Areej al-Qadi tak kuasa menahan tangis. Air matanya berlinang saat ia mencium jenazah ketiga anaknya yang masih kecil—Abdul Aziz (7 tahun), Hamza (5 tahun), dan Laila (3 tahun).
Mereka telah syahid, tewas dalam serangan udara yang dilancarkan Israel di kota Khan Younis, Gaza selatan.
“Abdul Aziz bercita-cita menjadi astronot,” ujar Areej dengan suara bergetar. “Dia pernah berkata kepada saya, ‘Saya harap roket datang dan membawa saya ke Bulan.’ Dia tidak menyadari bahwa roket itu justru datang untuk mencabik-cabiknya.”
Di tengah suasana duka, seorang pelayat mengutuk keras ketidakpedulian dunia. “Amerika berbicara tentang demokrasi dan keadilan, tetapi mendukung genosida ini.
Baca Juga: Tim Medis MER-C Banyak Tangani Korban Genosida di RS Al-Shifa Gaza
Dan para pemimpin Arab? Di mana mereka? Berapa lama mereka akan membiarkan penderitaan ini terus berlangsung?” ujar Ra’fat al-Shaer, suaranya penuh kemarahan.
Gaza: Pemakaman yang Tak Berujung
Sudah lebih dari setahun, penduduk Gaza hidup di bawah bayang-bayang maut. Pemakaman menjadi rutinitas harian.
Orang-orang menghadiri prosesi penguburan tanpa henti, dengan hati yang diliputi kesedihan dan kemarahan.
Baca Juga: Laba Perusahaan Senjata Israel Melonjak di Masa Perang Gaza dan Lebanon
Mereka merasa dunia telah meninggalkan mereka. Seruan mereka untuk bantuan sebagian besar tak berbalas.
Israel telah merenggut lebih dari 44.000 nyawa, melukai lebih dari 104.000 orang, dan menghancurkan Gaza hingga menjadi puing-puing beton dan logam bengkok.
Wilayah yang menjadi rumah bagi 2,4 juta jiwa ini kini menghadapi ancaman kelaparan besar-besaran.
Bahkan angka-angka itu, menurut banyak analis, adalah perkiraan konservatif. Surat dari hampir 100 dokter Amerika yang bertugas di Gaza memperkirakan korban syahid mencapai 118.000 jiwa pada Oktober 2024.
Baca Juga: Jumlah Syahid di Jalur Gaza Capai 44.056 Jiwa, 104.268 Luka
Jurnal medis The Lancet memperkirakan jumlah itu bisa mencapai lebih dari 180.000.
Syuhada di Setiap Sudut Gaza
Mahmoud bin Hassan al-Thalatha, seorang ayah yang kehilangan tiga anaknya dalam serangan udara di jalan yang ramai, hanya mampu mengandalkan doa.
“Anak-anak saya telah syahid. Pedagang di kios telah syahid. Orang-orang yang berjalan di jalan menjadi syuhada. Semoga Allah merahmati mereka semua,” ucapnya penuh pilu.
Baca Juga: Hamas Sambut Baik Surat Perintah Penangkapan ICC untuk Netanyahu dan Gallant
Duka Gaza bukan hanya cerita tentang kehilangan, melainkan juga jeritan kemanusiaan.
Di tengah kekejaman yang terus berlangsung, Gaza menjadi simbol keberanian, tetapi juga bukti nyata kegagalan dunia untuk menegakkan keadilan.
Berapa lama lagi dunia akan diam? Hingga kapan penderitaan ini harus berlangsung? Di atas tanah yang hancur dan darah yang tumpah, Gaza terus bersaksi tentang derita manusia yang seakan tak bertepi.
Semoga doa-doa mereka menggema hingga ke hati dunia yang tertutup, dan semoga keadilan akhirnya menemukan jalan untuk mereka yang telah syahid. []
Baca Juga: Iran: Veto AS di DK PBB “Izin” bagi Israel Lanjutkan Pembantaian
Sumber: TRT World
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: IDF Akui Kekurangan Pasukan untuk Kendalikan Gaza