Anggota Parlemen Inggris Keturunan Palestina, Layla Moran Ajukan RUU Nakba ke Parlemen

Anggota parlemen Inggris-Palestina Layla Moran. (Foto: Twitter)

London, MINA – , Layla Moran, mengajukan RUU ke Parlemen , agar setiap tahun diadakan peringatan , atau “Malapetaka”, yang menimpa rakyat Palestina pada tahun 1948.

Ia menyatakan peringatan ini juga untuk meringankan beban sejarah Inggris dari keterlibatannya dalam peristiwa itu.

Moran, yang menjabat sebagai Juru Bicara Liberal Demokrat untuk Urusan Luar Negeri, membawa RUU Peringatan Nakba ke parlemen pada hari Senin (15/5) saat dunia memperingati 75 tahun pembersihan etnis Palestina yang membuka jalan bagi pembentukan Israel.

Layla Moran adalah anggota parlemen keturunan Palestina pertama di Inggris.

“Keluarga saya sendiri terpaksa melarikan diri dari Yerusalem selama Nakba. 5 setengah juta pengungsi Palestina di seluruh dunia sekarang mengalami perampasan,” kata Moran dalam sebuah pernyataan kepada The New Arab.

“Saya mengambil sendiri, sebagai generasi berikutnya, untuk membawa Palestina di dalam hati saya dan melakukan apapun yang saya bisa untuk menjaga masa depannya,” ungkapnya.

RUU awal yang diajukan oleh Moran pekan lalu mendesak Inggris untuk “segera mengakui negara Palestina” dan melanjutkan pendanaan untuk pengungsi Palestina (UNRWA).

Juga pada hari Senin, PBB membuat sejarah dengan mengadakan peringatan resmi Nakba pertama kalinya di kantor pusatnya di New York.

Presiden Otoritas Palestina menyampaikan pidato di acara yang diboikot oleh Israel itu, di mana dia mendesak badan internasional untuk menangguhkan keanggotaan Israel dari PBB.

Israel didirikan pada 14 Mei 1948, menyusul pemungutan suara PBB pada November 1947 yang membagi Mandat Inggris untuk Palestina menjadi dua negara, satu Arab, satu .

Milisi Yahudi mengusir lebih dari 750.000 warga Palestina dan melakukan sejumlah pembantaian setelah pemungutan suara, karena merebut wilayah yang dialokasikan ke negara Arab yang tidak pernah terwujud.

Israel merebut bagian lain dari , termasuk Yerusalem Timur dan Tepi Barat, pada tahun 1967 yang tetap berada di bawah pendudukan sejak saat itu.

Peran Inggris dalam peristiwa menjelang pemindahan massal warga Palestina telah lama diakui, dengan Presiden Abbas tahun lalu mendesak bekas penguasa kolonial itu untuk meminta maaf.

Pernyataan Moran pada hari Senin juga mengacu pada keterlibatan sejarah Inggris.

“Saya menyerukan kepada pemerintah untuk memulai babak baru, memperingati bencana ini dan mengakui kewajiban bersejarah kita terhadap wilayah tersebut,” katanya. (T/R7/P1)

 

Mi’raj News Agency (MINA)

Wartawan: sri astuti

Editor: Ismet Rauf

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.