Saat kembali menjabat sebagai Presiden AS, Donald Trump tampak berambisi untuk mengubah Timur Tengah sesuai visinya, yaitu membantu Zionis Israel dan mendukung semua apa yang dilakukannya, meskipun itu adalah kejahatan kemanusiaan. Trump ingin menguasai Gaza dengan pembersihan etnis, dikemas dengan ambisi bisnis.
Kolumnis ternama The New York Times, Thomas Friedman menantangnya untuk membangun kembali Timur Tengah. Trump merespon tantangan itu dengan rencana kontroversial: mengambil alih Jalur Gaza, wilayah yang hancur akibat agresi Israel sejak Oktober 2023 lalu.
Trump tampaknya kurang memahami letak Gaza, sempat mengeluarkan pernyataan keliru bahwa AS mengirim dana ke Gaza untuk membeli kondom bagi Hamas. Namun, dalam konferensi pers bersama Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, ia dengan yakin menyatakan: “AS akan mengambil alih Gaza, dan kami akan memilikinya.”
Menurutnya, kepemilikan jangka panjang AS atas Gaza akan melibatkan pemindahan besar-besaran penduduk Palestina ke negara lain yang “memiliki hati kemanusiaan.” Tujuannya? Mengubah Gaza menjadi “Riviera Timur Tengah,” proyek pembangunan yang disebutnya sebagai peluang luar biasa.
Baca Juga: Bahasa Inggris untuk Gen Z, Perlu Nggak Sih?
“Semua orang yang saya ajak bicara menyukai ide ini,” klaim Trump. Namun, banyak pihak menilai rencana tersebut tak lebih dari pembersihan etnis yang dikemas dalam ambisi bisnis.
Rencana Trump untuk Gaza sejalan dengan pendekatan agresifnya di berbagai belahan dunia. Ia pernah mengusulkan penggantian nama Teluk Meksiko menjadi “Teluk Amerika” dan mengancam akan merebut Terusan Panama serta mencaplok Kanada dan Greenland dengan kekuatan militer.
Namun, bukan hanya Trump yang bertanggung jawab atas krisis ini. Kebijakan luar negeri AS, termasuk di bawah Biden, terus mendukung serangan Israel di Gaza melalui bantuan militer dan diplomatik. Meski demikian, proposal Trump lebih ekstrem, mencerminkan pola pikir orientalis yang melihat Gaza sebagai proyek properti, bukan rumah bagi jutaan warga Palestina.
Rencana pemindahan paksa warga Palestina demi menciptakan “Riviera Timur Tengah” jelas bertentangan dengan Konvensi Genosida, yang mendefinisikan genosida sebagai tindakan untuk “menghancurkan, baik secara keseluruhan maupun sebagian, suatu kelompok nasional, etnis, rasial, atau religi.”
Baca Juga: Gudep Pramuka Al-Fatah Lampung Serahterimakan Jabatan Dewan Ambalan
Trump bersikeras bahwa Gaza memiliki “potensi luar biasa,” tetapi hanya jika warga Palestina tidak kembali. “Saya tidak berpikir mereka harus kembali ke Gaza… Mereka hidup seperti di neraka,” katanya. Padahal, kondisi ini justru diciptakan oleh kebijakan agresif AS yang selama puluhan tahun mendukung Israel dalam menindas Gaza.
Setelah sempat dihentikan oleh Biden, Trump kini kembali mengizinkan pengiriman bom berat ke Israel, memperburuk situasi di wilayah yang sudah porak-poranda.
Dengan retorika khasnya, Trump menyatakan ingin “membersihkan” Gaza, pernyataan yang disambut baik oleh Netanyahu dan sekutunya. Klaimnya bahwa rencananya akan membawa “stabilitas besar” ke Timur Tengah justru menegaskan bahwa kepentingan bisnis dan geopolitiklah yang menjadi prioritasnya.
Pada akhirnya, pertanyaan yang muncul adalah: Apakah Trump benar-benar ingin membangun Gaza untuk rakyat Palestina, atau hanya ingin membangun Trump Tower di atas tanah yang telah ia kosongkan?
Baca Juga: Yayasan MATAIN Gelar Pelatihan Critical Thinking untuk Generasi Muda
Memang benar prediksi banyak orang, bahwa ambisi Trump di Palestina, pembersihan etnis yang dikemas dengan ambisi bisnis. []
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Pengembangan Gerakan Literasi Santri