Untuk menyikapi akan berakhirnya bulan Ramadhan, Maman mengatakan, kegiatan rutin keduniaan, seperti persiapan berlebaran dan mudik, jangan mengalahkan semangat untuk menjadikan Ramadhan sebagai bulan mulia dan bulan penuh keberkahan.
“Bersiap-siap untuk berlebaran boleh-boleh saja. Mudik ke kampung silakan. Beli baju baru atau persiapan kue lebaran dan sebagainya sama sekali tak dilarang. Tapi jangan sampai mengorbankan nilai ibadah yang dianjurkan. Jangan tinggalkan qiyamu Ramadhan (tarawih),” katanya seperti dilansir MUIonline yang dikutip Mi’raj News Agency (MINA), Selasa (6/6).
Menurutnya, selama ini semangat umat Islam dalam mengisi bulan Ramadhan sering terjebak pada hal-hal yang bersifat keduniaan.
Baca Juga: PSSI Anggarkan Rp665 M untuk Program 2025
Selama Ramadhan misalnya, umat Islam sibuk dengan mempersiapkan makanan untuk berbuka puasa dan sahur. Begitu ramadhan akan berakhir, mereka sibuk dengan mudik, persiapa kue lebaran, baju baru dan lain-lain. Sementara kegiatan ibadah di masjid maupun di rumah mulai ditinggalkan.
“Sungguh sangat rugi, selama sebulan kita berpuasa hanya sekedar formalitas dan rutinitas saja. Puasa dilakukan hanya seolah secara seremonial tahunan. Rasulullah menangis, langit dan bumi menangis, para Malaikat pun menangis dengan akan perginya bulan Ramadhan, bulan yang sangat istimewa di hadapan Allah SWT. Sementara umat Islam bersenang-senang dan berpesta pora. Apa ini yang dinamakan kemenangan yang lalu menjadi fitri? Sama sekali tidak,” tegas Kiai yang biasa disapa Kang Maman itu.
Dikemukakan, kebiasaan yang kurang menggembirakan di kalangan umat Islam itu harus segera diakhiri. Secara tidak sadar, umat Islam sudah terjebak pada apa yang dikhawatirkan Rasulullah dengan sabdanya: “Banyak orang berpuasa yang tidak mendapatkan pahala puasa, kecuali hanya mendapatkan lapar dan haus saja.” Padahal, kata Rasulullah lagi: “…jika saja umatku tahu (kebaikan) apa yang ada pada Ramadhan, maka niscaya umatku itu ingin seluruh bulan dalam setahun menjadi ramadhan.”
Ketua Lembaga Dakwah PWNU Jawa Barat itu juga menyeru Majelis Ulama Indonesia (MUI), para ulama dan seluruh ustadz harus segera memberikan pencerahan akan hakikat makna pelaksanaan ibadah puasa. Jangan sampai kesesatan ini berlangsung terus menerus turun temurun sampai ke anak cucu kelak.
Baca Juga: Naik 6,5 Persen, UMP Jakarta 2025 Sebesar Rp5,3 Juta
“Harus diingatkan dan dihentikan kebiasaan umat Islam dalam menghadapi Ramadhan selama ini. Selama ini, umat Islam lebih memperhatikan hari lebaran dibanding esensi hari-hari selama sebulan Ramadhan itu. Bahkan, hari-hari terakhir menjelang lebaran, dimana kebaikannya ada Lailatul Qadar, kaum muslimin malah meninggalkannya. Mereka tak hirau lagi dengan janji Allah dengan Lailatul Qadar. Mereka lebih peduli dengan mudik dan menyesakkan mal-mal dan pasar untuk berbelanja,” ujarnya.
Padahal, tambahnya, kemenangan di hari Idul Fitri atau Lebaran itu adalah bagi kaum muslimin yang berhasil meraih kemenangan dengan ridlo Allah selama sebulan Ramadhan.
Mereka yang dengan istiqamah melaksanakan ibadah puasa dan mampu menegakkan nilai-nilai Ramadhan dengan membangun semangat keibadahan siang dan malam. Mereka yang tidak pernah putus asa dan mereka yang sabar serta ikhlas dalam mengisi seluruh malam dan siang hari di bulan Ramadhan dengan beribadah dan beramal sholeh.
“Inilah hakikat kemenangan itu,” tambahnya. (T/P02/R2).
Baca Juga: Bulog: Stok Beras Nasional Aman pada Natal dan Tahun Baru
Mi’raj News Agency (MINA)