Anakku Penyemangat Jiwa Menuju Gaza

Rijal Abdul Latif, relawan Maemunah Center (Mae-C) dan Aqsa Working Group (AWG). (Photo: Nurhadis/MINA)

Oleh: , relawan

Masih terngiang nyaring dalam benak saya, suara tangisan seorang bayi yang baru tujuh hari lalu lahir ke dunia. Ya, dialah Nusaibah Humairah Rijal, bidadari mungil yang dikaruniakan Allah Ta’ala sebagai anak pertama di keluarga kecil kami.

Masih tergambar jelas dalam pikiranku, senyum bahagia istri tercinta selepas bersalin dan melihat putrinya lahir dengan selamat setelah sembilan bulan lamanya dikandungnya.

Saat itu, keluarga kami benar-benar larut dalam bahagia, penuh suka cita. Besar harapan kami, bisa memberi yang terbaik untuk putri pertama kami. Curahan perhatian, kasih sayang dan segalanya akan kami berikan untuk kebahagiaannya. Kami berdua bertekad akan mendampingi putri tercinta hingga ia berumah tangga kelak.

Saat itu, ketika saya sedang mengantarkan istri untuk cek-up ke dokter pasca operasi Caesar, tepatnya hari Kamis (4/4) telepon berdering. Ya, persis, tujuh hari setelah kelahiran putri pertama saya. Di ujung telepon rupanya rekan saya, Bang Nurhadis mengabarkan bahwa saya terpilih untuk berangkat dalam misi kemanusiaan () menembus blokade .

Belum lagi terbayang, apa peran saya sebagai seorang bapak dari bayi cantik jelita yang baru saja lahir harus saya tinggalkan, pergi ke wilayah konflik yang tidak ada jaminan akan kembali lagi.

Baca Juga:  Perspektif Islam Terhadap Maraknya Tindak Kekerasan

Kebayang, saya yang mestinya mendampingi istri saya yang baru saja melahirkan, operasi Caesar pula, kan paling tidak bisa bantu istri mencuci popok si Nusai, ini harus berangkat ikut misi kemanusiaan yang penuh risiko untuk menembus blokade Gaza melalui jalur laut.

Sehari-hari saya berada di sekretariat , tepatnya di Maemunah Center (Mae-C) yang merupakan sayap AWG. Saya aktif sebagai relawan di lembaga yang fokus terhadap isu kemanusiaan di ini.

Di tengah-tengah kesibukan saya menjadi relawan Mae-C, saya tetap meneruskan pendidikan dengan mengambil S1 jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir di Sekolah Tinggi Ilmu Shuffah Al-Qur’an Abdullah bin Mas’ud (STISA-ABM) Online dan saat ini sudah berada di tahun ketiga perkuliahan.

Sejak lulus Madrasah Aliyah di ponpes Shuffah Hizbullah dan Madrasah Al-Fatah Lampung tahun 2016, saya sempat bekerja sampai kemudian memutuskan untuk melanjutkan kembali pendidikan ke S1 pada tahun 2021. Bagi saya tidak ada kata terlambat untuk menuntut ilmu.

Selain itu, saya bersyukur bisa kuliah di STISA-ABM yang sejak awal didirikan oleh Allahuyarham Imam Muhyiddin Hamidy merupakan bagian dari perjuangan pembebasan Masjid Al Aqsa dan kemerdekaan Palestina.

“Al-Aqsa tidak bisa terbebas kecuali dengan Al-Qur’an,” kata Imam Muhyiddin Hamidy saat Grand Launching STISA-ABM 2014.

Baca Juga:  Israel Lakukan 685 Pelanggaran di Yerusalem Selama Bulan April

Meski beberapa kali saya ditegur pihak kampus untuk tetap fokus kuliah sebab keaktifan saya sebagai relawan Mae-C, tetapi keberangkatan saya dalam misi kemanusiaan Freedom Flotilla ini didukung oleh pihak kampus. Tentu menjadi kebanggaan saat ada mahasiswa STISA-ABM yang ikut dalam misi kemanusiaan internasional seperti ini.

Saya sempat gamang saat mendapatkan kabar terpilih mewakili Mae-C untuk ikut misi FFC ini. Istri memang sejak awal sudah paham saya aktif di lembaga kemanusiaan, cuma mungkin nggak terbayang saya akan berangkat dalam kondisi dia baru saja melahirkan secara operasi Caesar, di Palembang, dan sebulan sebelumnya saya berada di Lampung untuk kuliah.

Saya menangkap kesedihan di wajah istri saya, meskipun berusaha ditutupi saat disampaikan kabar, saya terpilih untuk berangkat ke Istanbul untuk ikut misi berlayar menembus blokade Gaza.

Istri merespons wajar saat saya bilang akan berangkat, tapi kesedihan justru terungkap saat saya dalam perjalanan pulang dari Palembang ke Lampung untuk berangkat ke Jakarta dan terbang ke Istanbul. Dia kirim foto sedang menangis.

Sedih tentu ada, sempat terpikir dalam hati, “Suami macam apa saya ini. Istri baru melahirkan, malah ditinggal pergi, ke daerah konflik pula.”

Baca Juga:  Ismail Haniya: Tidak Ada Satu pun Rumah Di Gaza Kecuali Ada Syuhadanya

Namun, Sekali layar terkembang pantang surut kebelakang. Ketika sebuah keputusan telah diambil, maka seharusnya tidak ada lagi keragu-raguan.

Saya memantapkan niat untuk tetap berangkat dan alhamdulillah orangtua, istri, juga mertua akhirnya rida melepas saya untuk melaksanakan amanah dalam misi penuh resiko menembus blokade Gaza.

Akhirnya, saya berangkat sebagai Tim Teknis Mae-C yang misinya akan membangun Rumah Sakit Ibu dan Anak () Indonesia di Gaza Palestina yang progresnya dirasakan sangat cepat.

Sejak di-launching pada awal Desember 2023. Saat ini progresnya Mae-C telah diberikan sebidang tanah seluas 5.040 M² untuk dibangun di komplek Rumah Sakit Ar-Rantisi, Gaza City. Berjarak sekitar 2 KM dari Rumah Sakit Ash- Shifa, dan 6 KM dari Rumah Sakit Indonesia di Beit Lahiya Gaza Utara.

Saya bersama relawan lain, Ja’far Sidqi Al Mubarok, akan berikhtiar masuk ke Gaza dengan tujuan mewujudkan pembangunan RSIA melalui Freedom Flotilla to Gaza.

Apa yang saya korbankan untuk Al-Aqsha dan Palestina belum sebanding dengan yang selama ini dilakukan rakyat Palestina sendiri. Saudara-saudara kita di Palestina mempertaruhkan nyawa dan hartanya untuk membela Al-Aqsha. Saya merasa saya masih jauh dari apa yang saya dan keluarga berikan untuk kiblat pertama umat ini.

Perjuangan pembebasan Masjid Al-Aqsha dan kemerdekaan Palestina harus terus diupayakan tanpa kenal lelah, sampai Allah tetapkan kemenangan atau syahid di jalan-Nya.[]

Mi’raj News Agency (MINA)

Wartawan: hadist

Editor: Rudi Hendrik

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.