Mansi-Kachin, Myanmar, 7 Rajab 1435/6 Mei 2014 (MINA) – Aktivis hak asasi manusia dan kelompok medis internasional telah memperingatkan krisis kesehatan memburuk bagi Muslim Rohingya Myanmar.
Hampir setiap hari, laporan media mengkonfirmasi kematian di kalangan Muslim Rohingya Myanmar dan banyak dari mereka hidup di bawah kondisi apartheid seperti di pinggiran Sittwe, ibukota negara bagian Rakhine. Demikian Kantor Berita Rohingya yang dikutip Mi’raj Islamic News Agency (MINA) melaporkan Selasa.
Dilaporkan, sebagian besar korban adalah wanita hamil, dan orang-orang yang berhasil bertahan hidup dibiarkan tanpa bantuan, terutama setela pekerja bantuan asing diperintahkan untuk meninggalkan negara itu pada Februari.
Sebelum Doctors Without Borders (MSF) diusir dari Rakhine, seperempat dari mereka ditangani oleh kelompok bantuan dan mereka menerima perawatan medis menghadapi antrean panjang dengan setiap orang mendapatkan hanya beberapa menit untuk kemudian mendapat perawatan.
Pemerintah telah berjanji untuk memungkinkan sebagian LSM untuk kembali namun sejauh ini hanya distribusi makanan oleh Program Pangan Dunia.
Ekstrimis Rakhine Buddha menyerang semua orang yang dianggap membantu Rohingya. Dan semua lembaga kemanusiaan PBB, LSM internasional dan LSM lainnya, termasuk MSF, dipaksa untuk menghentikan operasi di Arakan yang menciptakan bencana kemanusiaan yang serius, dengan laporan bahwa Rohingya meninggal setiap hari karena kelaparan dan penyakit.
Orang-orang Rohingya keseluruhan akan dimusnahkan jika masyarakat internasional tidak bertindak cepat untuk campur tangan di Arakan dan melindungi orang-orang Rohingya yang tak berdaya yang nasibnya antara hidup dan mati, di tanah kemanusiaan, pada prinsip ‘Responsibility to Protect’ (R2P). Dengan absennya perlindungan dari dalam negeri, diharapkan masyarakat internasional turun tangan membela mereka.
Dari lebih tiga juta penduduk Rohingya, sekitar 1,6 juta tersebar sebagai diaspora di Bangladesh, Pakistan, India, Saudi Arabia, UAE, Thailand, dan Malaysia.. Umumnya keberadaan mereka di negara-negara tersebut sangat rentan karena tanpa status kewarganegaraan.
Ditolak kewarganegaraan di Myanmar, Rohingya juga tidak diterima di negara tetangga, Bangladesh dan di tempat lain. Di bawah kondisi ekstrim, Rohingya putus asa dengan risiko kematian terombang-ambing di laut sejak 2008. Pada perjalanan mereka menuju Malaysia dan tujuan lainnya, banyak yang tenggelam dan puluhan orang lainnya ditahan atau diselamatkan di negara-negara di kawasan ini. Sejumlah besar dari mereka menjadi korban di tangan para orang-orang yang berniat buruk, perdagangan manusia dan penyelundup.
Dari Juni 2012, diperkirakan 3.000-5.000 orang tewas, tenggelam dan hilang. Banyak ratusan perempuan diperkosa. Permukiman besar dengan ribuan rumah, termasuk masjid dan madrasah, hancur. Setidaknya 1600 orang yang tidak bersalah ditangkap atas tuduhan palsu. Sebanyak 140.000 orang mengungsi dan memaksa mereka untuk tinggal di segregasi permanen dalam gaya apartheid penuh sesak di kamp-kamp pengungsi jauh dari kota-kota mereka, rumah dan desa di mana tidak ada pendidikan, kurangnya makanan, air, kesehatan dan sanitasi yang tersedia.
Berdasarkan bukti kejahatan terhadap kemanusiaan dan pembersihan etnis terhadap Rohingya dengan peristiwa terkini dari beberapa yang disebutkan di atas menggambarkan Konvensi Genosida PBB 1948 dan mulai berlaku pada 1951. Dan itu merupakan kasus genosida tetapi melakukannya secara perlahan-lahan kemungkinan untuk menghindari kecaman dan penuntutan internasional.
Menurut Profesor Gregory H. Stanton, Presiden Pemantau Genosida mengatakan “orang-orang Rohingya adalah korban dari delapan tahap genosida. Klasifikasi, Simbolisasi, Dehumanisasi, Organisasi, Polarisasi, Persiapan, Pembasmian dan Denial”.(T/P08/IR)
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)