Analisa Ghassan Khatib Tentang Rekonsiliasi Palestina

Para-Pemimpin-Hamas
Komisaris Urusan Nasional dan anggota Komite Pusat Fatah Azzam Al-Ahmad (dua dari kanan) dan anggota Biro Politik Saleh Aruri (dua dari kiri) menandatangani sebuah kesepakatan untuk membangun sebuah konsensus di Kairo, Mesir pada 12 Oktober 2017. (Foto: Ahmed Gamil – Anadolu Agency)

 

Pengumuman sebuah kesepakatan rekonsiliasi antara Fatah dan Hamas yang dirundingkan di Kairo, Mesir, pada Kamis, 12 Oktober 2017, menimbulkan harapan bahwa satu dekade perselisihan sengit antara faksi-faksi Palestina yang bersaing akhirnya bisa berakhir.

Kesimpulan awal perundingan itu mengisyaratkan seberapa besar tekanan bagi kedua belah pihak untuk membuat kemajuan.

Presiden Palestina Mahmoud Abbas memuji apa yang dia sebut “deklarasi akhir pembagian”. Dia dijadwalkan mengunjungi Jalur Gaza pada bulan November. Itu akan menjadi kunjungan pertama kalinya sejak Hamas mengusir Fatah dari daerah kantong itu pada tahun 2007.

Namun sebetulnya, kedua belah pihak hanya mencapai kesepakatan parsial yang menangani masalah sipil dan administratif. Masalah yang jauh lebih diperdebatkan seperti pemilihan nasional, reformasi Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) dan status sayap bersenjata Hamas, untuk sementara disisihkan. Itu akan dipertimbangkan pada pertemuan berikutnya di akhir November 2017 nanti.

Mantan menteri Otoritas Palestina (PA) Ghassan Khatib mengatakan, setelah usaha rekonsiliasi sebelumnya gagal, peluang keberhasilan telah meningkat karena kedua faksi tersebut menerima “pendekatan langkah demi langkah”.

Yang paling penting, dicapai kesepakatan untuk mengizinkan pasukan keamanan di bawah kendali Abbas mengawasi penyeberangan Rafah antara Gaza dan Mesir. Kesapakatan itu diharapkan mendorong Mesir untuk mengakhiri penutupan perbatasan yang memungkinkan barang dan orang melewatinya, sehingga bisa mengurangi krisis kemanusiaan di wilayah kantong pantai itu.

Pasukan kepolisian Gaza akan dibangun kembali yang mencakup 3.000 petugas PA, sementara pejabat Hamas di Gaza harus diintegrasikan ke dalam kementerian PA. Sanksi yang diberlakukan oleh Abbas sejak musim semi dengan ketat membatasi masuknya bahan bakar, memotong pasokan listrik Gaza sampai beberapa jam sehari, akan berakhir.

“Harga rekonsiliasi semacam ini terjangkau, bahkan untuk Israel. Selama kesepakatan rekonsiliasi hanya untuk masalah kemanusiaan dan lingkungan, serta dengan penyediaan layanan dan gaji pegawai, hal itu bisa berhasil. Tapi saat ini, menangani masalah keamanan dan politik utama, itu akan gagal,” kata Khatib.

Di sisi lain, peran Mesir terbukti sangat penting. Mouin Rabbani, seorang analis Palestina yang tinggal di Yordania mengatakan, Kairo telah mengeksploitasi krisis kemanusiaan di Gaza sebagai pengaruh untuk menyelesaikan masalah keamanannya sendiri di Sinai.

“Mesir ingin mencegah ISIS menikmati manfaat tempat berlindung yang aman di Gaza,” katanya.

Pemerintah Mesir mengkhawatirkan berlarutnya krisis politik di Palestina, karena bisa menyebabkan adanya pertempuran antara Israel dan Hamas. Jika itu terjadi, warga Palestina akan berlari masuk ke Sinai untuk menghindari kehancuran tersebut. Kondisi itu berisiko menyoroti keterlibatan Mesir dengan Israel dalam mempertahankan blokade Gaza melalui penutupan perbatasan Rafah.
Keberhasilan rekonsiliasi pun penting bagi Pemerintah Amerika Serikat sebagai cara untuk mengimbangi Hamas, dan untuk meningkatkan peluang Presiden Donald Trump untuk menjual kesepakatan “akhir” yang ia janjikan untuk perdamaian.

Menurut Khatib, rekonsiliasi adalah sesuatu yang setiap orang inginkan sekarang. Abbas ingin memperpanjang yurisdiksinya ke Gaza, Hamas ingin terbebas dari beban pemerintahan sehari-hari di Gaza. Donor internasional ingin dapat mengarahkan uangnya ke Gaza lagi.

“Bahkan Israel memiliki kepentingan dalam penyelesaian masalah kemanusiaan di Gaza. Lagi pula, pembuangan limbah yang tidak diobati berakhir di pantai Israel juga,” katanya.

Namun, isu rekonsiliasi yang lebih luas sepertinya akan lebih sulit dipecahkan.

 

Pemilu dan Penyatuan Hamas

Ratusan pejabat PA dari Tepi Barat yang diduduki telah tiba di Gaza pada awal Oktober 2017 untuk mulai membentuk sebuah pemerintahan konsensus nasional.

Pemerintahan teknokrat ini dimaksudkan sebagai tindakan sementara sampai pemilihan Palestina dapat diatur dan sebuah pemerintahan perwakilan dipasang. Isu pemilihan umum diharapkan bisa membuahkan hasil pada putaran pembicaraan berikutnya.

Tapi sulit untuk melihat bagaimana pemilihan nasional dapat dilakukan. Itu adalah kemenangan pemilihan 11 orang yang gagal 11 tahun yang lalu, yang menyebabkan perang saudara antara Gaza dengan Fatah.

Menurut Khatib, pemilu bisa memungkinkan Abbas atau Ismail Haniya akan kehilangan jabatan oleh pesaingnya. Selain itu, Fatah akan menderita kekalahan di Gaza, karena pemungutan suara akan dilemahkan oleh dukungan Mohammed Dahlan, saingan Abbas yang telah diasingkan ke Uni Emirat Arab. Dengan bantuan Mesir, Dahlan telah memompa uang ke Jalur Gaza untuk membangun basis pendukungnya dan menantang Abbas.

Harapan terbaik Abbas adalah Hamas berusaha menghindari tanggung jawab menjalankan Gaza lagi dan setuju tidak mengikuti pemilihan presiden.

Atau lebih mungkin, tambah Khatib, pemilu yang telah lama tertunda akan ditangguhkan, dan pemerintah tekstokrat yang tidak terpilih saat ini diizinkan untuk terus bertugas.

Pertanyaan lainnya adalah bagaimana cara mengintegrasikan Hamas ke dalam institusi PLO?

Hamas pada masa lalu berkeras bahwa sebagai imbalan atas pembagian pemerintahan Gaza dengan Fatah, pihaknya mengharapkan untuk memiliki saham dalam PLO yang telah direformasi.

Hamas dicurigai pasti akan melemahkan strategi diplomatik Abbas untuk mencari kenegaraan Palestina. Israel dan masyarakat internasional kemungkinan akan menarik pengakuan mereka terhadap PLO sebagai “satu-satunya wakil sah rakyat Palestina”.

Hambatan utama lainnya adalah menemukan sebuah pengaturan untuk pasukan keamanan Hamas yang beranggotakan 25.000 orang di Gaza. Abbas mengharapkan sayap militer Hamas berada di bawah layanan keamanan PA di Ramallah.

Dalam sebuah wawancara dengan TV Mesir pada awal Oktober, dia meminta “satu negara bagian, satu rezim, satu undang-undang dan satu senjata”.

Namun, pelucutan senjata atau pembatasan sayap militer Hamas hampir pasti akan menjadi “kesepakatan gagal”, terutama mengingat “koordinasi keamanan” lama PA dengan Israel.

Hamas telah bertahun-tahun membangun jaringan terowongan yang canggih di bawah Gaza yang diyakini merupakan kunci keberhasilannya dalam menahan serangan Israel dari perang 2014. Sulit membayangkannya jika harus mengorbankan terowongan atau senjatanya.

Meskipun demikian, mungkin ada jalan keluar dari kebuntuan yang nyata ini. (A/RI-1/P1)

Sumber: tulisan Jonathan Cook di Al Jazeera

Mi’raj New Agency (MINA)

Wartawan: Rudi Hendrik

Editor: Ismet Rauf

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.