DI TENGAH dunia yang semakin bising, anak-anak justru semakin kehilangan ruang untuk didengar. Kita sibuk bekerja, sibuk mengejar target, sibuk mengurus rumah, sibuk memperbaiki hidup—tapi sering lupa bahwa anak juga sedang berjuang memahami dunianya. Mereka tidak meminta banyak: bukan rumah mewah, bukan gawai mahal, bukan pakaian branded. Mereka hanya ingin satu hal yang paling sederhana namun paling mahal nilainya: didengarkan.
Ketika seorang anak berani bercerita kepada orang tuanya, sebenarnya itu adalah bentuk kepercayaan yang sangat besar. Bagi mereka, menceritakan hal-hal kecil seperti teman yang tidak mau bermain, nilai ulangan yang turun, atau rasa takut menghadapi guru baru adalah pengalaman besar dalam hidupnya. Namun sayangnya, di era serba cepat ini, banyak orang tua tanpa sadar memotong cerita anak dengan kalimat, “Ah, itu mah kecil. Kamu lebay,” atau “Nanti saja, Ayah/Ibu capek,” atau kalimat paling mematikan bagi mental anak: “Udah, diam!”
Kita lupa bahwa yang kecil bagi orang dewasa, bisa menjadi dunia bagi seorang anak.
Didengar Membuat Anak Merasa Berharga
Baca Juga: JENESYS 2025 Ditutup, Jepang Dorong Pemuda Islam Indonesia Jadi Penghubung Dua Peradaban
Psikologi perkembangan menegaskan bahwa salah satu kebutuhan emosional paling dasar seorang anak adalah validation, pengakuan bahwa perasaannya penting. Anak yang didengarkan akan merasa bahwa keberadaannya diakui. Ia merasa dihargai sebagai manusia yang punya suara.
Ketika seorang anak tumbuh dalam lingkungan yang mendengarkan, ia akan belajar percaya diri, berani berbicara, dan tidak takut mengungkapkan pendapat. Bukan hanya kepada orang tua, tetapi juga kepada dunia luar. Sebaliknya, anak yang sering diabaikan ceritanya cenderung menutup diri, menjadi takut salah, atau justru mencari tempat lain untuk didengar—yang sering kali salah tempat.
Di sinilah banyak masalah remaja bermula: dari perasaan tidak didengar di rumah. Mereka mencari “pendengar” di luar—di media sosial, pergaulan bebas, atau orang-orang yang memanfaatkan keluguannya.
Hari ini, banyak anak tampak baik-baik saja dari luar: memakai seragam rapi, mengikuti sekolah, memegang gawai canggih, tersenyum ketika ditanya. Tapi di dalam hatinya, mereka mungkin menyimpan banyak luka yang tidak pernah mendapat ruang untuk keluar.
Baca Juga: Kemenag Reviu Kurikulum Lembaga Pendidikan Al-Quran dan Madrasah Diniyah
Anak zaman sekarang menghadapi beban yang tidak kita rasakan di masa kecil dulu: Persaingan akademik yang makin ketat, Dunia digital yang tidak pernah tidur, Perundungan yang tidak hanya terjadi di sekolah, tetapi juga di layar ponsel, Tekanan untuk terlihat “sempurna” di media social.
Di tengah tekanan itu, apakah kita memberi mereka waktu untuk berbicara? Atau kita justru semakin sibuk menjadi orang dewasa?
Padahal hanya 10 menit mendengarkan cerita anak setiap hari bisa menjadi penyelamat mental bagi mereka. Duduk, menatap mata, dan berkata, “Nak, cerita dong. Ada apa hari ini?”—itu bisa menjadi hadiah terbesar yang kita berikan.
Mendengarkan tidak hanya tentang telinga, tetapi tentang hati. Anak bisa merasakan apakah orang tuanya sungguh hadir atau hanya pura-pura hadir. Anak yang didengarkan akan lebih mudah menurut, lebih mudah diarahkan, lebih mudah terbuka. Ini bukan sihir. Ini logika sederhana: ketika anak merasa aman, ia akan mendekat.
Baca Juga: Presiden Prabowo Luncurkan Digitalisasi Pembelajaran untuk 288 Ribu Sekolah
Banyak orang tua mengeluh anaknya tidak lagi mau bercerita ketika sudah remaja. Tapi remaja yang tidak mau bercerita biasanya adalah anak-anak yang sejak kecil tidak dibiasakan bercerita. Mereka pernah mencoba, tapi tidak didengarkan. Mereka pernah membuka hati, tapi diabaikan. Hingga akhirnya mereka memilih diam.
Hubungan yang rusak bukan terjadi dalam sehari—tapi dari “luka-luka kecil” yang tidak pernah benar-benar disembuhkan.
Dengarkan, Meski Ceritanya Kecil dan Sederhana
Kadang cerita anak memang tidak penting bagi kita—tentang mainan hilang, tentang warna langit, tentang gurunya yang lucu, tentang semut di halaman. Tapi saat kita mendengarkan, kita sedang melakukan hal yang jauh lebih besar: kita sedang membangun pondasi jiwa mereka.
Baca Juga: Hari Santri Nasional, Pesantren Nurul Ikhsan Dorong Gerakan Merawat Bumi
Anak yang merasa didengar akan tumbuh menjadi orang dewasa yang sehat emosinya—orang yang mampu mendengar orang lain, mampu mengekspresikan emosi, mampu mengambil keputusan tanpa takut dihakimi.
Kita bisa memberikan uang, mainan, fasilitas, dan masa depan yang cerah. Tapi tanpa hubungan yang hangat, semua itu tidak akan berarti. Sibuk boleh. Capek wajar. Tapi jangan lupa bahwa anak sedang membangun kehidupannya hari ini—dan kita punya peran besar dalam membentuk jiwanya.
Sebelum mereka tumbuh dewasa, sebelum mereka mencari tempat lain untuk didengar, sebelum terlambat… mari hadir sebentar saja. Duduk, dengarkan, dan izinkan anak merasa bahwa suaranya penting. Karena anak yang didengar…akan tumbuh jauh lebih bahagia.[]
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Ponpes Nurul Bayan Cetak Prestasi: Adelia Sabet Juara 1 Tahfidz 10 Juz di MTQ Majalengka















Mina Indonesia
Mina Arabic