dengan syiar Islam.

Mengenai gerakan Intifada, Syahid Dr Fathi Ibrahim Shaqaqi, Sekjen (pertama) Gerakan Jihad Islam Palestina mengatakan, “Dalam sejarah revolusi dan perjuangan, kata intifada memiliki latar belakang yang panjang. Akan tetapi dari sisi makna, intifada berarti kebangkitan menggantikan masa kevakuman. Intifada adalah tahap pendahulu bagi sebuah revolusi.”

Intifada pertama memasuki panggung politik pada 1987, dimulai dengan pemuda Palestina yang membalas pembunuhan enam anak Palestina oleh tentara-tentara Israel. Berlanjut hingga 1993, Intifada menghadapi tanggapan yang sangat keras dari Israel, berdasar prinsip bahwa “kekerasan melahirkan kekerasan,” Timur Tengah kembali terjatuh ke dalam kekacauan.

Sepanjang masa ini, perhatian dunia tertuju pada kasus anak-anak yang tempurung kepalanya pecah dan tangan-tangan mereka dipatahkan oleh para tentara Israel. Orang-orang Palestina, dari yang paling muda hingga yang paling tua, menentang kekerasan militer Israel dan penindasan dengan sambitan batu yang dapat mereka temukan.

Sebagai balasannya, tentara Israel secara besar-besaran memberondongkan senjatanya: menyiksa, mematahkan tangan, dan menembaki lambung dan kepala orang-orang dengan tembakan senapan. Pada 1989, sebanyak 13.000 anak-anak Palestina ditahan di penjara-penjara Israel.

Intifada rakyat Palestina, yang dilakukan dengan sambitan batu dan pentungan untuk melawan tentara paling modern di dunia, berhasil menarik perhatian internasional.Masa ini berlanjut hingga Kesepakatan Oslo tahun 1993, ketika Israel dan PLO duduk bersama di meja perundingan. Pada pertemuan ini, Israel mengakui Yasser Arafat untuk pertama kalinya sebagai perwakilan resmi rakyat Palestina.

Setelah Intifada pertama mencapai puncaknya dalam kesepakatan damai, rakyat menunggu dengan sabar perdamaian dan keamanan kembali ke wilayah Palestina hingga Sepetember 2000, ketika Ariel Sharon, melakukan kunjungan yang mengejutkan ke Mesjid al-Aqsa bersama puluhan polisi Israel. Kejadian ini memicu bangkitnya Intifada al-Aqsa.

Rasa sakit dan penderitaan tak berujung orang-orang Palestina meningkat dengan adanya Intifada al-Aqsa. Sepanjang pertikaian, satuan-satuan tentara Israel menjadikan banyak warga sipil, termasuk anak-anak Palestina yang pulang sekolah sasaran pengeboman dengan helikopter.

Dalam The Palestine Chronicle, wartawan-penulis Ruth Anderson menggambarkan satu dari beberapa kejadian tak berperikemanusiaan dalam Intifada al-Aqsa: Tak ada yang menyebutkan pemuda Palestina yang kepalanya diremukkan oleh orang Israel dan tangannya dipatahkan, sebelum ia dijagal secara brutal.

Tak ada yang menyebutkan bayi-bayi Palestina yang meninggal ketika rumah mereka dibom dengan serangan udara. Setiap orang tahu bahwa bayi-bayi tidak bisa melempar batu, kecuali orang-orang Israel dan Amerika. (R01/R02)

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Comments: 0