Oleh Ali Farkhan Tsani, Duta Al-Quds Internasional
ZIONIS tidak pernah melewatkan kesempatan untuk memaksakan kendalinya atas wilayah Palestina. Termasuk tempat-tempat suci umat Islam, sebagai bagian dari tindakan Yahudisasi yang sistematis.
Langkah terbaru adalah keputusan Komando Pusat Tentara Zionis, yang bertanggung jawab atas Tepi Barat, untuk menarik wewenang pengawasan atas Masjid Ibrahimi dari wilayah Hebron.
Pemerintah Zionis mengumumkan untuk mengalihkan kewenangan pengawasan Masjid Ibrahimi dari Pengurus Wakaf Islam kepada Dewan Agama di permukiman Yahudi Kiryat Arba.
Baca Juga: Ilmu Dunia Dikejar, Ilmu Akhirat Dicampakkan: Ironi Pendidikan Zaman Ini
Langkah tersebut merupakan kelanjutan dari upaya sejak tahun 1994, ketika rabi ekstremis Baruch Goldstein melakukan pembantaian di dalam kompleks Masjid Ibrahimi, yang mengaibatkan gugur 29 jamaah shalat Subuh dan melukai ratusan jamaah lainnya.
Posisi Penting Masjid Ibrahimi
Masjid Ibrahimi terletak di Kota Tua Al-Khalil (Hebron) di Tepi Barat bagian selatan. Masjid tersebut memiliki kemiripan dengan Masjid Al-Aqsa. Keduanya sama-sama dikelilingi oleh dinding-dinding besar yang terbuat dari batu-batu besar.
Masjid Ibrahimi dipandang sebagai masjid tersuci keempat dalam sejarah Islam, setelah Masjidil Haram di Makkah, Masjid Nabawi di Madinah dan Masjidl Aqsa di Al-Quds (Yerusalem).
Baca Juga: Pelajaran Dari Demak, Potret Pendidikan di Indonesia
Karena itu ada yang menyebut Masjid Ibrahimi dengan Masjid Al-Haram Al-Ibrahimi (masjid yang disucikan dan dihormati)
Masjid ini memiliki kubah-kubah beratap yang menurut beberapa sumber sejarah merupakan makam Nabi Ibrahim, istrinya Sarah, dan anak cucunya, Ishaq, Yaqub, dan Yusuf, beserta istri-istri mereka.
Nama Masjid ini diyakini milik Nabi Ibrahim ‘Alaihis Salam. Sumber-sumber sejarah menunjukkan bahwa makamnya terletak di sebuah gua di bagian bawah masjid.
Kamar-kamar yang dinamai menurut nama mereka dibangun di atas makam mereka di dalam masjid.
Baca Juga: Mengukir Solidaritas Palestina Sejak Dini, Tantangan dalam Sistem Pendidikan Indonesia
Arsitektur Masjid Ibrahimi Masjid ini terdiri dari bangunan persegi panjang dengan luas sekitar 2.040 meter persegi, dikelilingi oleh dinding batu kapur putih yang kokoh, dengan ketebalan sekitar 2,68 meter.
Dengan bangunan seluas itu, kapasitas Masjid Ibrahim dalam kondisi normal dapat menampung sekitar 5.000-7.000 jamaah di area dalam masjid. Jika ditambah pelataran luar, kapasitasnya mencapai 10.000 jamaah.
Pada hari-hari tertentu, seperti akhir-akhir Ramadhan, Idul fitri dan Idul Adha arus jamaah membludak hingga 15.000 orang, dengan sistem shaf berlapis dan perluasan ke area sekitarnya.
Setiap sisi dinding masjid, terbagi menjadi bagian bawah yang terdiri dari jalur-jalur masif dan kokoh, dan bagian atas yang terdiri dari penopang bawaan yang terbuat dari 48 batu bata tinggi.
Baca Juga: Suriah dan Israel Menuju Perang Terbuka?
Masjid ini juga memiliki halaman terbuka, beberapa arcade (orong tepi masjid dengan deretan pilar dan lengkungan), ruangan, koridor, kubah, dan dua menara.
Lintas Sejarah Masjid Ibrahimi
Tidak ditemukan bukti sejarah atau dalil agama yang menyatakan bahwa Nabi Ibrahim ‘Alaihis Salam secara langsung membangun Masjid Ibrahimi. Nabi Ibrahim (hidup sekitar tahun 2050-1875 SM) dan keluarganya dimakamkan di kawasan Gua Makhpela di Kota Al-Khalil (Hebron), yang kemudian dibangun Masjid Ibrahimi.
Struktur awal berupa tembok besar di sekitar Gua Makhpela dibangun oleh Raja Herodes (Abad 1 SM), penguasa Kekaisaran Romawi. Era berikutnya, pada kekuasaan Kekaisaran Romawi Timur atau Bizantium (Abad 4–6 M) didirikan bangunan yang menyerupai tempat ibadah.
Baca Juga: Masjid Ibrahimi Warisan Nabi dan Wakaf Umat Islam
Pada era Islam (Abad 7 M), setelah pembebasan Baitul Maqdis oleh Amirul Mukminin Umar bin Khattab tahun dari kekuasaan Romawi Timur (Bizantium) tahun 637 M, situs tersebut diubah menjadi masjid secara resmi.
Di bawah kepemimpinan Umar bin Khattab, saat berada di kawasan Baitul Maqdis, dibangunlah struktur sederhana untuk shalat di sekitarnya.
Catatan sejarah menyebutkan, Umar bin Khattab menemukan situs makam Nabi Ibrahim yang saat itu terabaikan di bawah reruntuhan Bizantium. Beliau memerintahkan pembersihan area dan mendirikan tempat shalat sebagai cikal bakal Masjid Ibrahimi. Memang Belum berbentuk masjid seperti sekarang, tetapi sudah difungsikan sebagai tempat ibadah bagi umat Muslim, hingga kini dan seterusnya.
Pada era Mamluk dan Turki Utsmani, dilakukan beberapa renovasi kubah, mihrab, dan lainnya, serta perluasan kompleks Masjid Ibrahimi.
Baca Juga: Ustaz di Depan, Tapi Rapuh di Malam Sunyi
Kekhilafahan Turki Utsmani memiliki peran penting dalam sejarah dan pemeliharaan Masjidil Aqsa dan Masjid Ibrahimi, di Palestina. Perannya sebagai pimpinan kaum Muslimin sangat kuat dalam pemeliharaan dan perlindungan situs-situs suci tersebut. Terutama sekali pernyataan dari Sultan Abdul Hamid II (21 September 1842 M – 10 Februari 1918 M) yang melarang keras Yahudi tinggal di kawasan Palestina.
Sultan Abdul Hamid II melanjutkan apa yang menjadi amanah dari Amirul Mukminin Umar bin Khattab yang melarang orang-orang Yahudi tinggal di Baitul Maqdis, Palestina. Ini seperti tertuang dalam Piagam Umar (Al-Ahdu Umariyah) yang Umar sampaikan kepada Patriakh Yerusalem, Sophronius (560-638 M).
Klaim Zionis atas Masjid Ibrahimi
Sejak pendudukan Zionis di Tepi Barat, Palestina tahun 1967, Masjid Ibrahimi berada dalam kendali otoritas Zionis Israel.
Baca Juga: Sejarah, Islam dan Budaya Masyarakat Kazakhstan: Abai sebagai Inspirasi Bangsa
Hingga puncaknya pada tahun 1994, Masjid Ibrahimi menjadi saksi pembantaian yang dilakukan rabi ekstremis Baruch Goldstein, dengan menembaki jamaah yang sedang shalat, yang mengakibatkan gugur 29 jamaah shalat Subuh dan melukai ratusan jamaah lainnya.
Peristiwa itu tepatnya terjadi pada Jumat, 25 Februari 1994, hari ke-15 bulan suci Ramadhan.
Saat kejadian, tentara pendudukan Zionis sudah hadir di sekitar masjid, dan menutup gerbang masjid untuk mencegah keluar para jamaah dan mencegah orang-orang yang datang dari luar untuk membantu yang terluka.
Bukan hanya itu, aksi pembantaian berlanjut, ketika tentara pendudukan Zionis menembaki warga Palestina yang berpartisipasi dalam pemakaman jamaah, yang mengakibatkan 21 orang gugur.
Baca Juga: Boikot Produk Terafiliasi Zionis Tinjauan Fatwa Ulama
Dengan meningkatnya ketegangan di wilayah pendudukan, tentara menembaki pengunjuk rasa pada hari berikutnya, mengakibatkan 10 orang lagi gugur dan melukai ratusan lainnya.
Menyusul pembantaian tersebut, dengan dalih untuk menjaga keamanan, pasukan penjajah menutup Masjid Ibrahimi dan Kota Tua Hebron selama enam bulan penuh.
Mereka mengklaim sedang melakukan proses penyelidikan dan secara sepihak membentuk komisi untuk menyelidiki pembantaian tersebut dan penyebabnya. Rekomendasi atau keputusan yang diambil malah mendukung aksi pemukim teroris.
Komisi penyelidikan yang dipimpin oleh Meir Shamgar, menyimpulkan bahwa pemerintah Israel yang dipimpin Perdana Menteri Yitzahk Rabbin dinyatakan tidak bertanggung jawab atas pembantaian itu.
Baca Juga: Medsos, Ladang Amal Shaleh Yang Terlupakan
Sebaliknya, Baruch Goldstein dikatakan telah bertindak atas nama pribadi, dan kepemimpinan politik Israel tidak bisa memprediksi tindakannya.
Justru kemudian muncul rekomendasi yang membagi Masjid Ibrahimi antara muslim dan Yahudi. Anehnya lagi, Komisi Shamgar kaum Yahudi mendapat bagian 60 % wilayah masjid, sementara sisanya 40 % untuk Muslim.
rekomendasi Komisi Shamgar membagi akses, mengalokasikan 63% lokasi untuk kaum Yahudi dan sisanya 37% untuk Muslim.
Siapa Baruch Goldstein
Baca Juga: Jama’ah Adalah Benteng Terakhir di Tengah Badai Fitnah
Catatan menyebutkan, Baruch Goldstein, yang bernama asli Benjamin Goldstein, berusia 42 tahun saat melakukan pembantaian, adalah salah satu pendiri gerakan Kach, teroris Yahudi.
Goldstein lahir di New York, dari keluarga Yahudi ultra-Ortodoks dan dia mengenyam pendidikan di sekolah Yeshiva Yahudi di Brooklyn dan mendapat gelar kedokteran dari Fakultas Kedokteran Albert Einstein di Universitas Yeshiva.
Dia datang ke Israel dari Amerika Serikat pada tahun 1980 dan tinggal di pemukiman Kiryat Arba, yang dibangun di atas tanah Hebron yang dirampas dari rakyat Palestina.
Zionis Yahudi mengklaim, lagi-lagi klaim sepihak yang dipaksakan, yang menyebut bahwa Gua Makhpela mengacu Taurat versi mereka. Di dalamnya terdapat makam beberapa nabi dan istri mereka, yang dianggap sebagai leluhur agama Yahudi. Sehingga kompleks makam itu disebut sebagai Gua Para Leluhur (Cave of the Patriarchs).
Adapun Pemukiman Kiryat Arba, yang menerima mandat kekuasaan atas Masjid Ibrahimi, selama ini termasuk pemukiman Yahudi ilegal yang dibangun di tepi kota Hebron, Tepi Barat, Palestina).
Pemukiman tersebut terletak di Tepi Barat yang diduduki Israel sejak 1967, yang masuk ke wilayah Area C berdasarkan Perjanjian Oslo. PBB sendiri menyebutnya sebagai ilegal alias melanggar hukum internasional, termasuk Resolusi PBB No. 2334.
Resolusi PBB No. 2334 tahun 2016 adalah resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) yang mengutuk pemukiman Israel di wilayah Palestina yang diduduki sejak 1967 di Tepi Barat, termasuk Yerusalem Timur.
Resolusi tersebut menyebutkan bahwa pemukiman Israel di wilayah pendudukan Palestina tidak sah secara hukum dan melanggar Konvensi Jenewa Keempat tahun 1949, dan menyerukan Israel untuk menghentikan semua aktivitas pemukiman ilegal.
Nama Kiryat Arba berasal dari Kitab Perjanjian lama versi Yahudi, yang mengatakan sebagai nama kuno Hebron, tempat Nabi Ibrahim dimakamkan.
Awalnya tempat itu berupa pos militer, lalu berkembang menjadi kota permukiman Kiryat Arba. Di permukiman tersebut tersebut dibangun sekolah, sinagog, dan fasilitas militer Israel. Permukiman itu terhubung dengan kompleks Makam Nabi Ibrahim.
Aneksasi Zionis
Langkah terbaru keputusan Komando Pusat Tentara Zionis, pada Selasa, 15 Juli 2025, yang bertanggung jawab atas Tepi Barat, menarik wewenang pengawasan atas Masjid Ibrahimi dari wilayah Hebron. Pemerintah Zionis mengumumkan untuk mengalihkan kewenangan pengawasan Masjid Ibrahimi dari Pengurus Wakaf Islam kepada Dewan Agama di permukiman Yahudi Kiryat Arba.
Menurut Hanan Greenwood, koresponden Israel Hayom urusan permukiman, menganggap keputusan terbaru tersebut erat kaitannya dengan proses yahudisasi yang sedang berlangsung di wilayah Palestina.
Greenwood mengatakan, langkah itu merupakan perpanjangan langsung dari tindakan Administrasi Sipil, yang berafiliasi dengan Menteri Pertahanan Yisrael Katz, dan diawasi oleh Menteri Keuangan ekstremis Bezalel Smotrich, sebagai bagian dari upaya berkelanjutannya untuk membuat perubahan radikal pada kompleks tersebut.
Situs web Channel 7 mengungkapkan bahwa pertemuan baru-baru ini, yang dipimpin oleh Menteri Pertahanan Yisrael Katz, membahas pencabutan hak atas kotamadya Palestina, Hebron, dan Wakaf Islam.
Shai Glick, seorang pemimpin pemukim di Hebron, mengatakan bahwa kelompoknya telah berupaya selama bertahun-tahun untuk merebut kembali Masjid Ibrahimi, dengan mengklaim bahwa masjid tersebut “telah terdaftar atas nama orang-orang Yahudi sejak Kitab Kejadian.”
Ia menganggap keputusan terbaru untuk mengalihkan wewenang pengawasan dari Pemerintah Kota Hebron kepada dewan permukiman Kiryat Arba sebagai langkah menuju deklarasi “aneksasi penuh” semua situs keagamaan Yahudi di wilayah pendudukan.
Padahal berdasarkan Perjanjian Hebron, yang ditandatangani pada tahun 1998 antara Perdana Menteri Israel saat ini, Benjamin Netanyahu, dan mendiang Presiden Palestina, Yasser Arafat, menetapkan bahwa Masjid Ibrahimi berada di bawah pengawasan Wali Kota Hebron, pemerintahan Palestina.
Selain itu pada tahun 2017, Badan PBB untuk Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan (UNESCO / United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization) juga sudah mendaftarkan Masjid Ibrahimi sebagai Situs Warisan Dunia, yang memicu protes luas dari Israel.
Meskipun telah menandatangani Konvensi UNESCO tentang Perlindungan Situs Warisan Dunia, Israel kemudian menarik diri dari organisasi tersebut pada tahun 2019, mengabaikan kewajiban internasionalnya dan melanjutkan kebijakan unilateralnya terhadap situs-situs suci.
Harus Dihentikan
Direktur Masjid Ibrahimi Muataz Abu Sneineh, mengatakan bahwa jika terkonfirmasi, rencana pengambilalihan Masjid Ibrahimi akan menjadi “serangan terang-terangan dan berbahaya” terhadap situs yang memiliki kepentingan “religius, historis, dan arkeologis” yang mendalam bagi umat Islam.
Ia memperingatkan bahwa laporan tersebut mungkin menjadi uji coba untuk mengukur reaksi Palestina dan dunia Islam sebelum langkah formal apa pun diambil.
“Pengumuman ini berbahaya dan bertujuan untuk memajukan rencana Yahudisasi,” ujarnya kepada Middle East Eye.
“Para penjaga masjid tetap masih kita tugaskan bersiaga, dan tidak ada yang berubah, tetapi pengumuman ini berbahaya yang dapat mengubah status quo di sini,” lanjutnya.
Abu Sneineh menambahkan bahwa setiap campur tangan terhadap urusan atau struktur fisik masjid menunjukkan bahwa pendudukan Zionis Israel sedang mengeksploitasi perang yang sedang berlangsung untuk memaksakan realitas baru di lapangan.
“Israel terus melakukan pelanggaran dan mengabaikan semua hukum internasional, karena situs ini tercantum dalam daftar Situs Warisan Dunia Palestina UNESCO, dan diakui oleh organisasi-organisasi hak asasi manusia,” ujarnya.
Pemerintah Palestina pun menolak rencana tersebut, melalui pernyataan Kementerian Luar Negeri Palestina yang memperingatkan bahwa rencana Israel tersebut merupakan pelanggaran terang-terangan terhadap hukum internasional.
Kementerian mendesak UNESCO dan komunitas internasional untuk segera turun tangan, memperingatkan potensi langkah tersebut untuk meningkatkan ketegangan dan merusak kesucian situs-situs keagamaan.
Negara-negara Arab yang mayoritas Muslim, dan dunia Islam, baik pimpinan negara, ulama, tokoh, aktivis, advokat dan organisasi harus bertindak segera untuk menghentikan tindakan yahudisasi dan aneksasi tersebut. Jangan sampai terlambat. []
Mi’raj News Agency (MINA)