LANGKAH Parlemen Israel (Knesset) yang pada Rabu, 22 Oktober 2025, mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Aneksasi Tepi Barat menjadi bukti nyata bahwa penjajahan belum berakhir. Undang-undang itu bertujuan mencaplok wilayah Tepi Barat, termasuk pemukiman ilegal di sekitar Yerusalem dan kawasan timur seperti Ma’ale Adumim, wilayah yang secara sah diakui sebagai bagian dari tanah Palestina.
Keputusan ini bukan sekadar langkah administratif. Ia adalah bentuk kesombongan politik yang menantang hukum internasional dan menginjak harga diri bangsa yang telah terusir dari negerinya sendiri. Tak heran jika Hamas dan berbagai kelompok perlawanan Palestina mengecam keras langkah ini, sementara sejumlah negara Arab menyuarakan penolakan, meski sebagian lainnya memilih diam.
Aneksasi yang dilakukan pendudukan Zionis Israel jelas-jelas melanggar Piagam PBB, Konvensi Jenewa Keempat, dan berbagai resolusi internasional yang menegaskan bahwa pendudukan tidak pernah memberi legitimasi atas klaim kedaulatan sepihak. Pemindahan penduduk, pendirian pemukiman permanen, dan pemberlakuan hukum domestik di tanah jajahan merupakan pelanggaran serius terhadap norma-norma dasar hukum internasional.
Dengan kata lain, aneksasi bukan hanya tindakan politik, melainkan juga kejahatan terhadap tatanan hukum global yang menjaga kedaulatan, hak asasi manusia, dan perdamaian dunia.
Baca Juga: Olimpiade dan Penjajahan: Polemik IOC–Indonesia
Tindakan aneksasi juga secara terang-terangan menggali kubur bagi solusi dua negara (two-state solution) yang selama ini digadang-gadang sebagai jalan damai. Aneksasi memecah Tepi Barat menjadi kantong-kantong kecil yang terisolasi, memutus jaringan ekonomi dan sosial rakyat Palestina, serta meniadakan kontinuitas teritorial yang menjadi syarat utama berdirinya negara Palestina yang merdeka dan berdaulat.
Di atas kertas, peta masih bisa digambar ulang. Tapi di lapangan, peta itu telah dirusak oleh tembok-tembok beton, pos militer, dan jalan-jalan eksklusif bagi pemukim Yahudi. Yang tersisa hanyalah bongkahan-bongkahan kecil penderitaan dan di sanalah generasi baru Palestina terpaksa tumbuh tanpa kejelasan masa depan.
Aneksasi juga menempatkan situs suci Islam, Masjidil Aqsa, dalam ancaman yang semakin nyata. Perubahan status hukum dan administratif wilayah pendudukan berpotensi menggoyahkan status quo kompleks Al-Aqsa yang selama ini menjadi penyangga stabilitas antaragama di Yerusalem.
Masjidil Aqsa bukan hanya milik Palestina, tapi adalah simbol keimanan umat Islam sedunia. Ketika statusnya diganggu, yang terancam bukan hanya batu dan bangunan, melainkan marwah peradaban umatIslam secara keseluruhan.
Baca Juga: Tatanan Baru Palestina dan Ujian Bagi Solidaritas Dunia Islam
Sayangnya, sebagian negara Arab justru memilih jalan “aman” dengan menjaga hubungan baik dengan Tel Aviv, membuka kerja sama ekonomi, dan menormalisasi hubungan diplomatik tanpa syarat yang jelas. Normalisasi seperti ini hanyalah kosmetik politik, jembatan menuju ketidakadilan.
Kecaman yang tidak disertai tindakan nyata hanyalah gema di ruang kosong. Padahal dunia Arab memiliki peluang menekan Negara pendudukan dengan prasyarat hukum dan kemanusiaan yang tegas, namun sering kali peluang itu dikorbankan demi stabilitas semu. Padahal, stabilitas yang dibangun di atas ketidakadilan hanyalah menunda letusan berikutnya.
Pada akhirnya, aneksasi Tepi Barat adalah ujian bagi nurani dunia, menantang konsistensi moral masyarakat internasional.
Dunia tidak boleh bungkam. Sebab diam terhadap aneksasi berarti ikut menandatangani penghapusan masa depan bangsa Palestina.
Baca Juga: Dari Viral ke Vital, Menata Ekonomi Kreatif dan Gig Economy 2025
Masa depan itu kini dipertaruhkan bukan hanya di Tepi Barat, tapi juga di hati nurani umat manusia. Bila dunia memilih bungkam, maka sejarah akan mencatat: kejahatan terbesar bukan hanya dilakukan oleh mereka yang menindas, tetapi juga oleh mereka yang memilih tidak peduli. []
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Menuju Indonesia Terang 2030: Listrik untuk Semua, Energi untuk Kedaulatan
















Mina Indonesia
Mina Arabic