Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Amerika Serikat Negara Adidaya, Moral Seadanya

Bahron Ansori Editor : Widi Kusnadi - Selasa, 15 April 2025 - 16:11 WIB

Selasa, 15 April 2025 - 16:11 WIB

16 Views

Masa depan kelam Amerika akan tiba (foto: ig)

DI BALIK gemerlapnya kota New York, keangkuhan Pentagon, dan kejayaan Silicon Valley, Amerika berdiri sebagai negara adidaya yang digdaya secara ekonomi, militer, dan teknologi. Dunia menyebutnya “The Land of the Free,” tetapi benarkah kebebasan itu telah membawa manusia pada kemuliaan?

Sebagai negara yang mengklaim sebagai penjaga demokrasi, Amerika menjual citra idealisme kepada dunia. Namun di lorong-lorong kota besar, para tunawisma meringkuk di bawah kardus, sementara miliarder melambung tinggi dengan jet pribadi. Kesenjangan sosial adalah luka lama yang belum sembuh, dan mungkin, tak akan pernah disembuhkan.

Di dalam kelas-kelas sekolahnya, anak-anak diajarkan sains dan literasi digital yang canggih. Tapi dalam diam, mereka juga menyimpan trauma akibat penembakan massal yang terus menghantui sistem pendidikannya. Satu demi satu kasus “school shooting” menyayat hati, tapi legislasi senjata tetap dibiarkan longgar, seakan nyawa anak-anak tak lebih dari statistik tahunan.

Amerika adalah negara yang memproduksi film-film penuh pesan kemanusiaan, cinta, dan keberanian. Namun ironisnya, ia juga menjadi eksportir utama pornografi, kekerasan, dan budaya konsumtif yang mematikan spiritualitas manusia. Dalam satu sisi, ia menyentuh jiwa, di sisi lain, ia mencabik moral.

Baca Juga: Dari Bandung untuk Palestina, Langkah Solidaritas yang Menggetarkan Jiwa

Dengan segala keperkasaannya, Amerika gagal menjaga institusi paling dasar: keluarga. Tingkat perceraian tinggi, angka aborsi meroket, dan identitas gender menjadi arena kebingungan kolektif. Anak-anak tumbuh dalam rumah tanpa figur ayah atau ibu, atau bahkan keduanya, menyisakan generasi rapuh yang kehilangan arah.

Negara ini menyebarkan “hak asasi manusia” ke seluruh dunia, tetapi di dalam negerinya, rasisme masih mengakar kuat. George Floyd bukan satu-satunya nama dalam daftar panjang tragedi. Kulit hitam, Latin, dan Asia terus menjadi sasaran kebencian. Hak hidup masih ditentukan oleh warna kulit, bukan oleh kemanusiaan.

Amerika mencitrakan dirinya sebagai penyelamat dunia, namun berapa banyak negeri yang porak-poranda karena intervensinya? Irak, Afghanistan, Suriah, dan banyak lagi menjadi saksi bahwa adidaya tak selalu berarti adil. Bom-bom kemanusiaan itu nyatanya membawa penderitaan yang mengular panjang.

Masyarakat Amerika dibanjiri kemewahan material. Namun banyak dari mereka yang sepi secara spiritual. Gereja mulai ditinggalkan, tempat ibadah berubah menjadi museum. Kehidupan spiritual menjadi formalitas, bukan kebutuhan. Manusia dipuja, Tuhan dilupa.

Baca Juga: Masjidil Haram, Pusat Peribadatan Islam Terbesar di Dunia

Negeri ini punya teknologi paling canggih, AI paling pintar, dan laboratorium paling mutakhir. Tapi ironisnya, justru banyak warganya yang tenggelam dalam depresi, kesepian, dan overdosis narkoba. Mereka bisa menjelajah Mars, tapi gagal menyentuh kedamaian hati sendiri.

Setiap tahunnya, jutaan bayi dibunuh atas nama “pilihan.” Aborsi dilegalkan, bahkan dibanggakan. Nilai kehidupan menjadi relatif, bergantung pada kenyamanan pribadi. Apakah ini kebebasan, atau bentuk lain dari kejahatan yang disamarkan?

Budaya pop Amerika membanjiri dunia—film, musik, fashion, dan gaya hidupnya menjadi kiblat global. Tapi budaya itu juga menyebarkan permisivisme: seks bebas, narkoba, mabuk, dan kekerasan dianggap ekspresi diri. Moralitas digeser menjadi urusan pribadi, bukan tanggung jawab sosial.

Dalam sistem yang katanya meritokrasi, masih banyak minoritas yang terpinggirkan. Mereka bekerja keras, tapi tetap kalah oleh privilese. Keberhasilan bukan soal kompetensi, tapi soal siapa yang punya koneksi dan kulit yang lebih terang.

Baca Juga: Zionis Israel, Monster yang Kejahatannya Tak Bertepi di Gaza

Amerika punya peluang besar untuk menjadi cahaya dunia—kalau saja ia mau menyeimbangkan antara kekuatan dan kebaikan, antara prestasi dan nilai-nilai luhur. Tapi selama nilai moral hanya dijadikan aksesoris, cahaya itu akan terus redup.

Kita tak menolak kemajuan, kita juga tak menafikan capaian. Tapi kemajuan tanpa moral adalah pisau tajam yang bisa melukai siapa saja. Dan Amerika, dengan segala pengaruhnya, sedang mengayunkan pisau itu ke banyak arah, termasuk ke dadanya sendiri.

Mungkin sudah saatnya Amerika belajar kembali tentang makna adidaya sejati. Bukan sekadar menguasai dunia, tapi menginspirasi dunia. Bukan hanya membangun kota-kota megah, tapi juga membangun jiwa-jiwa yang bermartabat. Karena tanpa moral, kekuatan hanyalah kesombongan yang menunggu kehancuran.[]

Mi’raj News Agency (MINA)

Baca Juga: Raja Ampat, Surga Bawah Laut yang Wajib Dikunjungi di Indonesia

Rekomendasi untuk Anda

Kolom
Kolom
Feature
MINA Health
MINA Health
MINA Health