Oleh Nur Ikhwan Abadi, Wartawan MINA dan Relawan RSI Rakhine Myanmar
Disetiap daerah konflik yang saya datangi, selalu ada tantangan berbeda. Gaza misalnya, ketika pertama kali menginjakkan kaki di negeri para syuhada tersebut, perasaan sedih dan bahagia menjadi satu. Sedih karena menyaksikan langsung hidup kaum muslimin yang terblokade dan selalu mendapatkan serangan dari Israel. Bahagia karena suasananya sangat Islami, ribuan masjid tersebar disetiap sudut kota, adzan berkumandang dimana-mana, puluhan ribu anak-anak hingga dewasa hafidz Qur’an sehingga disebut Qur’an berjalan, hijab yang terjaga antara muslimin dan muslimah dan lain sebagainya.
Berbeda dengan di Rakhine Myanmar, negeri yang mayoritas penganut Budha ini sangat jarang terdapat masjid, bahkan ketika ada sekalipun tidak bisa digunakan karena ditutup oleh otoritas setempat.
Sudah beberapa hari saya berada di Mrauk-U, salah satu kota di negara bagian Rakhine Myanmar tempat dibangunnya Rumah Sakit Indonesia. Kedatangan kami kali ini adalah untuk mengawasi proses pembangunan Rumah Sakit sumbangan dari rakyat Indonesia tersebut. Karena sudah sejak awal tidak mendengar adzan, para pekerja lokal yang sebagian muslim menjadi sasaran saya untuk bertanya tentang keberadaan masjid terdekat.
Baca Juga: Peran Pemuda dalam Membebaskan Masjid Al-Aqsa: Kontribusi dan Aksi Nyata
Muhammad bin Abdul Aziz namanya, seorang muslim yang bekerja sebagai mandor dan kordinator para pekerja menjawab bahwa ada masjid berjarak sekitar 1 kilometer dari lokasi RSI. Saya pun segera minta diantar ke Masjid tersebut untuk shalat Jumat. Ketika akan berangkat saya minta diantar dengan menggunakan bajai yang biasa kami tumpangi. Namun mereka menolak karena takut akan jadi pertanyaan pihak keamanan dan rekan mereka ketika keluar dari kampung muslim tersebut.
Pihak berwenang setempat pun melarang kami, dengan alasan orang asing dilarang masuk ke perkampungan muslim. Kami harus nego beberapa saat, dan akhirnya kami diberikan satu motor untuk kami kendarai sendiri menuju ke perkampungan muslim itu.
Masjid Kaing Do
Tak sampai 10 menit kami sudah tiba di kampung tersebut, sebagian besar rumah-rumah masih sangat sederhana dan terbuat dari bilik bambu beratapkan alang-alang. Kami segera menuju ke sudut kampung tempat masjid berada. Kami disambut dengan salam “Assalamualaikum” ujar salah seorang pengurus masjid. Bahagia sekali rasanya mendengar ucapan salam ini, sangat jarang kami dengar ucapan-ucapan salam dari saudara seiman di daerah seperti ini.
Baca Juga: Langkah Kecil Menuju Surga
Masjid itu bernama Kaing Do, tidak terlalu luas, hanya berukuran 7 x 8 meter persegi cukup untuk menampung puluhan jamaah. Pria paruh baya yang kemudian mengenalkan diri Imam masjid bernama Amir Husen menghampiri dan menyalami kami, segera diterjemah oleh Muhammad dan mengatakan bahwa Amir hanya bisa bahasa Urdu.
Waktu Jumat pukul 12.30 waktu setempat telah tiba, tiba-tiba terdengar suara adzan dari luar Masjid, Allahu Akbar, tak kuat rasanya, seketika dada ini bergetar dan tak terasa air mata jatuh, inilah untuk pertama kalinya saya mendengar suara adzan di Mrauk-U, Rakhine. Dunia terasa sepi tatkala sudah beberapa hari ini tak mendengar suara adzan. Seorang muadzin naik keatas sebuah tempat yang agak tinggi kemudian mengumandangkan adzan dari atasnya.
Di Masjid ini ketika shalat Jumat, adzan dikumandangkan sebanyak 2 kali, jadi adzan pertama dikumandangkan diluar masjid, dan ketika khatib sudah naik mimbar, muadzin akan kembali mengumandangkan adzan kedua.
Setelah adzan pertama, kaum muslimin mulai berdatangan memenuhi Masjid Kaing Do, setelah shalat Sunnah dua rakaat, Imam Masjid Amir Husen berdiri dan ceramah dalam Bahasa setempat. Kami berfikir itu adalah khutbahnya, karena hampir setengah jam dia bicara.
Baca Juga: Akhlak Mulia: Rahasia Hidup Berkah dan Bahagia
Selesai berceramah, dia naik ke atas mimbar dengan tiga anak tangga untuk kemudian mengucapkan salam, barulah setelah itu adzan kedua dikumandangkan kembali oleh muadzin tadi.
Khutbah pun dimulai, pada khutbah pertama semua dalam Bahasa Arab, dari awal hingga akhir, yang disampaikan bacaan ayat-ayat Qur’an dan Hadits Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam dilanjutkan dengan khutbah kedua yang diakhiri dengan doa, kemudian dilanjutkan shalat Jumat dua rakaat.
Sebelum shalat tadi ada sebuah rantang yang dikelilingkan ke jamaah shalat, untuk penarikan infaq. Sayangnya ketika akan menuju kearah kami rantang itu langsung dialihkan ke shaf selanjutnya dan kami dilewati. Selesai shalat kami berikan sumbangan ala kadarnya sebesar 200.000 Kyats atau sekitar dua juta rupiah untuk membantu membeli bahan bakar generator yang digunakan sebagai sumber listrik untuk masjid tersebut.
Setalah shalat, kami disalami satu persatu oleh jamaah masjid itu, kemudian dijamu didepan masjid dengan minuman dan sirih. Kebiasaan orang di Myanmar ketika menjamu tamu adalah menyajikan sirih, satu plastik berisi 4-5 sirih yang sudah siap dikunyah. Sirih jamuan tidak kami sentuh, namun hanya minum air saja, bukan menolak tapi karena belum bisa menyesuaikan kebiasaan mereka disini.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-22] Islam Itu Mudah, Masuk Surga Juga Mudah
Lagi-lagi hati ini merasa sangat bersyukur kepada Allah, karena di Indonesia kita bisa beribadah dengan tenang dan nyaman tanpa ada gangguan, tapi dibeberapa tempat dimana kaum muslimin minoritas mereka harus mempertaruhkan harta bahkan nyawa untuk beribadah kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. (A/KD/RS3)
Mi’raj News Agency (MINA)