Anatomi Mukmin Vs Kafir: Pedoman Hidup

Oleh Bahron Ansori, wartawan MINA

seorang ibarat mengendarai kendaraan. Jika ia tidak memahami bagaimana menggunakan kendaraan (motor, mobil, dan lainnya), maka mustahil ia bisa sampai pada tujuannya. Atau ibarat seseorang yang membeli gadget baru, tentu saja si penjual bukan saja memberikan gadget yang dibeli tapi juga diberikan hand book (buku pegangan/panduan) bagaimana cara mengoperasikan gadget baru tersebut.

Begitu juga seorang muslim dalam menjalani kehidupan di dunia ini. Ia mesti membutuhkan Al Qur’an sebagai hidupnya. Mengapa Al Qur’an harus menjadi sebagai pedoman hidup setiap muslim? Jawabannya jelas karena Al Qur’an itu adalah petunjuk. Allah Ta’ala berfirman dalam surat Al-Baqarah Ayat 2,

ذَٰلِكَ ٱلْكِتَٰبُ لَا رَيْبَ ۛ فِيهِ ۛ هُدًى لِّلْمُتَّقِينَ

“Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa.”

Dalam Fathul Karim Mukhtashar Tafsir al-Qur’an al-‘Adzhim, karya Syaikh Prof. Dr. Hikmat bin Basyir bin Yasin, professor fakultas al-Qur’an Univ Madinah, dikatakan, Ibnu Abbas berkata, (Dzaalikal kitabu) berarti “kitab ini”. Begitu juga yang dikatakan Mujahid, ‘Ikrimah, Sa’id bin Jubair, As-Suddi, Muqatil bin Hayyan, Zaid bin Aslam, dan Ibnu Jarir, bahwa “Dzalika” mengandung makna “Hadza”.

Bangsa Arab mempergantikan dua kata petunjuk ini. Sehingga mereka menggunakan salah satu dari keduanya di posisi yang lainnya. Hal ini sudah biasa dalam bahasa mereka. Imam Bukhari dari Ma’mar bin al-Mutsanna Abu ‘Ubaidah telah meriwayatkannya.

Az-Zamakhsyari berkata bahwa “Dzalika” merujuk pada ayat (Alif, Lam, Mim) sebagaimana Allah SWT berfirman (Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya di antara kalian) (Surah Al-Mumtahanah: 10) dan (Yang demikian itu adalah Allah) (Surah Ghafir: 64), dan ayat-ayat sejenis yang menunjukkan pada sesuatu yang telah disebutkan sebelumnya. Dan hanya Allah yang lebih Mengetahui.

“Al-Kitab” maknanya adalah Al-Qur’an. Ada yang mengatakan bahwa (Dzalikal kitabu) merujuk kepada Taurat dan Injil, sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibnu Jarir dan yang lainnya bahwa sungguh hal itu jauh dari kemanfaatan, tenggelam dalam penyimpangan, dan terbebani oleh sesuatu yang tidak diketahuinya.

“Ar-Raiba” maknanya adalah keraguan. Makna kalimat ini yaitu bahwa kitab ini – Al-Quran – tidak diragukan lagi diturunkan dari Allah, sebagaimana Allah SWT berfirman dalam surah As-Sajadah: ‘(Alif, Lam, Mim (1) Turunnya Al-Quran yang tidak ada keraguan di dalamnya, (adalah) dari Tuhan semesta alam (2).

Beberapa ulama’ berpendapat bahwa ini adalah khabar dan maknanya adalah larangan; artinya, jangan ragu tentang ini.

Di antara ulama’ Qiraah Sab’ah ada yang berhenti pada firmanNya: (laa raiba) lalu memulai lagi dengan firmanNya: (fiihi hudan lil muttaqiin), Dan yang berhenti pada firmanNya: (laa raiba fiihi) lebih utama untuk ayat yang telah kami sebutkan, karena itu, firmanNya: (hudan) menjadi sifat untuk Al-Quran, dan itu lebih jelas daripada susunan (fiihi hudan).

Baca Juga:  Peran Dakwah dalam Memperbaiki Akhlak Umat

Kata “Hudan” dalam bahasa Arab bisa menjadi marfu’ sebagai sifat, dan bisa menjadi mansub sebagai haal (keadaan). Petunjuk ini dikhususkan bagi orang-orang yang bertakwa, sebagaimana Allah SWT berfirman (Katakanlah, “Al-Qur’an adalah petunjuk dan penyembuh bagi orang-orang yang beriman. Dan orang-orang yang tidak beriman pada telinga mereka ada sumbatan, dan (Al-Qur’an) itu merupakan kegelapan bagi mereka. Mereka itu (seperti) orang-orang yang dipanggil dari tempat yang jauh).” [Qs. Fushshilat: 44].

“(Dan Kami turunkan dari Al-Qur’an (sesuatu) yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang yang beriman, sedangkan bagi orang yang zalim (Al-Qur’an itu) hanya akan menambah kerugian).” (Qs. Al-Isra’: 82), dan ayat-ayat lainnya yang menunjukkan tentang keistimewaan orang-orang mukmin untuk mendapatkan manfaat dari Al-Qur’an karena di dalamnya terdapat petunjuk, namun hanya orang-orang yang berbuat kebajikan yang akan mendapatkannya. Sebagaimana Allah SWT berfirman, “(Wahai manusia! Sungguh, telah datang kepadamu pelajaran (Al-Qur’an) dari Tuhanmu, penyembuh bagi penyakit yang ada dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang yang beriman.” (Qs. Yunus: 57)

As-Sha’biy berkata, “Petunjuk dari kesesatan.” Said bin Jubair berkata, “Penjelasan bagi orang-orang yang bertakwa, dan semua penjelasan itu benar.”

Dari Ibnu Abbas, berkata, “(bagi orang-orang yang bertakwa) maksudnya adalah orang-orang yang takut akan siksaan Allah karena meninggalkan petunjuk yang telah mereka ketahui, dan mengharapkan rahmat-Nya dengan membenarkan apa yang telah datang (Al-Qur’an).

Abu Bakr bin ‘Ayyash berkata, Al-A’masy bertanya kepadaku tentang orang-orang yang bertakwa. Aku menjawabnya, lalu dia berkata, “Tanyakanlah kepada Al-Kalbi tentang hal itu.” Kemudian Aku bertanya kepadanya. Dia menjawab, “Yaitu orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar.” Aku kembali kepada Al-A’masy, lalu dia berkata, “Kami berpendapat bahwa itu benar, dan dia tidak menolaknya.”

Dalam ayat lain, Allah Ta’ala berfirman,

اِنَّ هٰذَا الْقُرْاٰنَ يَهْدِيْ لِلَّتِيْ هِيَ اَقْوَمُ

“Sesungguhnya Al-Qur`ân ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus …” (Qs. al-Isra`/17:9).

Dalam ayat mulia ini, Allah Jalla wa ‘Ala menyampaikan pujian terhadap kitab yang diturunkan kepada Rasul-Nya, Muhammad SAW, yaitu Al-Qur`an, sebagai kitab samawi paling agung dan paling luas cakupannya menyangkut semua jenis ilmu, kitab paling terakhir, bersumber dari Rabbul-‘Alamin. Dengan dalil-dalil, hujjah-hujjah, aturan-aturan, dan nasihat-nasihat yang dikandungannya, Al-Qur`an ini menjadi sebab banyaknya manusia yang memperoleh hidayah, dan ia mengantarkan kepada jalan yang lebih lurus dan lebih terang. Maksudnya, petunjuk Al-Qur`ân lebih lurus, adil, dan paling benar dalam persoalan aqidah (keyakinan), amalan-amalan dan akhlak.

Baca Juga:  Tanda-Tanda Israel Kiamat!

Ayat di atas merupakan salah satu dari ayat-ayat yang menyanjung keutamaan Al-Qur`an, ketinggian derajatnya dan kemuliaannya di atas kitab-kitab sebelumnya sebagai pedoman hidup seorang muslim. Selain Al Qur’an tentu saja Al Hadits juga menjadi pedoman hidup seorang muslim.

Karakter orang

Sementara itu orang-orang kafir menjadikan pedoman hidup mereka adalah hawa nafsunya. Mereka memutuskan segala sesuatunya berdasar bisikan hawa nafsunya. Padahal Allah Ta’ala mengecam orang-orang yang mengikuti hawa nafsunya.

Orang kafir menolak untuk beriman karena mereka mempunyai beberapa karakteristik antara lain sebagai berikut.

Pertama, hati mereka penuh dengan hasad (rasa iri), sebagaimana firman,  Allah,

وَدُّوا لَوْ تَكْفُرُونَ كَمَا كَفَرُوا فَتَكُونُونَ سَوَاءً

Mereka ingin supaya kamu menjadi kafir sebagaimana mereka telah menjadi kafir, lalu kamu menjadi sama (dengan mereka).” (Qs. An-Nisaa’ : 89)

Hati mereka penuh hasad (rasa iri) terhadap kaum Mukminin yang telah mendapatkan nikmat iman dan mereka berharap nikmat iman itu lenyap dari kaum Muslimin. Hasad inilah yang mendorong mereka berusaha menyesatkan orang beriman. Tak henti-hentinya, orang-orang kafir membuat makar dan propaganda kepada kaum Muslimin, berusaha mencelakakan dan merusak citra baik yang yang sudah melekat pada  dari kaum Muslimin. Mereka berpura-pura membantu, berprilaku dan berperangai terpuji supaya bisa mengambil manfaat dibalik semua ini. Namun, Allah SWT membongkar kedok mereka. Allah Azza wa Jalla berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا بِطَانَةً مِنْ دُونِكُمْ لَا يَأْلُونَكُمْ خَبَالًا وَدُّوا مَا عَنِتُّمْ قَدْ بَدَتِ الْبَغْضَاءُ مِنْ أَفْوَاهِهِمْ وَمَا تُخْفِي صُدُورُهُمْ أَكْبَرُ ۚ قَدْ بَيَّنَّا لَكُمُ الْآيَاتِ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil orang-orang yang di luar kalanganmu (orang kafir) menjadi teman kepercayaanmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi.”  (Qs. Ali ‘Imran : 118 )

Orang yang sudah dibutakan oleh kepentingan, tidak akan bisa lagi melihat yang jalan lain yang dapat menjadi alternative. Matanya tak akan sudi melihat dan telinganya tak akan sudi mendengar alaternatif tersebut. Dunianya adalah apa yang sedang ia lalui. Itulah kepentingan hidupnya.

Kedua, sombong, karakteristik ini pasti dimiliki oleh orang kafir. Lihat saja kenapa Iblis disifati kafir oleh Allah, karena Iblis memiliki kesombongan, merasa lebih baik, lebih hebat, lebih benar, lebih kuat, lebih taat, lebih tahu, sehingga karena keangkuhannyalah akhirnya Allah mengusirnya dari surga dan menjadikannya musuh. Maka siapapun yang mengikuti karakter dan perangai ini niscaya akan menjadi muridnya iblis yang akan binasa. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,

Baca Juga:  Ratusan Mahasiswa UI Berkumpul di Perkemahan Solidaritas Palestina

وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلَائِكَةِ اسْجُدُوا لِآدَمَ فَسَجَدُوا إِلَّا إِبْلِيسَ أَبَى وَاسْتَكْبَرَ وَكَانَ مِنَ الْكَافِرِينَ

“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat, ‘Tunduklah kamu kepada Adam.’ Lalu mereka tunduk kecuali Iblis; ia enggan dan congkak dan adalah ia termasuk orang-orang kafir.”  (Qs. Al-Baqarah: 34)

Dalam ayat yang lain,

إِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَالَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِالْآخِرَةِ قُلُوبُهُمْ مُنْكِرَةٌ وَهُمْ مُسْتَكْبِرُونَ

Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Maha Esa. Maka orang-orang yang tidak beriman kepada akhirat, hati mereka mengingkari (keesaan Allah), sedangkan mereka sendiri adalah orang-orang yang sombong. (Qs. An-Nahl : 22)

Dalam ayat lain, Allah Ta’ala berfirman,

إِذْ جَعَلَ الَّذِينَ كَفَرُوا فِي قُلُوبِهِمُ الْحَمِيَّةَ حَمِيَّةَ الْجَاهِلِيَّةِ فَأَنْزَلَ اللَّهُ سَكِينَتَهُ عَلَى رَسُولِهِ وَعَلَى الْمُؤْمِنِينَ وَأَلْزَمَهُمْ كَلِمَةَ التَّقْوَى

Ketika orang-orang kafir menanamkan dalam hati mereka kesombongan (yaitu) kesombongan Jahiliyah lalu Allah menurunkan ketenangan kepada Rasul-Nya, dan kepada orang-orang mukmin dan Allah mewajibkan kepada mereka kalimat-takwa….”  (Qs. Al-Fath: 26).

Orang-orang kafir ketika mereka diajak untuk mengikuti kebenaran timbul dalam hatinya sifat hamiyah jahiliyah, yaitu kefanatikan jahiliyah dan berhala mereka, sehingga mereka menolak kebenaran tersebut. Sebagian umat Islam kadang terjangkit penyakit hamiyah ini, mereka fanatik dengan otak dan nalar yang mereka miliki, sehingga menutupi mereka dari mengikuti kebenaran.

Ketiga, taklid buta, karateristik yang ketiga ini, tampak menjadi ciri khas mereka. Mereka menolak semua fakta dan data yang berasal dari Allah Ta’ala, mereka hanya mengikuti tradisi dan adat istiadat serta kebeiasaan nenek moyang mereka, tanpa dalil, petunjuk dan tanpa kitab suci. Sebagaimana firman Allah SWT

وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ تَعَالَوْا إِلَى مَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَإِلَى الرَّسُولِ قَالُوا حَسْبُنَا مَا وَجَدْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لَا يَعْلَمُونَ شَيْئًا وَلَا يَهْتَدُونَ

“Bila dikatakan kepada mereka, “Marilah mengikuti apa yang diturunkan Allah dan mengikuti Rasul.Mereka menjawab, ‘Cukuplah untuk kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya. “Dan apakah mereka itu akan mengikuti nenek moyang mereka walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak pula mendapat petunjuk.” (Qs. Al-Maidah : 104)

Semoga Allah Ta’ala menjadikan setiap mukmin untuk terus istikomah menaati Allah dan Rasul-Nya sampai akhir hayat, aamiin.(A/RS3/P1)

 

Mi’raj News Agency (MINA)

 

 

 

Wartawan: Bahron Ansori

Editor: Ismet Rauf

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.