AL-QUDS atau yang lebih dikenal dengan nama Yerusalem, adalah kota suci yang memiliki tempat istimewa dalam sejarah dan peradaban Islam. Kota ini bukan hanya sekadar lokasi geografis, melainkan simbol spiritual, tempat sakral, dan pusat perjuangan umat Islam sepanjang zaman.
Al-Quds menjadi bagian dari narasi besar keimanan yang menghubungkan risalah para nabi sejak Nabi Ibrahim AS hingga Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam. Keagungan dan kesakralan kota ini telah menjadikannya sebagai poros perhatian dunia, khususnya bagi umat Islam yang menjadikan Al-Quds sebagai arah kiblat pertama dan salah satu dari tiga masjid utama yang dimuliakan.
Dalam Al-Qur’an, Al-Quds disebut secara tidak langsung melalui ayat tentang Isra’ dan Mi’raj. Masjid Al-Aqsha disebut sebagai tempat yang diberkahi, menunjukkan bahwa keberadaannya memiliki nilai spiritual yang tinggi. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam diangkat ke langit dari tempat ini setelah diperjalankan dari Masjidil Haram di Mekkah.
Peristiwa ini tidak hanya menggambarkan mukjizat besar Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam, tetapi juga menunjukkan pentingnya Masjid Al-Aqsha dalam perjalanan kenabian dan tauhid. Hal ini diperkuat oleh berbagai hadis yang menyebutkan keutamaan shalat di Masjid Al-Aqsha, serta perintah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam untuk mengunjunginya.
Baca Juga: Ka’bah di Hati, Ketika Rindu Tak Terobati, Doa Tak Pernah Henti
Dalam catatan sejarah, Al-Quds merupakan kota para nabi. Di tanah inilah Nabi Ibrahim AS pernah tinggal, dan dari keturunannya lahir para nabi besar seperti Ishaq, Ya’qub, Musa, Daud, Sulaiman, hingga Isa AS. Nabi Daud AS menjadikan Al-Quds sebagai pusat kerajaannya, sedangkan Nabi Sulaiman AS membangun tempat ibadah yang sangat agung di sana. Bahkan, Nabi Isa AS dilahirkan dan diutus untuk berdakwah di kawasan ini. Seluruh nabi tersebut menyuarakan pesan tauhid di tanah yang sama, menjadikan Al-Quds sebagai pusat spiritual yang dihormati oleh tiga agama besar dunia.
Penaklukan Al-Quds oleh umat Islam terjadi pada masa Khalifah Umar bin Khattab RA, tepatnya pada tahun 637 M. Penaklukan ini bukan dilandasi kekerasan, melainkan melalui perjanjian damai. Khalifah Umar sendiri datang langsung untuk menerima penyerahan kota tersebut dari pihak Kristen Bizantium. Sikap adil dan bijaknya tampak saat ia menolak untuk shalat di dalam Gereja Makam Kudus agar umat Islam tidak menjadikannya sebagai masjid. Tindakan ini menjadi contoh konkret tentang toleransi dan penghormatan antar agama dalam sejarah Islam.
Sejak berada di bawah pemerintahan Islam, Al-Quds mengalami masa-masa kejayaan, terutama pada masa Dinasti Umayyah. Khalifah Abdul Malik bin Marwan membangun Kubah Shakhrah (Dome of the Rock) yang megah, menandai kepedulian umat Islam terhadap simbol-simbol spiritual.
Meskipun pusat kekuasaan berpindah ke Baghdad saat Dinasti Abbasiyah berkuasa, Al-Quds tetap menjadi kota penting yang tidak hanya religius, tetapi juga intelektual. Ulama dan penulis seperti Al-Maqdisi dan Imam Al-Ghazali menuliskan keutamaan kota ini dalam karya-karya mereka.
Baca Juga: Menapaki Jejak Nabi, Haji Sebagai Perjalanan Jiwa Menuju Allah
Namun, masa damai tersebut tidak berlangsung selamanya. Pada tahun 1099, pasukan Salib dari Eropa merebut Al-Quds dalam Perang Salib Pertama. Peristiwa ini mencatatkan tragedi berdarah ketika ribuan Muslim dan Yahudi dibantai. Kota yang sebelumnya dikenal dengan kedamaian berubah menjadi tempat kekejaman.
Akan tetapi, situasi ini berubah ketika panglima besar Islam, Shalahuddin Al-Ayyubi, berhasil merebut kembali Al-Quds pada tahun 1187 M. Ia tidak membalas dendam, bahkan memberikan jaminan keselamatan kepada semua penduduk, termasuk umat Kristen.
Kepemimpinan Shalahuddin yang adil dan berwibawa mengembalikan reputasi Islam sebagai agama rahmat dan keadilan. Al-Quds kembali menjadi pusat ibadah dan toleransi. Masjid Al-Aqsha diperbaiki dan dibersihkan, dan umat Islam dari berbagai wilayah mulai datang untuk berziarah dan menimba ilmu.
Seiring berjalannya waktu, Al-Quds masuk ke dalam kekuasaan Turki Utsmaniyah selama hampir empat abad. Di masa ini, pembangunan infrastruktur dan perlindungan terhadap situs suci semakin diperkuat, termasuk perbaikan tembok kota dan pemeliharaan kompleks Al-Aqsha.
Baca Juga: Pemimpin Hebat Dibentuk dari Proses Pembelajaran Panjang
Akan tetapi, perubahan besar terjadi setelah Perang Dunia I. Kekalahan Kekhalifahan Utsmaniyah membuat Al-Quds jatuh ke tangan Inggris melalui sistem Mandat. Situasi semakin genting setelah berdirinya negara Israel pada tahun 1948, di mana sebagian wilayah Al-Quds mulai dicaplok.
Puncaknya terjadi pada tahun 1967 saat Israel secara sepihak menguasai Yerusalem Timur, termasuk Masjid Al-Aqsha. Sejak saat itu, ketegangan di kota ini meningkat drastis, dan berbagai pelanggaran terhadap hak-hak umat Islam terus terjadi hingga hari ini.
Status Al-Quds tetap menjadi masalah internasional yang belum terselesaikan. Meskipun hukum internasional tidak mengakui klaim Israel atas seluruh Yerusalem, kekuasaan de facto tetap berada di tangannya.
Dunia Islam tidak pernah berhenti menyuarakan pentingnya membebaskan Al-Quds dan mengembalikan kedaulatan atas tempat suci tersebut kepada bangsa Palestina. Berbagai organisasi Islam seperti OKI secara konsisten menyerukan pembelaan terhadap Masjid Al-Aqsha dan hak-hak rakyat Palestina.
Baca Juga: Meluruskan Kembali Makna “Berjama’ah”
Secara teologis dan historis, Al-Quds merupakan bagian dari jati diri umat Islam. Ia adalah saksi sejarah perjuangan, pengorbanan, dan kebangkitan peradaban Islam. Ketika umat Islam memperjuangkan Al-Quds, itu bukan semata-mata persoalan geopolitik, tetapi merupakan cerminan dari komitmen terhadap nilai-nilai keimanan dan sejarah yang tidak boleh dilupakan. Kehilangan Al-Quds berarti kehilangan sebagian dari warisan suci umat ini.
Di tengah tantangan modern dan dominasi kekuatan asing atas kota ini, semangat untuk membebaskan Al-Quds terus hidup. Generasi muda Muslim diajak untuk mengenali sejarah kota ini, mencintainya, dan membela kehormatannya dengan cara-cara yang bermartabat. Pendidikan, advokasi, dan solidaritas internasional harus digerakkan untuk membangun kesadaran kolektif umat bahwa Al-Quds bukan isu regional, melainkan isu global umat Islam.
Kesadaran akan pentingnya Al-Quds juga harus diwujudkan dalam bentuk pembelaan terhadap Masjid Al-Aqsha yang kerap menjadi sasaran provokasi. Masjid ini bukan sekadar bangunan, tetapi simbol akidah, kiblat awal shalat umat Islam, dan saksi peristiwa Mi’raj. Menjaga dan memperjuangkannya berarti menjaga kehormatan Islam itu sendiri. Maka tidak heran jika para ulama menyebutkan bahwa membela Al-Quds adalah bagian dari jihad fi sabilillah.
Lebih dari itu, Al-Quds adalah pelajaran sejarah yang hidup. Ia mengajarkan kita tentang pentingnya keadilan, toleransi, kepemimpinan yang bijak, serta keberanian dalam mempertahankan kebenaran. Dari Umar bin Khattab hingga Shalahuddin Al-Ayyubi, kita belajar bahwa kekuatan Islam bukanlah pada senjata semata, melainkan pada akhlak, ilmu, dan keteguhan hati. Inilah warisan yang harus terus dirawat oleh umat Islam di seluruh dunia.
Baca Juga: Mensyukuri Rezki dari Allah dengan Berqurban
Dalam konteks kekinian, Al-Quds menjadi barometer kondisi umat Islam. Ketika Al-Quds dibiarkan dalam cengkeraman penjajah, itu menjadi tanda lemahnya solidaritas umat. Namun saat Al-Quds dibela dengan kekuatan ilmu, diplomasi, dan perjuangan yang sah, itu menjadi pertanda kebangkitan umat. Oleh karena itu, memperjuangkan Al-Quds bukan hanya tentang mengembalikan tanah yang hilang, tetapi juga menghidupkan kembali martabat Islam yang sejati.
Dengan demikian, Al-Quds adalah milik umat Islam, tidak hanya secara historis, tetapi juga secara spiritual dan moral. Tugas kita sebagai Muslim adalah menjaga kesadaran ini, mengajarkannya kepada generasi penerus, dan terus menghidupkan semangat perjuangan yang berpijak pada cinta, ilmu, dan iman. Al-Quds bukan hanya masa lalu kita, tetapi juga masa depan yang harus diperjuangkan bersama.[]
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Mengapa Koruptor Diibaratkan Tikus? Ini Jawabannya