Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Amerika, Pahlawan Palsu, Pelindung Penjajah Nyata

Bahron Ansori Editor : Widi Kusnadi - 36 detik yang lalu

36 detik yang lalu

0 Views

Ilustrasi

DALAM narasi besar sejarah dunia modern, Amerika Serikat kerap digambarkan sebagai pahlawan pembela kebebasan, demokrasi, dan hak asasi manusia. Melalui film Hollywood, media internasional, dan diplomasi global, negara adidaya ini tampil seolah-olah menjadi penyelamat dunia dari tirani dan penindasan. Namun, di balik retorika indah itu, terbentang realitas yang jauh berbeda. Amerika tidak selalu berada di pihak yang tertindas. Sebaliknya, dalam banyak kasus, ia justru menjadi pelindung penjajah, mendukung rezim zalim, dan membungkam suara-suara keadilan yang sejati.

Amerika sering mengusung nilai kebebasan dan demokrasi sebagai dasar intervensinya di berbagai negara. Namun, sejarah mencatat ironi besar: dukungan Amerika terhadap kekuatan kolonial dan otoriter kerap mengalahkan komitmennya terhadap demokrasi. Palestina adalah contoh paling mencolok dari paradoks ini.

Sejak berdirinya entitas Israel pada tahun 1948, Amerika menjadi pendukung setia dan terbesar bagi negara tersebut. Dukungan ini bukan sekadar dalam bentuk diplomasi, tetapi mencakup miliaran dolar bantuan militer dan ekonomi tiap tahun. Padahal, Israel secara nyata melakukan penjajahan atas tanah Palestina, pengusiran paksa, pembangunan permukiman ilegal, dan pelanggaran HAM berat. Sementara rakyat Palestina terus meneriakkan keadilan, Amerika berdiri kokoh di belakang sang penjajah.

Hollywood, sebagai instrumen propaganda halus, memainkan peran besar dalam membentuk opini publik global tentang Amerika. Dalam film-film blockbuster, tentara Amerika digambarkan sebagai penyelamat umat manusia, datang membawa cahaya di tengah gelapnya tirani. Namun, bagaimana jika yang mereka serbu bukan musuh kemanusiaan, melainkan rakyat sipil tak berdosa?

Baca Juga: Piagam Jaminan Keamanan Umar bin Khattab untuk Martabat Manusia

Perang di Irak dan Afghanistan menjadi dua contoh kelam. Atas nama “perang melawan teror”, Amerika menggulingkan rezim yang dianggap membahayakan dunia. Tapi faktanya, perang tersebut menewaskan ratusan ribu warga sipil, memicu kehancuran infrastruktur, dan menciptakan instabilitas jangka panjang. Yang lebih ironis, dalih invasi Irak berdasarkan “senjata pemusnah massal” ternyata terbukti tidak pernah ada. Namun tak ada permintaan maaf resmi, apalagi pertanggungjawaban.

Amerika kerap mempromosikan dirinya sebagai penjaga demokrasi global, tapi hanya jika demokrasi itu sesuai dengan kepentingannya. Ketika rakyat Mesir secara demokratis memilih Muhammad Mursi sebagai presiden dalam pemilu bebas tahun 2012, Amerika tidak segan mendukung kudeta militer yang menggulingkannya. Militer yang dikomandoi oleh Abdel Fattah al-Sisi melakukan tindakan brutal, termasuk pembantaian di Rabaa al-Adawiya, namun tetap mendapatkan bantuan militer dari Washington.

Ini menunjukkan bahwa demokrasi hanyalah alat retoris dalam diplomasi Amerika. Selama sebuah pemerintahan tidak mengganggu kepentingan geopolitik dan ekonomi Amerika, maka mereka akan dianggap “mitra strategis”, tak peduli seburuk apa rekam jejak HAM-nya.

Kemunafikan dalam Isu HAM

Isu hak asasi manusia sering dijadikan tameng moral oleh Amerika untuk menyerang negara-negara yang dianggap lawan. Namun ketika sekutunya melakukan pelanggaran yang sama—bahkan lebih parah—mereka tutup mata. Israel, Arab Saudi, dan India adalah contoh negara yang menikmati kebebalan ini.

Baca Juga: Haji, Jalan Lebar Transformasi Menuju Indonesia Emas 2045

Israel membombardir Gaza secara membabi buta, membunuh anak-anak dan perempuan, memblokade bantuan kemanusiaan, dan merampas tanah Palestina dengan impunitas penuh. Namun Amerika tetap memveto hampir semua resolusi PBB yang mengutuk Israel. Arab Saudi, yang mencincang wartawan Jamal Khashoggi di dalam konsulatnya sendiri, tetap menjadi mitra dagang utama Amerika. Di Kashmir, pelanggaran HAM oleh pemerintah India hanya disambut dengan keheningan diplomatik.

Kekuatan Amerika tidak hanya terletak pada militer dan ekonomi, tetapi juga pada kemampuannya mengendalikan narasi global. Media-media besar seperti CNN, Fox News, New York Times, hingga platform digital seperti Facebook dan Twitter secara tidak langsung membentuk persepsi publik dunia tentang siapa yang benar dan siapa yang salah.

Narasi Palestina sering diputarbalikkan: penjajahan digambarkan sebagai “konflik”, dan perlawanan sebagai “terorisme”. Sebaliknya, tindakan represif Israel dibingkai sebagai “pembelaan diri”. Ketika warga Gaza dibunuh, media bertanya “berapa banyak roket yang ditembakkan Hamas?”—seakan kematian anak-anak adalah harga yang layak untuk “keamanan Israel”.

Amerika juga memainkan peran besar dalam menyebarkan islamofobia global. Sejak tragedi 11 September 2001, umat Islam sering dijadikan kambing hitam atas tindakan terorisme, meski pelakunya adalah kelompok kecil ekstremis. Sementara itu, aksi teror oleh warga kulit putih atau non-Muslim sering dibingkai sebagai “gangguan mental” atau “insiden individual”.

Baca Juga: Kemiskinan Menjamur di Negeri yang Konon Kaya

Stereotipe ini digunakan untuk membenarkan tindakan diskriminatif: dari pengawasan khusus terhadap Muslim di dalam negeri, hingga kebijakan luar negeri yang menyerang negara-negara mayoritas Muslim. Semua ini menegaskan bahwa Amerika bukan pembela kebenaran universal, tapi pahlawan palsu yang memilih siapa yang pantas dibela berdasarkan identitas dan kepentingan.

Sudah saatnya dunia, khususnya dunia Muslim, membongkar topeng kepahlawanan palsu ini. Amerika bukan penyelamat umat manusia. Ia bukan pilar keadilan, melainkan kekuatan besar yang membungkus ekspansi politik dan ekonominya dengan label “kemanusiaan”. Ia melindungi penjajah dan menindas yang lemah dengan dalih memerangi kejahatan.

Kita tidak bisa terus-menerus mengonsumsi narasi Barat tanpa kritik. Dunia Islam harus bangkit dengan identitas dan kemandiriannya sendiri, membangun aliansi yang adil, dan memperjuangkan keadilan melalui media, diplomasi, dan pendidikan. Kita tak bisa berharap pembebasan Palestina, Suriah, Yaman, atau mana pun datang dari Washington. Sebab sejarah telah membuktikan, sang “pahlawan” itu lebih sering datang membawa bom daripada perdamaian.

Amerika, dalam banyak hal, telah menjelma menjadi simbol paradoks global: berbicara tentang kebebasan sambil memenjarakan yang berjuang; menyanjung demokrasi sambil mendukung tirani; mempromosikan perdamaian sambil menyebar perang. Pahlawan palsu ini telah terlalu lama membohongi dunia. Kini, saatnya bagi umat manusia, terutama kaum Muslimin, membuka mata, membangun narasi alternatif, dan memperjuangkan kemerdekaan sejati dari penjajahan gaya baru yang dibungkus janji manis bernama demokrasi.[]

Baca Juga: Bertahan Hidup di Negeri Seribu Janji

Mi’raj News Agency (MINA)

Rekomendasi untuk Anda