Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ancaman Sunyi di Balik Evakuasi Warga Gaza Berkedok Kemanusiaan

Redaksi Editor : Rudi Hendrik - 60 menit yang lalu

60 menit yang lalu

6 Views

Warga Gaza yang dievakuasi (foto: Fpik)

Oleh Muhammad Ridwan, Direktur Al-Jama’ah TV

DI BALIK pendaratan pesawat carter berisi 153 warga Palestina Gaza di Johannesburg pekan lalu, terselip tanda bahaya yang jauh lebih besar dari sekadar persoalan imigrasi. Rute penerbangan yang janggal, dokumen yang membingungkan, hingga biaya hingga 2.000 dolar AS per orang, memperlihatkan pola sistematis pengeluaran warga Palestina dari tanah air mereka dengan kemasan “evakuasi kemanusiaan.”

Selama lebih dari satu abad, proyek Zionisme bergerak dengan satu arah: menjadikan Palestina ruang eksklusif bagi negara Yahudi, meski harus menggusur penduduk aslinya. Narasi “keamanan” dan “perang melawan teror” digunakan untuk menutupi proyek yang telah dipetakan sejak akhir abad ke-19—yakni pembersihan etnis.

Theodor Herzl pernah menulis tentang perlunya memindahkan penduduk Arab Palestina secara perlahan dan diam-diam. David Ben-Gurion, yang kemudian menjadi Perdana Menteri pertama Israel, pada 1938 menyatakan tidak ada yang “tidak bermoral” dari pengusiran tersebut.

Baca Juga: Ketika Pelukan Anak Jadi Obat Lelah

Satu dekade kemudian, kata-kata itu menjadi kenyataan. Nakba 1948 mengusir lebih dari 700.000 warga Palestina dari kampung halamannya. Sejarawan Israel Benny Morris menyebut peristiwa itu sebagai “pembersihan etnis yang diperlukan.”

Pada 1950-an, puluhan ribu warga Palestina dan Badui di Naqab (Negev) dipindahkan secara paksa ke Sinai atau Gaza yang kala itu berada di bawah administrasi Mesir.

Setelah perang 1967, Israel mengadopsi strategi baru yang mereka sebut “migrasi sukarela”—yakni menciptakan kondisi hidup yang membuat penduduk tertekan untuk pergi, termasuk penghancuran rumah, pembatasan ekonomi, dan pembatasan akses kerja.

Sejak itu, penyusutan ruang hidup Palestina berlangsung melalui pengusiran, penghancuran rumah, pendudukan, blokade ekonomi, hingga rekayasa administratif yang membuat warga sulit kembali.

Baca Juga: Kritik Radikal Ilan Pappe terhadap Proyek Kolonial Israel

Mulai dari kebijakan terhadap komunitas Badui hingga pembukaan kantor imigrasi di kamp pengungsi, seluruh langkah itu mengarah pada satu tujuan: menghilangkan orang Palestina dari Palestina.

Genosida setelah 7 Oktober 2023 membuka babak baru dari strategi lama tersebut—lebih brutal dan dilakukan secara terang-terangan dengan dukungan kekuatan global.

Skema penerbangan ke Afrika Selatan yang memaksa warga Palestina membayar untuk keluar memperlihatkan pola yang sama: warga didorong pergi, ditutup jalan harapannya, dan direkayasa agar kehilangan hak kembali.

Pertanyaan kemudian muncul: mengapa Israel mengizinkan penerbangan seperti ini berlangsung, sementara pasien, mahasiswa, dan warga Palestina yang memiliki izin legal justru dihambat keluar? Jawabannya jelas: evakuasi legal menyiratkan hak untuk kembali, sesuatu yang tidak ingin diakui Israel.

Baca Juga: Pentingnya Narasi dan Literasi dalam Perjuangan Palestina

Namun, yang sering dilupakan oleh perancang strategi Zionisme adalah keteguhan rakyat Palestina. Dua tahun genosida, penghancuran rumah dua juta orang, dan pengepungan yang mematikan tidak memadamkan tekad untuk bertahan. Bagi rakyat Palestina, tanah bukan sekadar lokasi geografis, tetapi identitas, sejarah, dan martabat yang tidak bisa diganti.

Ujian Moral Dunia Islam dan Barat

Perang di Palestina hari ini bukan semata konflik wilayah, tetapi ujian moral bagi dunia. Setiap bangsa ditantang: apakah mereka berdiri di pihak keadilan atau berlindung di balik retorika diplomatik.

Inilah yang disebut kejujuran, kejujuran mengakui sejarah, menyebut genosida sebagai genosida, dan menyatakan bahwa pembersihan etnis telah berlangsung sejak era Herzl hingga kini.

Amerika Serikat, yang kerap memposisikan diri sebagai penjaga demokrasi, justru menjadi sponsor utama kebijakan yang merusak ini. Rekam jejak panjang intervensinya menunjukkan pola serupa: kehancuran, penjarahan sumber daya, lalu klaim membawa demokrasi.

Baca Juga: Ternyata Jadi Ayah Tak Seindah Cerita Film

Di Palestina hari ini, pola itu berulang—dukungan penuh terhadap penghancuran Gaza, veto atas resolusi kemanusiaan, dan suplai senjata yang menjadikan kamp pengungsi sebagai sasaran.

Dunia Islam menyaksikan semuanya, dan sejarah akan mencatat siapa yang berdiri jujur dan siapa yang memilih diam.

Seruan untuk Persatuan Palestina

Tulisan ini bukan menyalahkan rakyat Palestina. Tidak ada bangsa yang lebih banyak berkorban untuk tanahnya selama satu abad terakhir selain mereka. Namun sejarah menunjukkan bahwa persatuan adalah syarat mutlak untuk membangun negara yang merdeka dan berdaulat.

Zionisme sejak awal berupaya memecah Palestina melalui pengusiran, blokade, skema migrasi, dan infiltrasi sosial. Karena itu respons terbaik adalah kebalikan dari semua itu: persatuan.

Baca Juga: Abraham Accords Membidik Arab Saudi dan Indonesia, Mungkinkah?

Persatuan bukan berarti meniadakan perbedaan, tetapi mengarahkan seluruh energi perjuangan ke satu tujuan bersama:
Palestina merdeka, dipimpin rakyat Palestina, tanpa dominasi asing.

Dunia Islam juga menghadapi ujian yang sama. Solidaritas tidak sebatas slogan, melainkan harus diwujudkan dalam aksi nyata—kemanusiaan, diplomasi, ekonomi, dan politik—yang mengedepankan kepemimpinan yang amanah.

Sebagaimana firman Allah:

“Tidak sepatutnya orang-orang mukmin menjadikan orang kafir sebagai pemimpin atas orang beriman…” (QS. Ali Imran: 28)

Baca Juga: Ketika Hidup Tak Sesuai Rencana, Ingatlah Allah Selalu Punya Cara

“…Allah tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk mengalahkan orang-orang mukmin.” (QS. An-Nisa’: 141)

Ayat-ayat ini bukan untuk menebar permusuhan, tetapi menegaskan prinsip bahwa bangsa tertindas harus dipimpin oleh orang yang mencintai dan memahami tanah mereka.

Zionisme telah menghancurkan rumah, masjid, sekolah, dan kota-kota Palestina. Namun mereka belum—dan tidak akan—berhasil menghancurkan identitas Palestina.

Tidak ada bombardir yang mampu memadamkan cinta kepada tanah air. Tidak ada genosida yang bisa menghapus memori sejarah. Tidak ada skema pengusiran yang bisa memutus keyakinan bahwa Gaza, Hebron, Haifa, Yaffa, dan seluruh bumi Palestina adalah rumah yang sah bagi pemiliknya.

Baca Juga: Ketika Rumah Tangga Retak Karena Ego yang Tak Terjaga

Rakyat Palestina tidak pergi. Mereka tidak menyerah. Selama mereka bersatu, dan dunia Islam tetap jujur serta teguh mendukung keadilan, Palestina akan tetap berdiri—bukan sebagai korban, tetapi sebagai bangsa yang berdaulat dan memimpin masa depannya sendiri. []

Mi’raj News Agency (MINA)

Baca Juga: Ekopedagogi Islam, Belajar dari Alam yang Tergenang

Rekomendasi untuk Anda