TIDAK ada yang lebih membahagiakan bagi orang tua selain melihat anaknya tumbuh cerdas, berani, berakhlak mulia, dan sukses menapaki hidup. Tetapi ada satu kenyataan pahit yang sering luput: anak tidak mungkin berkembang dari lingkungan yang mandek. Anak belajar dari apa yang mereka lihat, bukan dari apa yang hanya orang tua ucapkan. Banyak orang tua ingin anaknya disiplin, tetapi dirinya sendiri masih mengabaikan tanggung jawab.
Banyak yang ingin anaknya rajin belajar, tetapi orang tuanya tidak pernah menyentuh buku apa pun. Banyak yang ingin anaknya bijak, sabar, dan tenang, padahal setiap hari anak menyaksikan orang tuanya mudah marah, gampang tersinggung, dan tak mampu mengelola emosi. Pada akhirnya, anak hanyalah cermin, dan cermin itu memantulkan apa yang paling dekat dengannya: orang tuanya sendiri.
Sudah terlalu banyak anak yang tumbuh dengan beban luka yang tidak pernah mereka ciptakan. Mereka ingin tumbuh, tetapi dibesarkan oleh orang tua yang berhenti bertumbuh. Mereka ingin maju, tetapi orang tuanya masih terjebak pada pola pikir lama—zaman sudah berubah, tetapi cara mendidiknya masih sama seperti dua puluh tahun lalu.
Ironisnya, sebagian orang tua marah ketika anaknya tidak berkembang, padahal yang tidak ikut berkembang adalah dirinya sendiri. Mereka lupa bahwa menjadi orang tua bukanlah gelar final, melainkan proses belajar tanpa henti. Ketika orang tua berhenti belajar, saat itu juga perkembangan anak ikut terhenti.
Baca Juga: Al–Azhar Mesir Dukung Prodi Bahasa Indonesia dan Indonesia Center
Anak berkembang dari rumah yang sehat—rumah yang penuh dialog, bukan bentakan; penuh bimbingan, bukan tuntutan; penuh kasih, bukan tekanan. Banyak orang tua menuntut anak untuk berubah, tetapi tidak pernah mau mengevaluasi dirinya. Mereka ingin anak disiplin, tetapi jam tidurnya berantakan.
Mereka ingin anak sopan, tetapi omongannya sering menyakitkan. Mereka ingin anak fokus, tetapi dirinya sendiri tiap hari tenggelam dalam layar tanpa batas. Pada akhirnya, anak bingung: harus mengikuti ucapan atau meniru teladan? Dan manusia, sejak kecil hingga dewasa, selalu lebih kuat meniru daripada mendengar.
Orang tua sering lupa bahwa masa depan tidak dibangun dari nasihat panjang yang anak tidak dengar, melainkan dari contoh sederhana yang anak lihat tiap hari. Anak yang tumbuh bersama orang tua rajin belajar, akan menganggap membaca adalah aktivitas biasa. Anak yang melihat orang tuanya tenang menghadapi masalah, akan tumbuh dengan jiwa yang kuat.
Anak yang melihat orang tuanya saling menghormati, akan mengerti bahwa cinta itu bukan drama, tapi kerja sama. Sebaliknya, anak yang tumbuh dengan kemarahan, akan menganggap marah itu normal. Anak yang tumbuh dengan serba ketakutan, akan sulit mengambil langkah. Anak yang tumbuh tanpa pujian, akan ragu melihat dirinya berharga. Begitulah, anak menyerap semua yang dekat dengannya—baik atau buruk.
Baca Juga: 7 Cara Membentuk Anak Jadi Saleh di Zaman Rusak
Masalahnya, sebagian orang tua merasa tidak perlu berkembang lagi. “Yang penting cari duit,” katanya. “Yang penting anak sekolah tinggi,” katanya. Padahal pendidikan anak tidak hanya soal sekolah—tetapi tentang kesiapan mental, spiritual, emosional, dan intelektual orang tua dalam membimbing mereka.
Orang tua yang tidak pernah belajar bagaimana mengelola emosi, akan membesarkan anak yang takut salah. Orang tua yang tidak pernah belajar komunikasi yang sehat, akan membesarkan anak yang bingung mengekspresikan perasaan. Orang tua yang tidak pernah belajar agama, akan membesarkan anak yang tidak mengenal arah hidup. Orang tua yang tidak pernah belajar memperbaiki diri, akan membesarkan anak yang membawa luka yang ia warisi.
Bertumbuh bukan berarti harus sempurna. Orang tua tidak dituntut menjadi malaikat. Yang dibutuhkan hanyalah kemauan untuk belajar, memperbaiki diri sedikit demi sedikit. Mau belajar sabar. Mau belajar mendengar. Mau belajar memahami. Mau belajar meminta maaf bila salah. Mau belajar berubah, bukan hanya menyuruh anak untuk berubah.
Karena sejatinya, perkembangan anak mengikuti perkembangan orang tuanya—seperti pohon yang mengikuti arah sinar matahari. Ketika orang tua memperbaiki diri, anak akan melihat harapan. Ketika orang tua belajar hal baru, anak akan ikut penasaran. Ketika orang tua berubah menjadi lebih baik, anak menemukan alasan untuk ikut berkembang.
Baca Juga: Gelombang Sunyi di Balik Layar, Dilema Medsos pada Anak dan Seruan Kembali kepada Syariat
Anak tidak butuh orang tua yang sempurna. Mereka hanya butuh orang tua yang mau tumbuh bersama mereka. Mau belajar bersama. Mau memperbaiki diri bersama. Mau menjadi contoh nyata, bukan penuntut tanpa refleksi. Dan yang paling penting, mau menjadi versi terbaik dari dirinya—bukan untuk dilihat orang lain, tetapi untuk diwariskan kepada anak yang mereka cintai.
Karena pada akhirnya, anak berkembang dari orang tua yang berkembang. Jika ingin anak memiliki masa depan yang cerah, mulailah dengan menerangi diri sendiri. Jika ingin anak berakhlak mulia, mulailah memperbaiki akhlak dalam rumah. Jika ingin anak menjadi pembelajar seumur hidup, tunjukkan bahwa Anda pun terus belajar. Dan jika ingin anak bahagia, sembuhkan diri Anda terlebih dahulu.
Anak tidak memilih orang tuanya. Tapi orang tua bisa memilih untuk menjadi pribadi yang layak ditiru. Dan di situlah perjalanan perubahan sesungguhnya dimulai.[]
Mi’raj News Agency (MINA)
















Mina Indonesia
Mina Arabic