Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Al-Azhar, Pusat Pendidikan Islam dari Masa ke Masa

Rendi Setiawan - Jumat, 26 Februari 2016 - 01:29 WIB

Jumat, 26 Februari 2016 - 01:29 WIB

766 Views

Universitas Al-Azhar Mesir. Foto: ilustrasi
Univ. Al-Azhar

Univ. Al-Azhar

Oleh Rendy Setiawan, Jurnalis Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Sejak tanggal 22 Februari kemarin, negeri tercinta kita, Indonesia akan masuk dalam catatan sejarah penting dari perjalanan panjang sebuah universitas kenamaan di Mesir, Al-Azhar. Pada kesempatan ini, Syaikh Agung Al-Azhar, Ahmed Muhamed Ahmed al-Thayyeb, menyambangi Indonesia sebagai salah satu wujud langgengnya kerjasama hubungan antara Al-Azhar  dan Indonesia yang sudah cukup lama terjalin.

Ada beberapa hal yang menarik dari kunjungannya ke Indonesia. Dalam tulisan ini, kita tidak sedang dan tidak pula akan mengangkat siapa dan bagaimana Syaikh Agung Al-Azhar itu, tetapi lebih kepada sikap Pemerintah Indonesia terhadap tokoh-tokoh Al-Azhar dan tentu kiprah Al-Azhar sebagai kiblat pendidikan Islam dan sejarah panjangnya.

Pemerintah Indonesia memberikan protokol kenegaraan tingkat tinggi kepada Shaokh Agung, diterima langsung oleh Presiden Djoko Widodo, menerima gelar Doktor Kehormatan, memberikan kuliah umum dan lain-lain.

Baca Juga: Inilah Tanda Orang Baik, Inspirasi dari Kisah Nabi Musa Belajar kepada Khidir

Sejarah hubungan bilateral Indonesia – Mesir, kedua negara mempunyai keakraban yang luar biasa. Mesir adalah negara pertama yang mengakui kemerdekaan Indonesia,  Indonesia dan Mesir adalah sama-sama tokoh Gerakan Asia-Afrika dan Gerakan Non Blok.

Kemudian salah satu benang merah penting dalam hubungan kedua negara adalah sejarah panjang sejak lama demikian banyak mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang menuntut ilmu di Universitas Al Azhar.

Sementara itu Buya Hamka memilih nama Al-Azhar untuk nama masjid agung  yang dibangun di daerah elite Kebayoran Baru, Jakarta, sebagai pelambang hubungan dekat Universitas Al-Azhar dengan Indonesia. Buya Hamka menjadi Imam Besar di masjid agung ini sampai akhir hayatnya.

Menyangkut Universitas Al-Azhar, berbagai literatur ke-Islaman  menyebutkan bahwa sebuah nama besar Al-Azhar tidak terlepas dari perjalanan panjangnya yang kini menginjak usia lebih 1 Milenium (1.000 tahun).

Baca Juga: Begini Cara Mengucapkan Aamiin yang Benar dalam Shalat Berjamaah Menurut Hadits

Dari usia selama itu, Al-Azhar selalu mengadakan pembaharuan seingga telah mengalami banyak model dengan berbagai kisah yang sangat menarik untuk disimak.

Awal Perkembangan

Al-Azhar adalah sebuah lembaga waqaf yang didirikan oleh Jawhur al-Shaqali, panglima perang Daulah Bani Fathimiyah yang berpaham Syi’ah Ismailiyyah. Al-Azhar yang dibangun pada tahun 359 H atau sekitar tahun 970 M merupakan lembaga pendidikan yang sangat fundamental dalam membangun paradigma pemikiran ke-Islam-an saat ini.

Proses transformasi pemikiran tersebut bermula dari halaqah-halaqah yang diadakan di bawah tiang masjid Jami’ Al-Azhar dengan sistem yang sangat tradisional.

Baca Juga: Salam Es Teh

Dari beberapa sumber, disebutkan bahwa penamaan Al-Azhar diambil dari nama Fatimah Az-Zahra, putri kesayangan Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Penamaan itu diyakini sebagai corak pemikiran dari sebuah madzhab yang identik dengan kecintaannya yang kuat terhadap Ahlu Bayt (keluarga) Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Dalam beberapa kesempatan, para penganut madzhab Syiah terbiasa menggunakan pilihan nama-nama yang ada kaitannya dengan keluarga nabi.

Sebenarnya, sejarah panjang Al-Azhar sudah diawali sejak dibangun pertama kali oleh panglima Jawhar al-Shaqali. Kala itu, Al-Azhar resmi dibuka bersamaan dengan shalat Jum’at pada 7 Ramadhan 361 H, membuat Al-Azhar menjadi satu-satunya lembaga besar Islam yang pada mulanya adalah sebuah masjid yang telah melahirkan banyak ulama’ dan cendekiawan Muslim.

“Masjid sekaligus institusi pendidikan tertua,” itulah penghargaan sejarah yang cocok kita sematkan terhadapnya.

Di awal perjalanannya, Al-Azhar memang tidak begitu memiliki pengaruh yang cukup signifikan untuk mengubah kondisi umat Islam yang saat itu mengalami kemerosotan dalam banyak hal. Kita ketahui bersama, ketika itu, Daulah Bani Abbasiyah telah mendirikan pusat kajian Islam dan lembaga yang mempelajari manuskrip-manuskrip kuno yang diberi nama Daarul Hikmah.

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-19] Jagalah Allah, Pasti Allah akan Menjagamu

Namun usaha itu masih belum cukup mengatasi dahaga kaum Muslimin untuk mempelajari pendidikan Islam dan peradaban sebelum Islam. Hal itu karena umat Islam belum memiliki sebuah institusi pendidikan yang mempunyai konsep pembelajaran teratur.

Sejak 975 M, Al-Azhar secara resmi dibuka untuk proses belajar mengajar. Tepatnya ketika Abul Hasan Ali bin al-Nu’man, Ketua Mahkamah Agung mengupas buku Al-Ikhtisar tentang paradigma pemikiran di dalam Syi’ah, yang kemudian beberapa tahun setelahnya, Sultan Shalahuddin al-Ayyubi (Saladin) berhasil menguasai Mesir dari kekuasaan Dinasty Fathimiyyah pada akhir abad ke 10 M. Kondisi ini berlangsung hingga masa kepemimpinan Turki Utsmani dan tetap menjadi pusat pendidikan Islam.

Saat kepemimpinan Islam dipegang dinasti Turki Utsmani yang berpaham Sunni, sekitar abad 9 H/15 M, Al-Azhar mengalami zaman keemasan. Banyak ilmuwan dan ulama Islam bermunculan di Al-Azhar saat itu, di antaranya; Ibnu Khaldun, al-Farisi, Jalaluddin as-Suyuthi, al-‘Aini, al-Khawi, Abdul Latif al-Baghdadi, Ibnu Khaliqan, al-Maqrizi dan lainnya yang telah banyak mewariskan banyak ensiklopedi Arab dan juga banyak memberi andil pada pengetahuan modern saat ini.

Kondisi tersebut sangat berkaitan erat dengan mulai terbukanya Al-Azhar sebagai institusi Islam yang memiliki konsep pembelajaran teratur dan memiliki para pendidik yang mampu menciptakan generasi penerus yang siap bersaing, sehingga Al-Azhar mampu membidani lahirnya para ilmuwan Islam yang berkompeten di berbagai disiplin ilmu.

Baca Juga: Mengembangkan Pola Pikir Positif dalam Islam

Pada akhirnya, para ilmuwan Islam itu menjadi inspirasi bagi orang-orang Eropa untuk memperbaiki peradabannya yang saat itu sedang mencari jalan untuk mencapai titik demi titik dalam usahanya meraih kemajuan yang tak terbayangkan sebelumnya seperti yang terjadi saat ini.

Perkembangan di Masa Modern

Pembaharuan di zaman modern yang amat kentara sekali dilakukan oleh Muhammad Abduh, salah satu tokoh kekinian di dalam Islam. Ketika dirinya masih memegang kendali Al-Azhar, ia banyak melakukan pembaharuan terhadap pola pendidikan Islam di Al-Azhar yang dinilai sudah tidak relevan dengan perkembangan zaman.

Pembaharuan yang dilakukan oleh Muhammad Abduh dimaksudkan untuk menegaskan kembali fungsi Al-Azhar sebagai pusat pemurnian pemahaman ajaran Islam yang diharapkan dapat mencetak kader-kader da’i tangguh untuk membendung pola pikir yang semakin menggerus pemahaman tentang Islam.

Baca Juga: Tadabbur QS. Thaha ayat 14, Dirikan Shalat untuk Mengingat Allah

Di saat bersamaan, dibentuklah beberapa jenjang pendidikan di Al-Azhar, sejak tingkat dasar sampai jenjang akademi, juga membuka fakultas-fakultas umum yang semuanya dengan sistim terpisah antara putra dan putri.

Pada masa ini kemudian mulai dipelajari sistem penelitian yang dilakukan universitas di Barat, dengan mengirim alumni-alumni terbaiknya belajar di Eropa dan Amerika.

Tujuannya adalah untuk mengikuti perkembangan ilmiah di tingkat internasional sekaligus upaya perbandingan dan pengukuhan Islam yang benar. Masa ini yang kemudian dikenal banyak pemikir sebagai awal pemikiran modern di dalam Islam.

Hal ini tidak lepas dari peran seorang Muhammad Abduh yang mengubah sistem pendidikan di Al-Azhar, sebab menurut pandangannya, pendidikan di Al-Azhar terlalu ‘jumud’, tidak memiliki kemajuan yang membuat Islam terus mengalami kemunduran.

Baca Juga: Terus Berjuang Membela Palestina

Dengan konsep pendidikan yang berada di bawah komandonya, Muhammad Abduh mulai memasukan ilmu-ilmu modern ke dalam kurikulum Al-Azhar, seperti ilmu Fisika, Teologi, Filsafat, Sosiologi, dan Sejarah.

Semakin hari, Al-Azhar berkembang semakin besar, sehingga tidak hanya berpusat di ibukota, Kairo, tapi hampir menyeluruh di setiap provinsi di Mesir yang juga membuka cabang Al-Azhar.

Kebesaran tersebut lebih terasa lagi, untuk mengetahui bahwa Al-Azhar adalah sebuah lembaga sosial, dan bisa kita saksikan bahwa Al-Azhar sepeserpun tidak menarik uang kuliah dari mahasiswa. Bahkan lembaga pendidikan itu tiap tahunnya membuka pendaftaran beasiswa, terus mengadakan pembangunan dan membuka cabang-cabang baru di daerah-daerah.

Al-Azhar yang kini menginjak usia seribu tahun lebih, tentu saja banyak mengalami dinamika dan romantika. Walau telah uzur, namun Al-Azhar tetap menjadi favorit dan masih bisa dijadikan pusat untuk menimba ilmu-ilmu Islam saat ini.

Baca Juga: Lisanmu Adalah Cerminan Iman, Jangan Biarkan Kata-Kata Melukai..!

Hal itu dapat dilihat dari antusiasnya para penuntut ilmu dari berbagai penjuru dunia yang berdatangan ke negeri Fir’aun itu. Untuk wilayah Timur-Tengah, rating tertinggi tujuan tempat belajar para pelajar Islam  Indonesia di luar negeri adalah Mesir dalam hal ini Universitas Al-Azhar.

Menurut data dari Atase Pendidikan Dan Kebudayaan KBRI-Cairo, jumlah mahasiswa Al-Azhar saat ini kurang lebih sekitar 439.152 orang, di antara jumlah tersebut, ada sekitar 4 ribuan lebih mahasiswa Indonesia.

Menarik pula adalah bahwa Al-Azhar saat ini merupakan universitas tertua di dunia dan telah banyak mengeluarkan tokoh-tokoh Muslim ternama, diantaranya; Muhammad ‘Abduh, Jamaludin al-Afghani, Yusuf al-Qardhawi. (P011/P2)

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-18] Tentang Taqwa

Rekomendasi untuk Anda

MINA Preneur
Kolom
Khadijah
MINA Health
Kolom