Aktivis Gaza Tuturkan Kehidupan Muslimah Sebenarnya di Palestina

Aktivis perempuan asal Widyan S.M. Shaat mengungkapkan kebiasaan dan tradisi hidup para di Gaza yang menurutnya menjadi pembeda dengan wanita manapun di dunia ini.

Widyan mengungkapkan wanita di Gaza terbiasa hidup keras di bawah peperangan sehingga menuntut mereka untuk terbiasa dengan hal itu.

“Selama perang, para wanita Gaza memberikan perlindungan dan bantuan kebutuhan kepada para pejuang saat mereka melawan serangan , mereka juga melindungi anak-anak kecil selama masa serangan berlangsung,” kata Widyan saat berkunjung ke Kantor Pusat Mi’raj Islamic News Agency (MINA) di Jakarta, Jumat (22/7/2016).

Di samping itu, aktivis Muslimah lulusan Aqsa University Gaza tersebut menuturkan wanita di Tepi Barat jauh lebih berperan besar dalam membela tanah airnya. Sebagaimana sering diberitakan wanita di tanah yang diduduki Israel tersebut kerap beradu mulut dengan para tentara penjajah untuk membela Palestina, bahkan banyak dari mereka menjadi korban penembakan karena dianggap mengancam keberadaan Israel.

Tidak hanya itu, lanjut dia, para wanita di kawasan Masjid Al-Aqsha memilih tinggal dalam masjid hanya untuk melindungi situs suci dari penghancuran dan serbuan tentara Israel. Bahkan, kekerasan terhadap mereka kerap terjadi di dalam masjid. Mereka dijuluki Murabithatun (Penjaga Al-Quds).

“Kita berbicara tentang wanita-wanita kuat, dan mereka yang tinggal di dalam Masjidil Aqsha terus berusaha diusir tentara penjajah tapi mereka lempar dengan sepatu dan batu yang mereka punya, mereka dari yang tua dan muda ada di garda depan pembela situs suci,” ujar wanita kelahiran tahun 1981 tersebut.

Di Gaza, Widyan menuturkan, para wanita tidak berhadapan langsung dengan tentara penjajah, melainkan dengan serangan udara yang bisa menewaskan dirinya dan keluarganya dalam hitungan detik. Namun hal itu tidak membuat para wanita di Gaza bersembunyi di dalam bilik-bilik rumah.

Uniknya, telah menjadi kebiasaan dan gaya hidup para ibu rumah tangga untuk banyak mendidik anak di dalam rumah. Dan orang tua di Gaza, meskipun memiliki fasilitas pendidikan yang terbatas, sangat mementingkan pendidikan untuk anak-anaknya.

“Para ibu di Gaza, jika sudah menyelesaikan pekerjaan rumah tangganya mereka selalu duduk bersama anak-anaknya dan mendapingi mereka membaca atau mengerjakan PR-nya, dan sangat perhatian dengan isu-isu anaknya di sekolah,” tambah Widyan.

Di Gaza, kini mulai menjadi kebiasaan juga di mana para ibu mendidik dan memberikan pemahaman kepada anaknya untuk menjadi Syahid dan berjuang membela Masjid Al-Aqsha.

“Sebagaimana kita ketahui Ummu Nidhal yang mana dia adalah seorang ibu yang mendorong keempat anaknya untuk berperang dan mereka semua syahid. Saat mendengar kabar meninggal anaknya, ibu tersebut bersyukur karena anaknya sudah dijanjikan masuk syurga, dan banyak sekali para ibu yang seperti beliau,” ungkapnya.

Widyan menuturkan di Gaza banyak sekali wanita yang menjadi janda karena suaminya meninggal dalam perang. Namun telah menjadi kebiasaan di sana jika janda itu ingin menikah lagi maka dia tidak boleh membawa anaknya bersama suami barunya.

Biasanya anak-anak dari wanita itu akan diambil dan dirawat oleh keluarga besarnya. Meskipun itu hanya tradisi, tapi mayoritas janda di Gaza tidak memilih menikah lagi, namun memilih mengurus anak-anak mereka meskipun mereka harus berperan juga sebagai tulang punggung keluarga.

“Ini salah satu kekuatan lain wanita Gaza, saya lihat banyak sekali yang lebih memilih mengurus anaknya meskipun harus hidup dengan beban tanggungan mereka, dari pada meninggalkan anaknya untuk diurus keluarganya sementara dia menikah lagi. Saya sering kali mendorong para janda untuk menikah lagi dan meminta mendobrak tradisi ini dan meminta pula ke sang suami untuk ikut merawat anak-anak dan istrinya,” ujarnya.

Widyan mengakui banyak wanita di Gaza seperti dirinya yang menjadi aktivis dan mengumpulkan dana maupun kebutuhan hidup dari para orang mampu di dalam Gaza maupun luar untuk memberikan bantuan kepada wanita semacam ini, yang kesulitan mencari nafkah karena harus mengurus anak-anaknya.

Saat ditanya mengenai peran di pemerintahan, Widyan mengungkapkan para wanita di Gaza kini lebih banyak ikut andil di dalam pemerintahan. Banyak dari mereka yang ikut membangun kota, menjadi administrasi kota, bahkan menteri pendidikan di Gaza adalah seorang perempuan.

Perempuan di kota terblokade itu memiliki kesempatan yang sama untuk meraih pendidikan layaknya laki-laki. Widyan mengakui perempuan di Gaza dikenal lebih aktif dalam berakfititas baik di lingkungan kerja, sosial maupun politik.

Widyan baru dua bulan tinggal di Malaysia karena harus menemui ketiga anak kecilnya yang sementara berada di  negara itu bersama suaminya untuk menyelesaikan program Magister.

Meskipun baru dua bulan, dia mengakui sangat rindu Gaza dan ingin tinggal di tanah airnya sampai meninggal. Widyan mengatakan tidak ada tanah yang lebih indah selain tanah airnya, dan dengan tinggal di Gaza saja itu sudah merupakan bentuk perlawanan terhadap penjajah yang berusaha merebut tanah airnya sampai saat ini.(L/R04/P015/R05)

Mi’raj Islamic News Agency (MINA

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.