Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Al-Farabi, Filusuf Fisikawan Muslim

Hasanatun Aliyah - Jumat, 26 Februari 2016 - 17:42 WIB

Jumat, 26 Februari 2016 - 17:42 WIB

724 Views

(foto: nternet)
(foto: nternet)

(foto: Internet)

Oleh Hasanatun Aliyah, Mahasiswa Jurusan Pendidikan Agama Islam STAI Al-Fatah, Cileungsi, Bogor, Jabar

Al-Farabi merupakan salah satu ilmuwan dan filusuf Islam. Selain itu, ia juga dikenal sebagai filusuf fisikawan, kimiawan, ahli logika, ilmu jiwa, metafisika, politik, dan lain sebagainya. Sedangkan di Negara barat Al-Farabi dikenal dengan nama Alpharabius atau Abunasir (Avennaser).

Pria yang mempunyai nama lengkap Abu Nasir Muhammad bin Muhammad bin Tarkhan bin Auzlagh Al-Farabi, lahir di Wasij (dusun kecil dikota Farab), Provinsi Transoxiana, Turkestan  pada tahun 257 Hijriah (890 Masehi).

Ayahnya, Muhammad ibn Tharkhan adalah seorang bangsawan-Militer Turki keturunan bangsawan Persia, dan ibunya seorang wanita keturunan Turki. Dengan Lingkungan yang mayoritas penduduknya berfaham fiqh Syafi’iyah ditambah kondisi ekonomi keluarga yang memadai, memungkin seorang filusuf ini menerima pendidikan yang layak.

Baca Juga: Transformasi Mardi Tato, Perjalanan dari Dunia Kelam Menuju Ridha Ilahi

Masa Kecil

Sejak dini ia memiliki kecerdasan istimewa dan bakat besar untuk menguasai hampir setiap subjek yang dipelajari, terutama dalam bidang Bahasa ia dapat berbicara dalam tujuh puluh macam, dan empat bahasa yang paling dikuasai yakni Arab, Persia, Turki dan Kurdi.

Ilmuan yang pernah tinggal di Bukhara guna menempuh studi lanjut fiqih dan ilmu religius lainnya. Kota tersebut dibawah kekuasaan pemerintahan Nasir ibn Muhammad sebagai masa awal kebangkitan sastra dan budaya Persia dalam Islam. Di kota ini pula ia pernah menjadi hakim (qadhi).

Tidak lama menjadi hakim, dia melepaskan pekerjaan itu ketika mengetahui ada sesorang guru yang mengajarkan ilmu-ilmu filosofis. Setelah itu, ia mulai tenggelam dalam kesibukan mempelajari ilmu logika Aristoteles dan filsafat kepada Yuhanna ibn Hailan di kota Merv (Marw) Khurasan.

Baca Juga: Dato’ Rusly Abdullah, Perjalanan Seorang Chef Menjadi Inspirator Jutawan

Saat berusia 40 tahun, Al-Farabi hijrah ke Baghdad tahun 900, bersama gurunya ibn Hailan. Di sana ia belajar kepada guru yang lain tentang kaidah-kaidah bahasa Arab kepada Abu bakar al-Saraj juga belajar ilmu logika serta filsafat kepada seorang Kristen, Abu Bisyr Mattius ibn Yunus. Kala itu rupakan pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan dunia.

Selama di Baghdad Al-Farabi tetap belajar pada fase selanjutnya Al-Farabi pun pindah ke Harran mengikuti sang guru. Setelah itu, Al-Farabi melanjutkan studinya ke Konstatinopel, erat pertautannya dengan mazhab filsafat Alexandria. Al-Farabi menetap di Konstatinopel selama delapan tahun menyelesaikan studi ilmu-ilmu dan seluruh silabus filosofis.

Setelah usai studi, Al-Farabi kembali ke Baghad sebagai siswa Matta ibn Yunus, seorang filosof Nestorian. Di bawah bimbingan Matta, ia mampu menguraikan gagasan-gagasan abstrak menjadi mudah difahami dengan istilah yang sederhana. Bahkan, ajaran dan tulisan-tulisan pada masa ini dengan cepat memantapkan reputasinya sebagai filosoft muslim terkemuka, melebihi gurunya Matta ibn Yunus dalam bidang logika.

Pria yang meninggal di Damaskus tahun 950 M, berkenalan dengan Said al-Daulah al-Hamdani, Sulthan dinasti Hamdan di Halab (Aleppo). Sulthan terkesan dengan kealiman dan keintelektualan beliau, hingga mengajaknya pindah ke Aleppo. Di Aleppo sulthan memberikan kedudukan yang baik kepada al-Farabhi sebagai penasehat istana sampai ia wafat di sana sekitar tahun 337 H/950 M dalam usia 80 tahun.

Baca Juga: Hambali bin Husin, Kisah Keteguhan Iman dan Kesabaran dalam Taat

Karya Al-Farabi

Karya-karya Al-Farabi yang dikenal dunia pada abad pertengahan. Para bibliografer tradisional menghubungkan lebih dari seratus karya kepada Al-Farabi..

Karya-karya Al-Farabi diantaranya: Al-Jami’u Baina Ra’yani Al-Hkiman Afalatoni Al Hahiy wa Aristho-thails (perpaduan pendapat antara Plato dan Aristoteles), As Syiasyah (ilmu politik), Fi Ma’ani Al Aqli, (makna Berfikir), Ihsha’u Al Ulum (kumpulan berbagai ilmu), dll.

Buku Al-Farabi yang bejudul “Ihsaul Ulum” merupakan teori keilmuan dan cabang-cabangnya yang meliputi ilmu Bahasa, Mantiq, matematika, fisika, politik, hukum dan ketuhanan yang sebenarnya telah pernah dibahas oleh para penulis lain.

Baca Juga: Dari Cleaning Service Menjadi Sensei, Kisah Suroso yang Menginspirasi

Buku itu sangat istimewa karena ia mengkaitkan semua cabang ilmu tersebut dengan teori-teori keislaman yang ia rangkum dalam dua cabang ilmu baru (hukum Fikh/Islam, dan ilmu Kalam) yang sangat populer dibicarakan pada masa itu.

Terkait ketajaman karya Al-Farabi, diceritakan bahwa Ibnu Sina pernah mempelajari buku metafisika karangan Aristoteles. Setelah membacanya empat kali (dalam riwayat lain disebutkan 40 kali) ia belum juga mampu mencerna isinya sampai ia membaca buku “Intisari Metafisika” karya Al-Farabi, barulah ia mengerti apa yang selama ini dirasakan sukar.

Selain dalam bentuk buku risalah, Al-Farabi juga sering membuat ulasan dan penjelasan terhadap karya-karya filosof Yunani, seperti Al- Burhan (dalil), Ibarah (keterangan), Khitobah (cara berpidato), Al-Jadal (argumentasi/debat), Qiyas (analogi) dan Mantiq (logika) yang meupakan ulasan terhadap karya-karya Aristoteles. Juga ”Kitab Al-Majesti fi-Ihnil Falaq” yang merupakan ulasan terhadap karya Platinus dan ”Maqalah Fin-nafsi” sebagai ulasan terhadap karya Iskandar Al Fraudisiy.

Pandangan Filsafat

Baca Juga: Profil Hassan Nasrallah, Pemimpin Hezbollah yang Gugur Dibunuh Israel

Al-Farabi memiliki hasrat yang besar untuk memahami alam semesta dan manusia, dan untuk mengetahui tempat yang terakhir dalam bekas, sehingga untuk mencapai gambaran intelektual komprehensif dunia dan masyarakat.

Menurutnya, tujuan filsafat dan agama adalah sama, yaitu mengetahui semua wujud. Hanya saja filsafat memakai dalil-dalil yang yakini dan ditujukan kepada golongan tertentu, sedang agama memakai cara iqna’iy (pemuasan perasaan) dan kiasan-kiasan serta gambaran untuk semua orang,menurut Al-Farabi.

Al-Farabi adalah orang yang sangat hati-hati soal bocornya pembicaraan filsafat ke tangan orang awam. Ia berharap agar para filusuf menuliskan pendapat-pendapat atau falsafah mereka dalam gaya bahasa yang gelap, agar jangan dapat diketahui oleh sembarang orang, dan dengan demikian iman serta keyakinan mereka tidak menjadi goyah.

Falsafah Al-Farabi merupakan suatu intelektual dalam bentuk kongkrit dari apa yang disebut “Falsafah Pemaduan” (al-Falsafah at-Taufiqiyah) sebagai ciri yang sangat menonjol dari falsafah Islam.

Baca Juga: Jenderal Ahmad Yani, Ikon Perlawanan Terhadap Komunisme

Pemikirannya merupakan pemaduan falsafah Aristoteles, Plato dan New-Platonisme dengan pemikiran Islam yang bercorak aliran Syiah Imamiyah.

Al-Farabi dipandang sebagai filosof Islam yang mula kali menciptakan falsafah Taufiqqiyah karena ia percaya adanya “Kesatuan Falsafah”(wahdatu al-Falsafah). Baginya, kebenaran itu hanya satu, sedangkan perbedaan pendapat hanyalah pada lahirnya saja, tidak pada hakkikat.

Demi memahami pemikiran Plato dan Aristoteles, Al-Farabi secara khusus membaca karya kedua pemikir besar Yunani itu, yakni On the Soul sebanyak 200 kali dan Physics sampai 40 kali.(T/hna/R02 )

Sumber: Dari berbagai sumber

Baca Juga: Hidup Tenang Ala Darusman, Berserah Diri dan Yakin pada Takdir Allah

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Rekomendasi untuk Anda

MINA Preneur
Kolom
Khadijah