Oleh: Imam Shamsi Ali, Presiden Nusantara Foundation
Sesungguhnya Allah tidak peduli dengan kesuksesan yang engkau telah hasilkan, toh itu bukan milikmu. Itu adalah amanah sementara yang dititipkan kepadamu. Juga itu semua memungkinkan karena Dia yang di atas sana berkehendak.
Dalam hidup seringkali manusia bersikap ibarat Superman atau Superwoman. Merasa hebat dan mampu melakukan, bahkan merasa menentukan hasil akhir dari perjalanan usahanya.
Sekali-kali tidak!
Baca Juga: Keistimewaan Puasa Enam Hari Bulan Syawal Seperti Berpuasa Setahun
Mungkin itu ungkapan sederhana untuk merespon perilaku seperti itu. Bahwa hidup ini ada pemiliknya. Hidup ini dicipta, dikelolah, diarahkan dan ditentukan oleh Yang Maha Berkuasa.
“Inna lillahi wa inna ilaihi rajiuun” bukanlah slogan kosong yang diucapkan di saat ada kematian di sekitar kita. Tapi sebuah ekspresi konsep dasar hidup seorang Mukmin.
Bahwa aku, hidup aku, bahkan semua yang aku rasa menjadi bagian dariku dari hidup ini adalah milik Allah. Dan aku mau, ridho atau tidak, semuanya akan kembali kepada Pemilik Sejati itu.
Semua yang terjadi itu berada pada satu komando. Komando Dia yang “di tangan-Nya segala kuasa dan Dia berkuasa atas segala sesuatu”.
Baca Juga: Syawalan di Semarang, Potret Harmoni Budaya dan Peningkatan Ekonomi Rakyat
“Tidak ada yang terhambat ketika Dia inginkan terjadi. Dan tidak ada yang terjadi jika Dia yang menghambatnya”.
“Sungguh Dia yang memiliki segala kerajaan dan kekuasaan. Dia memberikan kekuasaan itu kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan Dia pula yang mencabut kekuasaan dari siapa yang Dia kehendaki. Di tangan-Nya lah segala kebaikan, seraya berkuasa atas segala sesuatu”.
Kuasa Allah berlaku di awal, di tengah maupun di akhir perjalanan usaha manusia. Maka di awal niatkan karena-Nya. Di tengah ikhtiarkan dengan-Nya. Dan di akhir serahkan untuk-Nya semata.
Bismillah, billah, lillah. Mungkin itulah tiga ekspresi yang harus terbangun dalam melanjutkan langkah-langkah kaki di lorong-lorong kehidupan ini. Dengan Nama-Nya kita mulai, dengan kuasa-Nya kita jalani, dan demi ridho-Nya kita akhiri.
Baca Juga: Sungkeman, Tradisi Penuh Makna dalam Momen Idul Fitri
Kesadaran seperti inilah yang menjadi energi positif luar biasa bagi seorang Mukmin dalam menggerakkan ayunan kaki perjalanan hidupnya. Menjadi kekuatan dahsyat dalam menghadapi ragam duri dan kerikil tajam kehidupan.
Usahamu yang dinilai!
Jika semua memang karena “Qadar Allah” dalam menentukan warna akhir dari usaha itu, lalu di mana “nilai” dari perjuangan itu?
Sejatinya memang Allah yang menentukan. Dan manusia tidak punya menentukan akhir. Manusia tidak akan bisa mendikte Allah dalam menentukan akhir perjalanan juang hamba-hambaNya.
Baca Juga: Kerasnya Hati Orang Yahudi
Bahkan sebuah yang paling krusial dari kehidupan itu sendiri. Keselamatan atau kesengsaraan abadi seorang hamba.
Diriwayatkan bahwa ada seorang hamba yang saleh, taat, hingga dalam beberapa saat sebelum kematiannya dia melakukan sesuatu yg menjadikannya tergelincir dan masuk neraka.
Sebaliknya ada seorang hamba yang sepanjang hidupnya ingkar dan penuh dosa. Namun sesaat sebelum menghembuskan nafas terakhir dia taubat dan bertahlil (laa ilaaha illah Allah-Muhammad Rasul Allah). Dan dia masuk syurga karena kasih sayang Allah itu.
Riwayat itu untuk mengingatkan “kemahakuasaan Allah” yang tak mungkin diintervensi oleh hamba-hambaNya.
Baca Juga: Wae Rebo: Desa di Atas Awan dengan Rumah Adat Unik
Bahkan Rasul dalam memperjuangkan misi kerisalahan (dakwah). Allah dalam berbagai kesempatan mengingatkan: “Tugasmu wahai Muhammad tidak lebih dari menyampaikan”. Bukan memberikan hidayah (Taufiq). Hidayah ada pada hak mutlak sang Pencipta.
Berbagai contoh dari Al-Quran maupun sirah Rasul Allah mengajarkan dengan jelas bahwa kewajiban sekaligus nilai dari usaha juang manusia itu ada pada prosesnya. Jangan bangga dengan hasil karena itu ketentuan takdir-Nya. Tapi banggalah dengan “ikhtiarmu” karena itulah bagianmu.
Oleh karena itulah Al-Qur’an menegaskan: “dan berkaryalah (beramal lah)! Niscaya Allah akan melihat (menilai) amalmu, juga rasul-Nya dan orang-orang beriman”.
Bahkan Al-Quran membatasi penilaian itu pada amal: “Maka barangsiapa yang berbuat kebaikan walau sebesar dzarroh,niscaya Allah akan melihatnya (menilainya). Dan barangsiapa yang melakukan kejahatan, walau sebesar dzarroh, niscaya Allah akan melihatnya (menilainya)”.
Baca Juga: 15 Tips Menjadi Ayah yang Baik: Panduan untuk Ayah Milenial
Maka lakukan yang terbaik dan Sungguh-sungguh dan profesionalitas. Jangan pernah mengenal lelah karena di situ nilai juangmu.
Ikhtiar sungguh-sungguh yang dibarengi dengan doa, tawakkal dan penuh optimisme, Insya Allah semua akan indah pada akhirnya.
Keindahan hasil, apapun bentuk dan warnanya, ada pada niat, kerja keras, tawakkal, dan keyakinan penuh akan “Qadar Ilahi” yang terbaik.
Selamat berjuang memburu ridho Allah!
Baca Juga: Ahlul Qur’an: Mencintai, Menghafal, dan Mengamalkan
New York, 11 Februari 2019
(AK/Ais/B05)
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Meniti Jalan Ahlul Qur’an: Menggapai Derajat Mulia