Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Anak-anak Dibantai, Dunia Diam: Israel Tertawa

Bahron Ansori Editor : Widi Kusnadi - 25 detik yang lalu

25 detik yang lalu

0 Views

Kehancuran Yahudi Zionis Israel (foto: IG)

LANGIT Gaza kembali merah. Bukan karena mentari senja, tetapi karena darah anak-anak yang tumpah membasahi tanah yang tak pernah kering dari luka. Tangisan bayi bersahutan, bukan karena lapar, tetapi karena tubuh mungil itu kehilangan ibu, ayah, atau keduanya. Dunia menyaksikan semua ini—melalui layar, melalui berita, melalui media sosial. Tapi dunia memilih diam. Seolah nyawa anak-anak Palestina tak lebih berharga dari berita selebriti atau drama politik.

Di balik reruntuhan rumah yang hancur oleh rudal, sering ditemukan boneka usang, sepatu kecil, dan lembaran Al-Qur’an berserakan. Mereka tak sempat menyelamatkan mainan kesayangannya. Mereka tak sempat mengucap selamat tinggal. Karena rudal datang tanpa aba-aba, membawa maut di siang bolong. Dunia masih diam. Tak ada sanksi. Tak ada pemutusan hubungan diplomatik. Tak ada boikot besar-besaran. Yang ada hanyalah kecaman hampa, serupa gumaman orang mengantuk.

Israel? Mereka tertawa. Di tengah dukungan dari kekuatan besar dunia, mereka meluncurkan bom seolah sedang bermain video game. Setiap ledakan dianggap keberhasilan. Setiap jasad kecil dianggap collateral damage. Mereka berdiri di podium dunia, berbicara tentang “hak membela diri”, sambil tangan mereka masih memegang pelatuk yang membunuh anak-anak. Dan dunia, seperti budak kekuasaan, membenarkannya.

Apakah nyawa anak Palestina tak sebanding dengan anak-anak di belahan dunia lain? Mengapa tak ada tangisan kolektif dari para pemimpin dunia seperti saat tragedi lain terjadi di tempat lain? Mengapa tidak ada lilin dinyalakan, lagu dikumandangkan, atau kampanye kemanusiaan besar-besaran? Apakah derita mereka terlalu jauh untuk dirasakan? Ataukah nurani dunia telah dibeli oleh kekuasaan dan kepentingan?

Baca Juga: Membela Palestina pun Bisa Melalui Pameran Foto

Sungguh memilukan ketika seorang ayah menggendong jenazah putranya yang baru saja belajar menghafal Al-Qur’an. Ia tak menangis. Matanya sudah kering. Tangisnya telah habis sejak anak pertamanya gugur tahun lalu. Kini yang tersisa hanyalah kehampaan dan pasrah. Di hadapan dunia yang buta dan tuli, ia tetap mengucap, “Alhamdulillah ‘ala kulli hal.”

Apa yang lebih tragis dari ibu yang menyusui bayi yang sudah dingin tak bernyawa? Ia tidak tahu bahwa anaknya terkena pecahan bom saat ia lari mencari perlindungan. Ia berusaha membangunkannya, menggoyang-goyangkan tubuh kecil itu. Tapi si kecil tak menangis lagi. Ia telah pergi, selamanya. Dan ibu itu hanya bisa menatap langit, bertanya pada Tuhan, “Apakah Engkau masih mendengarkan kami?”

Dunia Islam pun banyak yang diam. Sebagian terlalu sibuk dengan urusan politik domestik, sebagian terlalu takut kehilangan investasi, sebagian terlalu senang berada di sisi penguasa dunia. Padahal, Rasulullah ﷺ telah mengajarkan bahwa umat Islam itu seperti satu tubuh. Tapi kini, tubuh itu seperti terpotong-potong. Sebagian merasa, sebagian tidak. Sebagian bergerak, sebagian lumpuh. Sebagian melawan, sebagian tunduk.

Di sekolah-sekolah yang tinggal puing, terdapat mimpi-mimpi yang tak sempat tumbuh. Anak-anak Gaza dahulu menulis cita-citanya: “Aku ingin jadi dokter”, “Aku ingin jadi guru”, “Aku ingin membela Palestina.” Tapi sebelum mereka tumbuh besar, dunia sudah menghukum mereka dengan kematian. Bukan karena mereka bersalah. Tapi karena mereka lahir di tempat yang salah, menurut logika kejam para penjajah.

Baca Juga: Darah di Atas Tanah Suci: Jeritan Palestina di Bawah Langit yang Terluka

Para aktivis kemanusiaan menangis, menggalang dana, mengirimkan bantuan, menulis dan bersuara. Tapi suara-suara itu seperti gemuruh kecil yang diredam tembok ketidakpedulian. Media arus utama menutupi kenyataan dengan narasi-narasi yang menyesatkan: “konflik”, “serangan balasan”, “kedua belah pihak”. Padahal jelas siapa penjajah, siapa yang dijajah. Jelas siapa yang membunuh, siapa yang dibunuh.

Wahai dunia, sampai kapan kalian akan diam? Apakah kalian menunggu sampai semua anak Palestina musnah? Atau menunggu giliran tragedi datang ke negeri kalian, baru kalian mengerti? Ketahuilah, setiap darah yang tumpah, setiap nyawa yang melayang, akan menjadi saksi di hari penghakiman. Tak akan ada yang luput dari pertanggungjawaban. Dunia boleh membungkam mulut kami, tapi tidak bisa membungkam langit dan bumi yang menyaksikan semuanya.

Untuk anak-anak Gaza: maafkan kami. Maafkan dunia yang tak mampu membela kalian. Maafkan saudara-saudaramu yang hanya bisa mendoakan dan menangis. Kalian bukan sekadar angka statistik, bukan sekadar headline. Kalian adalah cahaya-cahaya yang mati sebelum sempat bersinar. Tapi ketahuilah, kalian mati syahid. Kalian sedang tersenyum di sisi Allah, di taman-taman surga yang tak pernah hancur oleh rudal manapun.

Dan untuk kita semua, jangan pernah berhenti peduli. Jangan pernah berhenti bersuara. Gunakan pena, media, doa, dan seluruh kekuatan yang kita miliki untuk melawan ketidakadilan ini. Karena diamnya kita hari ini adalah persetujuan diam-diam terhadap kejahatan. Mari jaga nurani kita, agar dunia tak menjadi tempat di mana tawa penjajah terdengar lebih lantang daripada tangis para syuhada kecil.[]

Baca Juga: Ketika Zionis Israel Kian Brutal, Setan-Manusia yang Mati Nurani

Mi’raj News Agency (MINA)

Rekomendasi untuk Anda