SETELAH Perang Dunia II, Amerika Serikat keluar sebagai kekuatan ekonomi dominan dan memaksakan sistem moneter internasional melalui Bretton Woods Agreement pada 1944. Perjanjian ini menempatkan dolar AS sebagai mata uang cadangan utama dunia, dengan nilai tukar tetap terhadap emas. Ini menjadi fondasi awal dominasi dolar atas sistem keuangan global.
Pada 1971, Presiden Nixon menghentikan konversi dolar ke emas, secara efektif mengakhiri sistem Bretton Woods dan menciptakan sistem uang fiat. Meskipun dolar tak lagi didukung emas, mata uang ini tetap menjadi standar global karena dominasi ekonomi dan militer AS, mengokohkan “imperialisme moneter” Amerika.
Kesepakatan AS dengan Arab Saudi tahun 1974 membuat minyak dunia diperdagangkan dalam dolar, menciptakan sistem petrodollar recycling. Negara-negara pengimpor minyak harus menyimpan dolar dalam cadangan mereka, memberi AS kekuasaan luar biasa dalam memengaruhi ekonomi global.
Lembaga keuangan internasional seperti IMF dan Bank Dunia banyak dikuasai oleh kepentingan AS. Dalam praktiknya, pinjaman yang diberikan sering disertai syarat kebijakan neoliberal—privatisasi, deregulasi, dan pembukaan pasar—yang menguntungkan perusahaan multinasional berbasis di Barat, terutama Amerika.
Baca Juga: Fakta Mengejutkan, Israel adalah Negara Ilegal Menurut Hukum Dunia
Federal Reserve, bank sentral AS, memiliki kekuasaan luar biasa untuk mencetak uang. Ketika The Fed mencetak dolar secara masif (misalnya saat krisis 2008 dan pandemi COVID-19), dampak inflasi bisa diekspor ke negara lain yang menyimpan dolar, sementara AS tetap diuntungkan dengan biaya pinjaman rendah.
Sistem pembayaran internasional SWIFT didominasi oleh AS dan sekutunya. Dalam konflik geopolitik, AS menggunakan sistem ini sebagai senjata ekonomi, seperti memblokir Rusia dari SWIFT pada 2022. Ini menegaskan bahwa kontrol dolar juga menjadi alat dominasi geopolitik.
AS telah menerapkan sanksi ekonomi terhadap lebih dari 30 negara. Dengan mendominasi sistem keuangan internasional, AS dapat mengisolasi negara dari akses terhadap perdagangan dan perbankan global, tanpa melalui resolusi PBB. Contoh nyata: Iran, Venezuela, dan Korea Utara.
Investor global cenderung menaruh dana mereka dalam aset berbasis dolar seperti Treasury Bonds AS. Bahkan saat krisis, dolar dianggap “safe haven”. Aliran dana besar ke pasar modal AS memperkuat dominasi ekonomi dan ketergantungan negara-negara lain terhadap stabilitas ekonomi Amerika.
Baca Juga: Senjata Amerika dan Darah Muslim Palestina
Melalui globalisasi, perusahaan seperti Apple, Amazon, dan Google menyebar ke seluruh dunia. Mereka tak hanya menjual produk, tetapi juga menanamkan nilai budaya dan ekonomi AS. Keuntungan besar dikumpulkan dari pasar negara berkembang, sementara kontrol tetap berada di tangan segelintir elite korporat AS.
Negara-negara Global Selatan yang bergantung pada dolar seringkali mengalami krisis utang. Krisis utang Amerika Latin pada 1980-an dan utang luar negeri negara-negara Afrika adalah contoh nyata bagaimana sistem dolar menciptakan ketimpangan struktural antara negara maju dan berkembang.
Wall Street, pusat keuangan global yang bermarkas di New York, memainkan peran utama dalam menentukan arah ekonomi dunia. Skema derivatif, spekulasi mata uang, dan lembaga rating internasional seperti Moody’s dan S&P memperkuat struktur dominasi kapitalisme AS atas sistem keuangan global.
Amerika Serikat memiliki lebih dari 800 pangkalan militer di seluruh dunia. Ini bukan hanya soal keamanan, tapi juga melindungi kepentingan ekonomi dan jalur perdagangan strategis. Keamanan atas sistem keuangan dolar ditopang oleh superioritas militer, menjadikan dominasi dolar bukan hanya ekonomi, tapi juga strategis.
Baca Juga: Negara Penjajah, Arogansi Israel atas Nama Keamanan
Banyak negara mulai melawan dominasi dolar. BRICS (Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan) mendorong penggunaan mata uang lokal dalam perdagangan bilateral. China memperkenalkan yuan digital dan Rusia melakukan transaksi minyak dengan rubel, menandai awal dari fragmentasi sistem moneter global.
Ketergantungan global terhadap dolar membuat ekonomi dunia rentan terhadap kebijakan dalam negeri AS. Misalnya, ketika The Fed menaikkan suku bunga, negara-negara berkembang mengalami arus keluar modal dan depresiasi mata uang, memicu krisis ekonomi lokal. Ini menunjukkan bahwa kontrol dolar bukan tanpa konsekuensi negatif bagi dunia.
Dolar bukan sekadar alat tukar, tapi instrumen kekuasaan geopolitik dan ekonomi. Imperialisme modern tak lagi lewat penjajahan fisik, tetapi melalui kontrol sistem keuangan global yang terpusat pada dolar AS. Dunia yang terjebak dalam cengkeraman dolar menghadapi tantangan struktural untuk lepas dari ketergantungan ini, dan perlu sistem baru yang lebih adil dan multipolar.[]
Mi’raj News Agency (MINA)