Oleh: Dr. L. Sholehuddin, M.Pd.; Dosen pada Sekolah Tinggi Shuffah Al-Quran Abdullah bin Masud Online Lampung Indonesia
Para ahli agama, secara aklamasi bersepakat bahwa isi atau kandungan Al-Quran terdiri dari tiga aspek inti, yaitu: akidah, syariah, dan akhlak. Ketiganya merupakan tiga kesatuan yang tidak bisa dipisahkan satu dengan lainnya. Merupakan satu kesatuan yang utuh dan padu (multy triple) yang tidak akan dapat berfungsi dengan baik dan akan terjadi ketimpangan bahkan kehancuran, bila salah satu dari tiga aspek itu tidak ada.
Logikanya: Pertama, aspek Akidah, al-Quran berbicara berkenaan dengan ketuhanan, uluhiyyah, tauhid, ke-Maha Esa-an Allah yang merepresentasikan bahwa hanya Allah-lah yang berhak untuk ditaati, disembah, dimuliakan, disegani, dipuji dan disanjung, karena kedudukan-Nya yang amat sangat tinggi dan spektakuler dengan 99 sifat yang dimilikinya itu. Sementara makhluk bernama manusia adalah sosok makhluk terdiri dari kulit, daging tulang yang lemah, tidak memiliki daya dan kekuatan, bagaikan debu yang naif dan fana.
Kedua, aspek Syariah, Al-Quran berbicara pada tataran tata laksana hubungan antar makhluk dengan khalik dan makhluk dengan makhluk (habl min Allah dan hamblu min al-naas). Aturan hukum yang berlaku dalam hubungan makhluk/manusia dengan Allah (hambl min Allah) murni hanya bergantung kepada-Nya tanpa harus melibatkan pengaruh makhluk dalam pelaksanaannya. Artinya, ia melaksanakan ibadah, seperti: shalat, puasa, zakat, haji, berjihad, berbakti pada orang tua, menolong orang yang kesulitan hidup, membantu kaum tertindas dan tertinggal secara sosial, budaya, ekonomi, ilmu, dan kesempatan berproduktivitas, itu dilakukan dengan ikhlas, lurus dan bersih dari segala anasir syirik, tidak ada niat dalam hatinya terselip perasaan ingin mendapat pujian makhluk.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-25] Tentang Bersedekah Tidak Mesti dengan Harta
Sementara, aturan hukum yang menyangkut hubungan antar makhluk dengan makhluk (habl min al-naas) termasuk hubungan manusia dengan lingkungan dan makhluk lainnya, itu harus melibatkan kehadiran Sang Khaliq (Allah) agar terjaga dan terpelihara dari pengaruh jahat syahwat insani yang naif dan merugikan. Keterlibatan Allah dalam konteks ini, dapat memberikan jaminan bagi seseorang atau kelompok masyarakat bahkan bangsa untuk berbuat amanah, jujur, tanggung jawab dalam menjalankannya bila mendapatkan kesempatan memiliki posisi, jabatan, atau pekerjaan sekecil apapun. Sebagai pejabat, birokrat, publik figur, pedagang, pegawai, pengusaha, guru, karyawan dan lain-lain, mereka tidak akan pernah berani melakukan korupi, manipulasi, abuse of power, menipu meskipun ada kesempatan untuk melakukannya.
Ketiga, aspek Akhlak, ini merupakan representasi perpaduan dari dua aspek sebelumnya (akidah dan syariah). Aspek ini menitik beratkan pada implementasi tata cara berekspresi, berinteraksi dan berbuat antar individu atau kelompok orang, masyarakat bahkan bangsa.
Dalam tataran ekspresi, akhlak berfungi sebagai kelembutan, kesantunan, keramah-tamahan, kasih sayang dalam bersikap, tidak menyakitkan, menyinggung dan melukai perasaan lawan bicara. Dalam tataran interaksi, akhlak berperan sebagai sarana komunikasi dan sosialisasi efektif menyampaikan gagasan, ide, pendapat atau pemikiran dan meyakinkan lawan bicara dapat menerima dengan kepahaman dan kesadaran yang penuh bahwa aturan atau program itu baik, urgen dan bernilai manfaat, tanpa harus mengintimidasi, menekan, memaksa, merampas dan menakut-nakuti.
Sementara tataran perbuatan, akhlak merupakan media dalam mempengaruhi lawan bicara untuk secara bersama-sama melaksanakan apa yang menjadi kewajiban sebagai individu atau warga masyarakat terhadap beragam peraturan yang harus dipatuhi dan dijalankan. Setiap individu di dalam masyarakat dapat memahami dengan baik dan benar akan posisi, peran dan fungsi pada setiap lapangan pekerjaannya.
Baca Juga: Tafsir Surat Al-Fatihah: Makna dan Keutamaannya bagi Kehidupan Sehari-Hari
Baik pemangku jabatan struktural yang duduk di Legislatif, Yudikatif, Eksekutif sampai jajaran di bawahnya. Maupun pemangku jabatan non pemerintah yang duduk di sebuah organisasi kemasyarakatan dan sejenisnya, atau pemegang atau pelaku yang ada pada sentra-sentra ekonomi, kaum buruh, pedagang, karyawan dan lain-lain, mereka dapat menjalankan tugas yang dimiliki dan dipikul di pundaknya dengan dedikasi dan loyalitas yang tinggi, sungguh-sungguh, bertanggung jawab, jujur, adil, amanah, dan berintegritas.
Oleh karena itu, aspek akhlak ini menjadi sangat penting eksistensinya, karena pada hakikatnya ia merupakan intisari dan perpaduan makna dari akidah dan syariah sebagai alat kontrol dan alat ukur bagi seseorang tentang kebenaran akidah dan kedalaman syariah yang dipahaminya.
Artinya, kalau seorang pejabat berlaku jujur, adil, bijaksana dalam menjalankan tugas yang menjadi amanahnya berarti ia dapat dikatakan mushin. Yaitu berbuat atas dasar keyakinan dan kesadaran hati nurani bahwa ia seakan-akan melihat Allah yang selalu mengawasi, menyaksikan, mengontrol dan memonitor. Tetapi, jika ia tidak mampu menghadirkan Allah dalam bayangannya, ia yakin dengan penuh keyakinan bahwa Allah mengawasinya, sehingga dengan itu tidak ada baginya celah sekecil apa pun untuk berbuat menyimpang.
Itulah inti kandungan al-Quran yang telah memberikan petunjuk dan bimbingan secara tuntas dan menyeluruh bagi manusia dalam menjalankan roda kehidupan mereka guna mencapai kejayaan dan kesuksesan hakiki.
Baca Juga: Tak Perlu Khawatir Tentang Urusan Dunia
Al-Quran selalu up to date dapat diterapkan kapan saja, responsif dan akomodatif terhadap berbagai perkembangan dan perubahan pola pikir manusia, tidak inklusif, tidak ortodoks, dan tidak akan pernah usang karena kehujanan, tidak akan pernah lekang karena kepanasan. Al-Quran akan tetap survival memberikan inspirasi, motivasi dan inovasi kreatif yang tidak akan pernah kering, memberikan beragam solusi efektif untuk mengatai persoalan yang dihadapi umat manusia.
Bangsa Indonesia, saat ini sedang mengalami sakit stadium tiga bahkan mungkin empat, dengan komplikasi penyakit yang diderita yang muncul belakangan ini seperti; penyakit korupsi, manipulasi, eksploitasi, kriminalitas, instabilitas, inkonstitusional, terorisme, radikalisme, intoleran, amoral, pembunuhan, perkelahian dan sederet perilaku tak terpuji berbaur menjadi satu menyelimuti kegelapan bumi pertiwi.
Multi krisis yang sedang berlangsung mendera bangsa ini, tidak akan pernah selesai dan tuntas bila hanya mengandalkan kecerdasan dan kecakapan otak manusia saja yang sangat terbatas, tetapi harus kembali sepenuhnya kepada Al-Quran dan melibatkan peran Al-Quran secara aktif.
Dalam menghadapi masalah, maka letakkan Al-Quran di hadapan kita, bagaimana al-Quran berpikir, berbicara, dan berbuat itulah yang menjadi acuan tindakan.
Baca Juga: [Hadits Al-Arbain ke-24] Tentang Haramnya Berbuat Zalim
Secara empiris, Al-Quran amat sangat mampu menyelesaikan problematika hidup serumit apa pun dan itu sudah terbukti. Apakah sikap radikalisme, terorisme, kesenjangan sosial, isu SARA dan berbagai penyakit mental yang telah dipaparkan di muka, yang telah mencabik-cabik kesatuan, persatuan dan keutuhan bangsa Indonesia saat ini akan tetap terus merajalela?
Sudah barang tentu, mental bobrok dan merugikan tersebut tidak boleh dibiarkan, kita atasi bersama-sama sampai tuntas melalui pendekatan Al-Quran sebagai solusi.(AK/R01/P1)
Mi’raj News Agency (MINA)