Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Al Aqsa Tak Pernah Sendiri, Umat Sedang Bergerak

Bahron Ansori Editor : Widi Kusnadi - 23 detik yang lalu

23 detik yang lalu

0 Views

(Al-Quds)

DALAM dekapan langit biru dan desir angin Palestina yang menggugah, Al-Aqsa tetap berdiri kokoh meski terluka. Masjid suci ketiga dalam Islam ini menjadi saksi bisu perjuangan umat yang tak kunjung usai. Serangan demi serangan, pengusiran demi pengusiran, dan penghinaan demi penghinaan, terus terjadi. Namun satu hal yang tak berubah: umat Islam tak pernah benar-benar diam. Mereka sedang bergerak. Dari kampung-kampung kecil di Asia Tenggara, hingga pusat-pusat kota di Eropa, suara untuk Al-Aqsa terus menggema.

Al-Aqsa, yang terletak di Yerusalem Timur, merupakan bagian tak terpisahkan dari identitas keislaman. Dalam sebuah hadis sahih, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda bahwa Al-Aqsa adalah salah satu dari tiga masjid yang dianjurkan untuk diziarahi. Bahkan, dalam peristiwa Isra Mi’raj, Al-Aqsa menjadi tempat singgah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallamsebelum naik ke langit bertemu Allah Ta’ala. Fakta spiritual ini menjadikannya simbol yang bukan hanya geografis, tapi juga teologis.

Penjajahan atas Al-Aqsa bukan hanya tentang tanah, tetapi juga tentang martabat. Laporan dari United Nations Office for the Coordination of Humanitarian Affairs (UNOCHA) mencatat eskalasi kekerasan terhadap warga Palestina meningkat tajam pada tahun 2024. Dalam kurun waktu Januari hingga Desember 2024, tercatat lebih dari 500 serangan terhadap warga sipil Palestina di wilayah sekitar Yerusalem, banyak di antaranya terjadi di sekitar kompleks Al-Aqsa.

Namun di tengah duka dan tekanan, dunia Islam tak tinggal diam. Di Indonesia, misalnya, ribuan massa turun ke jalan dalam aksi damai bertajuk “Bela Al-Aqsa” di berbagai kota besar, termasuk Jakarta, Bandung, dan Surabaya. Aksi yang difasilitasi berbagai ormas Islam ini bukan sekadar simbolis. Dana kemanusiaan yang dikumpulkan untuk membantu rakyat Palestina mencapai puluhan miliar rupiah, seperti yang dicatat oleh lembaga kemanusiaan; MER-C, AWG, dan Baznas.

Baca Juga: Pentingnya Regenerasi dan Kaderisasi

Di Turki, Presiden Recep Tayyip Erdoğan bahkan menyuarakan perlunya penguatan solidaritas dunia Islam secara global dalam menghadapi agresi terhadap Masjid Al-Aqsa. Turki juga menjadi negara yang secara aktif mengangkat isu Al-Aqsa di forum-forum internasional seperti PBB dan OKI. Bahkan, masyarakat Turki sendiri rutin menggelar shalat ghaib dan penggalangan dana dalam skala besar.

Sementara itu, di Malaysia, solidaritas terhadap Al-Aqsa diwujudkan dalam bentuk diplomasi publik dan pendidikan. Lembaga-lembaga pendidikan Islam menyisipkan materi tentang Palestina dalam kurikulum, memastikan generasi muda tak melupakan siapa mereka dan siapa yang harus mereka perjuangkan. Slogan “Save Al-Aqsa” menghiasi mural-mural dan media sosial, membuktikan bahwa kesadaran umat tak pudar.

Gerakan solidaritas juga tampak di dunia maya. Di TikTok, Instagram, dan Twitter, tagar seperti #FreePalestine, #SaveAlAqsa, dan #AlAqsaUnderAttack selalu viral setiap kali agresi meningkat. Di tahun 2024, Google Trends mencatat bahwa pencarian kata “Al-Aqsa” melonjak drastis hingga 700% selama serangan besar-besaran di bulan Ramadhan. Anak muda dari berbagai negara menggunakan teknologi sebagai alat perlawanan informasi.

Tidak hanya masyarakat sipil, gerakan keilmuan juga bergerak. Webinar, seminar, dan diskusi publik tentang Al-Aqsa dan isu Palestina terus digelar. Dari kampus UIN Jakarta, Universitas Al-Azhar Kairo, hingga Harvard University, suara tentang pentingnya keadilan untuk Palestina terus dikumandangkan. Akademisi muslim menulis jurnal, artikel, dan opini tentang hak rakyat Palestina atas tanah suci mereka.

Baca Juga: Dinamika Hidup Berjama’ah di Era Modern

Di Palestina sendiri, umat Islam tetap teguh menjaga Al-Aqsa, meskipun dalam kondisi yang sangat sulit. Setiap hari, ada warga yang tetap datang ke masjid untuk shalat dan menghidupkan tempat itu dengan dzikir dan doa. Mereka tahu bahwa Al-Aqsa adalah benteng akhir, dan mereka menjaganya bukan karena diperintah, tapi karena cinta yang tak bisa dibeli.

Di bulan Ramadhan 2024 lalu, ribuan warga Palestina berusaha masuk ke kompleks Al-Aqsa untuk beribadah, meskipun dihadang militer. Mereka datang dari Tepi Barat, Gaza, dan bahkan dari wilayah pendudukan. Ada yang berjalan kaki belasan kilometer, ada pula yang harus bersembunyi dari patroli militer demi bisa bersujud di tanah yang diberkahi.

Seorang ibu di Hebron, yang anaknya syahid karena mempertahankan Al-Aqsa, berkata kepada jurnalis Al Jazeera, “Kami tidak takut mati, yang kami takutkan adalah Al-Aqsa sepi dari sujud dan doa.” Kalimat ini viral dan menjadi pengingat betapa besar pengorbanan umat untuk menjaga cahaya Al-Aqsa tetap menyala.

Gerakan boikot terhadap produk pendukung penjajahan juga semakin kuat. Di berbagai negara, umat Islam mulai sadar pentingnya jihad ekonomi. Produk-produk yang terbukti mendukung agresor mulai ditinggalkan. Gerakan BDS (Boycott, Divestment, Sanctions) mencatat peningkatan partisipasi global pada tahun 2024, terutama dari negara-negara mayoritas muslim.

Baca Juga: Zionis Israel, Bangsa Tanpa Akar, Hidup dari Rampasan

Al-Aqsa tak pernah sendiri. Ia memiliki satu miliar lebih hati yang mencintainya, jutaan tangan yang menengadah untuknya, dan ribuan kaki yang rela melangkah demi membelanya. Tak semua orang bisa hadir di sana, tapi semua bisa memilih untuk bergerak. Dalam doanya, dalam hartanya, dalam tulisannya, atau bahkan dalam sekadar menyalakan kesadaran lewat diskusi kecil di lingkaran keluarga.

Gerakan ini memang bukan arus besar yang tampak secara instan, tetapi ia seperti gelombang pasang yang pelan namun pasti. Umat Islam sedang bergerak. Dalam sunyi mereka menyusun kekuatan, dalam senyap mereka menanamkan semangat pada generasi berikutnya. Al-Aqsa bukan hanya tentang masjid, tapi tentang warisan iman.

Ketika seseorang berkata, “Apa yang bisa kita lakukan dari jauh?” Maka jawaban yang tepat adalah, “Segalanya.” Karena cinta kepada Al-Aqsa bukan diukur dari jarak, tapi dari ketulusan langkah. Di seluruh dunia, umat Islam sedang menyusun barisan. Mereka bergerak perlahan, namun pasti. Sebab mereka tahu: Al-Aqsa tak pernah sendiri. Dan selama ada iman, Al-Aqsa akan tetap hidup di hati umat.[]

Mi’raj News Agency (MINA)

Baca Juga: Zionis Israel, Laknat Abadi dalam Sejarah Kemanusiaan

Rekomendasi untuk Anda