AMERIKA Serikat (AS) telah lama menjadi sekutu utama Israel, memberikan dukungan politik, militer, dan ekonomi yang signifikan. Sejak 1946 hingga 2023, AS telah menyediakan lebih dari $158 miliar dalam bentuk bantuan ekonomi dan militer kepada Israel, menjadikannya penerima bantuan militer terbesar dari AS. Dukungan ini terus berlanjut, dengan tambahan miliaran dolar dialokasikan dalam bentuk bantuan darurat dan sistem pertahanan selama konflik yang berlangsung di Gaza.
Sejak Oktober 2023, AS telah memberikan $17,9 miliar dalam bantuan militer kepada Israel, termasuk $6,8 miliar dalam Pendanaan Militer Asing (FMF), $5,7 miliar untuk sistem pertahanan rudal seperti Iron Beam, $1 miliar untuk persenjataan berat, dan $4,4 miliar untuk mengisi kembali stok senjata AS yang dipindahkan ke Israel. Bantuan ini mencakup pengiriman amunisi, artileri, dan bom seberat 2.000 pon, yang digunakan dalam operasi militer di Gaza.
Selain bantuan militer, AS juga memberikan perlindungan diplomatik kepada Israel di forum internasional. Pada April 2024, AS memveto permintaan Palestina untuk menjadi anggota penuh PBB, meskipun 12 dari 15 anggota Dewan Keamanan mendukung resolusi tersebut. AS beralasan bahwa status kenegaraan Palestina harus dicapai melalui negosiasi langsung antara pihak-pihak terkait.
AS juga secara konsisten menggunakan hak vetonya untuk melindungi Israel dari resolusi PBB yang mengkritik tindakan militernya. Hingga November 2024, AS telah menggunakan hak veto sebanyak 49 kali terhadap rancangan resolusi Dewan Keamanan yang berkaitan dengan Israel. Misalnya, pada November 2024, AS memveto resolusi yang menyerukan gencatan senjata segera di Gaza, dengan alasan bahwa hal itu akan memberanikan Hamas.
Baca Juga: Zionis Laknatullah: Penjajah Abadi Tanah Para Nabi
Dukungan AS terhadap Israel juga mencakup penjualan senjata yang kontroversial. Pada April 2025, pemerintahan Trump menyetujui penjualan lebih dari 20.000 senapan serbu Colt Carbine 5,56 mm kepada Israel, sebuah kesepakatan senilai $24 juta yang sebelumnya ditunda oleh pemerintahan Biden karena kekhawatiran senjata tersebut mungkin digunakan oleh pemukim ekstremis Israel untuk menyerang warga Palestina di Tepi Barat.
Konflik yang sedang berlangsung di Gaza telah menyebabkan korban jiwa yang signifikan di kalangan warga Palestina. Sejak dimulainya serangan intensif Israel pada Maret 2025, lebih dari 1.482 korban jiwa dilaporkan, meningkatkan total korban tewas Palestina menjadi 50.846. Serangan udara Israel pada April 2025 menewaskan setidaknya 38 warga Palestina, termasuk anak-anak, terutama dari serangan terhadap blok perumahan di daerah Shujaiya, Kota Gaza.
Situasi kemanusiaan di Gaza semakin memburuk akibat blokade yang diberlakukan Israel, menyebabkan kekurangan makanan, obat-obatan, dan bahan bakar yang parah. Sekretaris Jenderal PBB António Guterres menggambarkan Gaza sebagai “ladang pembantaian,” menuduh Israel menghalangi bantuan kemanusiaan. Namun, Israel membantah tuduhan tersebut.
Peran AS dalam mendukung Israel telah memicu kritik internasional, terutama terkait dugaan kejahatan perang yang dilakukan oleh Israel. Meskipun Mahkamah Pidana Internasional (ICC) mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu atas dugaan kejahatan perang selama konflik Gaza, AS menentang tindakan ICC dan telah memberlakukan sanksi terhadap pejabat ICC.
Baca Juga: Membunuh dengan Mesin: Keterlibatan AI dan Platform Digital dalam Genosida Gaza
Kritik juga datang dari dalam negeri AS, di mana kelompok-kelompok hak asasi manusia dan beberapa anggota Kongres mempertanyakan besarnya bantuan militer yang diberikan kepada Israel. Mereka menyoroti bahwa bantuan tersebut berkontribusi pada pelanggaran hak asasi manusia terhadap warga Palestina dan memperpanjang konflik.
Selain itu, keputusan AS untuk memindahkan kedutaannya ke Yerusalem pada 2018 telah memicu protes dan meningkatkan ketegangan di wilayah tersebut. Langkah ini dianggap sebagai dukungan terhadap klaim Israel atas seluruh Yerusalem, yang dipandang oleh banyak pihak sebagai hambatan bagi proses perdamaian.
Dukungan AS terhadap Israel juga berdampak pada hubungannya dengan negara-negara Timur Tengah lainnya. Banyak negara Arab dan Muslim melihat dukungan tak tergoyahkan AS kepada Israel sebagai bukti bias dan ketidakadilan dalam kebijakan luar negeri AS, yang mempersulit upaya diplomatik AS di kawasan tersebut.
Meskipun AS menyatakan dukungan untuk solusi dua negara, tindakan dan kebijakan yang diambil sering kali dianggap bertentangan dengan tujuan tersebut. Dukungan militer dan diplomatik yang terus-menerus kepada Israel tanpa syarat yang jelas terkait penghormatan terhadap hak asasi manusia dan hukum internasional memperumit upaya mencapai perdamaian yang adil dan langgeng.
Baca Juga: Berfikir Kritis atas Kebijakan Tarif Trump
Dalam konteks ini, peran AS sebagai “penjual keadilan” di Palestina dipertanyakan, mengingat dukungan tanpa syaratnya kepada Israel meskipun ada pelanggaran hak asasi manusia dan hukum internasional yang dilaporkan. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang komitmen AS terhadap prinsip-prinsip keadilan dan hak asasi manusia dalam kebijakan luar negerinya.
Kritik internasional terhadap AS semakin meningkat, dengan banyak pihak menyerukan agar AS mengubah pendekatannya terhadap konflik Palestina-Israel dan menunjukkan sikap yang lebih adil dan berimbang. Tekanan datang tidak hanya dari negara-negara di Global South, tetapi juga dari sekutu tradisional AS di Eropa yang mulai mempertanyakan konsistensi nilai-nilai demokrasi dan kemanusiaan yang diklaim AS. Uni Eropa, misalnya, mulai memperlihatkan perbedaan pendapat terhadap kebijakan luar negeri AS terkait Palestina, dengan beberapa negara anggotanya secara terbuka mendukung penyelidikan ICC terhadap kejahatan perang di Gaza.
Dalam ranah hukum internasional, posisi AS pun semakin terisolasi. Ketika Mahkamah Internasional (ICJ) pada Januari 2024 memutuskan bahwa ada “alasan masuk akal” untuk menilai bahwa Israel melakukan tindakan genosida terhadap rakyat Palestina, AS secara terbuka menolak keputusan tersebut. Ini memperlihatkan inkonsistensi Amerika yang selama ini mengklaim mendukung sistem hukum internasional, namun menolaknya ketika sekutunya terancam. Hal ini menimbulkan tuduhan bahwa AS menerapkan standar ganda dalam upaya penegakan hukum dan keadilan global.
Dukungan AS terhadap Israel juga berdampak pada persepsi dunia Muslim terhadap Amerika. Di banyak negara mayoritas Muslim, sentimen anti-Amerika meningkat tajam, terutama karena AS dianggap mendukung penjajahan dan kekerasan sistematis terhadap rakyat Palestina. Demonstrasi besar-besaran terjadi di berbagai negara seperti Turki, Indonesia, Malaysia, dan Pakistan, menyerukan boikot produk-produk Amerika dan menuntut pemerintah mereka memutus hubungan diplomatik dengan Israel serta mengecam kebijakan luar negeri AS.
Baca Juga: Gaya Selangit Isi Dompet Seuprit
Selain itu, dukungan AS terhadap Israel mengganggu kestabilan regional. Negara-negara seperti Lebanon, Yordania, dan Mesir mengalami tekanan internal akibat meningkatnya simpati rakyat terhadap perjuangan Palestina, yang berpotensi mengguncang stabilitas politik mereka. Iran, yang memposisikan dirinya sebagai pembela Palestina, semakin memanfaatkan situasi ini untuk memperluas pengaruhnya di kawasan, termasuk melalui kelompok-kelompok perlawanan seperti Hizbullah dan Houthi. Dengan demikian, kebijakan AS justru berkontribusi pada eskalasi ketegangan regional.
Di sisi lain, retorika dan propaganda Amerika tentang demokrasi dan hak asasi manusia terancam kehilangan legitimasi. Ketika rakyat Palestina dibunuh, diblokade, dan dilucuti hak-haknya, AS justru mengirim lebih banyak senjata dan melindungi pelaku di panggung internasional. Hal ini mengungkap kontradiksi fundamental dalam politik luar negeri Amerika, yang sering menjustifikasi intervensi militer atas nama kemanusiaan di satu tempat, namun membungkam kejahatan di tempat lain karena alasan strategis.
Situasi ini memberikan pelajaran penting bagi dunia internasional tentang siapa sebenarnya yang menjadi pelindung kejahatan dan siapa yang sungguh-sungguh berkomitmen pada keadilan global. Amerika, dengan segala pengaruh dan kekuatan militer serta diplomatiknya, telah menjelma menjadi pelindung penjahat perang dan penjual keadilan—menggunakan retorika hukum dan HAM hanya ketika sejalan dengan kepentingannya.
Perkembangan ini juga menjadi ujian besar bagi organisasi internasional seperti PBB, ICC, dan ICJ. Jika lembaga-lembaga ini tidak mampu mengambil tindakan tegas terhadap kejahatan yang dilakukan Israel dengan perlindungan AS, maka kredibilitas dan fungsi hukum internasional sebagai alat penegak keadilan akan melemah. Dunia akan semakin melihat bahwa kekuatanlah, bukan hukum, yang mengatur relasi internasional.
Baca Juga: Palestina dan Masa Depan Al-Aqsa: Apa yang Bisa Dilakukan Umat Islam?
Pada akhirnya, keberpihakan AS yang membabi buta terhadap Israel menunjukkan bahwa retorika tentang keadilan global hanyalah topeng dari kepentingan geopolitik. Palestina bukan hanya sedang berjuang untuk tanah dan kedaulatan, tetapi juga untuk keadilan yang telah lama dijual oleh kekuatan dunia kepada pihak yang kuat. Rakyat Palestina, meski diblokade dan dibungkam, terus menjadi simbol perlawanan terhadap sistem internasional yang timpang dan penuh kepalsuan.
Bagi umat Islam dan komunitas global yang menjunjung tinggi keadilan, kondisi ini menuntut solidaritas, pemahaman yang jernih terhadap dinamika politik global, serta dorongan untuk terus mengawal kebenaran di tengah dominasi narasi yang dikendalikan oleh kekuatan besar seperti Amerika. Amerika bukanlah penjaga moral dunia, tetapi kini lebih tampak sebagai penjamin impunitas atas kejahatan yang dilakukan oleh sekutunya.
Dengan fakta-fakta tersebut, jelas bahwa AS telah kehilangan posisi moralnya dalam isu Palestina. Ia tidak lagi bisa diklaim sebagai mediator netral, apalagi pelindung keadilan. Sebaliknya, ia adalah bagian dari struktur penindasan itu sendiri—dengan senjata, veto, dan propaganda sebagai instrumen utama. Maka dari itu, perjuangan membela Palestina tidak lagi hanya soal solidaritas kemanusiaan, tetapi juga perjuangan melawan hegemoni keadilan palsu yang dijajakan oleh Amerika dan sekutunya.[]
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Tahun 2025, Indonesia Banjir Mualaf