Oleh : Nurhadis / Wartawan Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Detik-detik menjelang akhir Ramadhan dan berawalnya hari dimana harapan kita semua bisa bersih suci sebagaimana bayi yang baru lahir yakni Iedul Fitri hendaknya kita mengimplementasikan sifat-sifat Allah yang salah satunya bahwa Allah itu Maha Pemaaf.
Di akhir-akhir Ramadhan menghadapi Lailatul Qadar Rasulullah SAW mengajarkan suatu doa agar senantiasa dibaca pada malam itu, yakni: اللَّهُمَّإنَّكَعَفُوٌّتُحِبُّالعَفْوَفَاعْفُعَنّي
“Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf, suka memaafkan, maka maafkanlah aku.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi).
Baca Juga: Amalan Sunnah pada Hari Jumat
Begitu istimewanya kata maaf sehingga dalam redaksi doa di atas beliau sebutkan sampai tiga kali dan beliau tempatkan doa tersebut pada saat-saat teristimewa dari seluruh kegiatan Ramadhan yakni Lailatul Qadar.
Kata maaf / al ‘afwu menurut Imaam Al-Ghazali bahkan lebih tinggi nilainya dari maghfirah (pengampunan). Karena al ‘afwu mengandung makna menghapus, sedangkan ghafur/maghfirah terbentuk dari kata yang berarti menutup. Maka lebih sempurna menghapus daripada menutup, karena kalau menutup kesan wujudnya masih ada.
Yang perludianalisa, mengapa beliau menggunakan kata al ‘afwu dalam redaksi doa tersebut di atas dalam momen puncak di bulan Ramadhan.
Karena setelah benar-benar memohon maaf kepada Allah, lalu bertafakkur apakah kita telah memiliki sifat pemaaf atau malah kita kaya dengan sifat pendendam. Karena bagaimana mungkin kita memohon maaf kepada Allah sementara pada saat yang sama kita dipenuhi sifat permusuhan dengan sesama?
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-8] Mengajak Kepada Kalimat Syahadat
Oleh sebab itu, jadilah pemaaf. Ini merupakan kado terpenting dari terselesaikannya gemblengan bulan Ramadhan. Terutama hasil muhasabatunnafs (introspeksi diri) pada malam Lailatul Qadar.
Maafkanlah kesalahan istri, suami, anak, tetangga, rekan kerja, karyawan, pembantu, dan mereka seluruhnya, bahkan mereka yang memusuhi kita. Jangan menunggu mereka meminta maaf.
Karena fakta penting lainnya adalah ternyata di dalam Al-Qur’an Allah tidak pernah memerintahkan kepada hamba Nya untuk meminta maaf, akan tetapi menjadi pemaaf, walapun bukan juga berarti mereka yang bersalah tidak diperintahkan untuk meminta maaf, bahkan mereka wajib memohonnya.
Hanya saja ada yang lebih mulia, sebagai tuntunan bagi manusia agar berbudi luhur, yaitu terlebih dahulu memaafkan kesalahan sebelum datang wajah si bersalah menunduk dengan satu permohonan maaf.
Baca Juga: Tertib dan Terpimpin
Menjadi pendendam tidak menjadikan kita lebih mulia, lebih gagah, lebih hebat daripada orang lain. Karena dendam itu menyesakkan dada. Dengki itu merusak diri sendiri, bagai api memusnahkan kayu yang kering. Sebaliknya, memaafkan itu melegakan dan menetramkan.
Melegakan diri sendiri dan menentramkan orang lain. Justru di saat Anda berkuasa dan mampu membalas, di saat itulah puncaknya nikmat memaafkan.
Keuntungan Si Pemaaf
- Hidup Mulia terlalu mainstream kata anak-anak zaman sekarang kalau kita menuntut balas, sudah banyak orang yang seperti itu. Tapi memaafkan, itu istimewa. Anda dipandang mulia di mata orang-orang pilihan. Di atas itu, Anda bertambah mulia di sisi Allah. Rasulullah saw bersabda:
وَمَازَادَاللهُعَبْدًابِعَفْوٍإِلَّاعِزًا
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-7] Agama itu Nasihat
“Allah tidaklah menambahkan kepada seseorang, disebabkan ia mau memaafkan, melainkan kemuliaan”. (Hr. Muslim). Maka dari itu, muliakan dirimu dengan sifat pemaaf.
- Dosa-dosa Terampuni, coba perhatikan hadits nabi saw berikut ini.
مَنْلَايَرْحَمْلَايُرْحَمْ،وَمَنْلَايَغْفِرْلَايُغْفَرْلَهُ،وَمَنْلَايَتُبْلَايُتَبْعَلَيْهِ
“Siapa tidak menyayangi, ia tidak akan disayangi. Siapa tidak mau memaafkan, ia tidak akan diampunkan. Dan siapa tidak bertaubat, ia tak diberi pahala taubat”. (Hr. Thabrani; shaih). Dengan menjadi pemaaf , maka Allah berkenan mengampuni dosa-dosa kita. Bukankah kita lebih membutuhkan ampunan Allah dibanding butuhnya orang lain terhadap permaafan kita?
وَلْيَعْفُواوَلْيَصْفَحُواأَلَاتُحِبُّونَأَنْيَغْفِرَاللَّهُلَكُمْوَاللَّهُغَفُورٌرَحِيمٌ
Baca Juga: Pentingnya Memahami Fiqih Jual Beli dalam Berdagang
“dan hendaklah mema’afkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (Qs. An-nur/24: 22).
- The Real Winner, Pemaaf adalah pemenang sejati karena berhasil mengalahkan hawa nafsunya, bahkan mengalahkan setan yang selalu berupaya memecah belah persaudaraan dan menimbulkan permusuhan. Abu Dzar Al-ghifari ra mempunyai seorang budak. Pada suatu hari, budaknya melukai kaki kambingnya hingga patah. Melihat kaki kambingnya patah, Abu Dzar bertanya “Siapa yang melakukan ini?”. Si budak menjawab “Saya. Sengaja saya melakukannya biar engkau marah, lalu memukulku, sehingga engkau berdosa”. Abu Dzar menjawab “Aku benar-benar akan membuat marah setan yang menyuruhmu membuat aku marah”. Lalu Abu Dzar memaafkannya bahkan memerdekakannya. Begitulah cara sahabat nabi yang mulia itu mengalahkan musuh bebuyutannya, yaitu setan. Dan ia tampil sebagai pemenang.
“Dan Katakanlah kepada hamha-hamba-Ku: “Hendaklah mereka mengucapkan Perkataan yang lebih baik (benar). Sesungguhnya syaitan itu menimbulkan perselisihan di antara mereka. Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia.”(Qs. Al-Isra/17:53)
- Penjaga Kerukunan, untuk mengakhiri pertikaian yang berkepanjangan dibutuhkan kebesaran jiwa yang mau memaafkan. Dengan maaf, lembaran hitam bukan saja ditutup, melainkan dihapus. Dengan maaf, wajah berang menjadi berseri. Dan dengan maaf, mata yang merah kembali teduh dan santun. Maaf merupakan awal kerukunan dan penjaga kerukunan sekaligus. Rasulullah saw mengingatkan:
تُفْتَحُأبْوابُالجَنَّةِيَوْمَالإثْنَيْنِويَوْمَالخَمْيِسِ،فَيُغْفَرُلِكُلِّعَبْدٍلَايُشْرِكُبِاللهِشَيْئاً،إِلاَّرَجُلاًكَانَتْبَيْنَهُوَبَيْنَأَخِيْهِشَحْنَاءُفَيُقَالُ : أنْظِرُوْاهَذَيْنِحَتَّىيَصْطَلِحَا ! أَنْظِرُوْاهَذَينِحَتَّىيَصْطَلِحَا !
“Pintu-pintu surga dibuka tiap Senin dan Kamis. Setiap orang yang tidak berbuat syrik, ia mendapat ampunan. Kecuali orang yang tidak akur dengan saudaranya. Dikatakan “Tangguhkan pengampunan kepada kedua orang ini sampai mereka berdamai / rukun kembali” (Hr. Muslim).
Baca Juga: Selesaikan Masalahmu dengan Sabar dan Shalat
- Menjadi Penyabar, Sabar merupakan sifat terpuji dan menempati derajat yang tinggi. Tak banyak orang yang sanggup mendakinya, apalagi mencapai puncaknya. Jadilah pemaaf, agar terbentang eskalator yang mengantarkan Anda menuju ketinggian derajat sabar. Ketahuilah, segala sesuatu yang telah menimpa kita adalah atas izin Allah. Apa yang seharusnya menimpa kita, tidak akan terhindar. Dan apa yang seharusnya luput dari kita, tak mungkin menimpa kita. Kita sabar dan ridha terhadap keketapan Allah. Oleh karenanya, kita ikhlas memaafkan.
Inilah balasan untuk orang yang sabar. Pahala tanpa batas. Allah berfirman:
إِنَّمَايُوَفَّىالصَّابِرُونَأَجْرَهُمْبِغَيْرِحِسَابٍ
“ Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dipenuhi pahala mereka tanpa batas” (Qs. Az-zumar/39:10).
“Maaf” akan membawa kita kepada jalan kemulian. Maka mari kita berjanji untuk selalu memberi. Memberi maaf tanpa henti. Wallahu A’lam Bish Shawab. (T/B01/R2)
Baca Juga: Cinta Dunia dan Takut Mati
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)