Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Antara Gaya Hidup dan Kebutuhan Hidup: Menyadari Kesalahan yang Sering Tak Disadari

Bahron Ansori Editor : Widi Kusnadi - 2 jam yang lalu

2 jam yang lalu

5 Views

Ilustrasi

DALAM hiruk pikuk dunia modern, banyak keluarga terjebak dalam pusaran gaya hidup yang memukau. Mereka mengejar simbol status, membandingkan diri dengan tetangga, dan berlomba memenuhi standar media sosial. Padahal, di balik senyum foto-foto itu, sering tersembunyi tangis tagihan yang tak terbendung. Mereka lupa bahwa hidup bukan soal tampil mewah, tapi tentang bertahan dengan berkah.

Gaya hidup adalah pilihan, kebutuhan hidup adalah keharusan. Saat orang tua lebih sibuk membayar cicilan mobil mewah daripada uang sekolah anak, di situlah hati nurani seharusnya menangis. Rumah tangga bukan panggung sandiwara untuk pamer properti, tapi tempat suci membina generasi penuh nilai. Ironisnya, banyak orang lebih takut terlihat miskin daripada benar-benar jadi miskin.

Anak-anak tak butuh tas mahal, mereka butuh perhatian. Istri tak menuntut jalan-jalan ke luar negeri, tapi ingin suami yang hadir dan setia. Tapi gaya hidup terus menipu: membuat orang percaya bahwa kebahagiaan hanya ada dalam barang dan gemerlap. Akibatnya, kebutuhan hakiki rumah tangga dikorbankan untuk sesuatu yang fana.

Banyak keluarga hidup dalam utang demi terlihat kaya. Mereka membeli hal-hal yang tidak mereka butuhkan, untuk menyenangkan orang yang tidak peduli. Rumah tangga menjadi ladang stres, bukan surga damai seperti yang dijanjikan. Padahal, sederhana itu bukan kekurangan—ia adalah kekuatan yang penuh keberkahan.

Baca Juga: Belajar Menjadi Manusia Bijak dan Rendah Hati

Ketika kebutuhan makan tergadaikan demi gawai terbaru, ada yang salah dalam prioritas. Ketika pendidikan anak diabaikan demi liburan dadakan, saatnya merenung. Gaya hidup yang dibangun atas dasar gengsi akan menghancurkan pondasi rumah tangga. Dan lambat laun, yang tersisa hanya reruntuhan mimpi dan penyesalan.

Betapa banyak istri menangis diam-diam karena dapur tak berasap, sementara suami sibuk memamerkan sepatu bermerek. Betapa banyak suami memendam kecewa karena istri lebih sibuk membandingkan gaya hidup dengan influencer daripada membina kehangatan rumah. Semua karena tak mampu membedakan mana gaya, mana kebutuhan. Dan hidup pun berubah jadi kompetisi semu tanpa akhir.

Jika gaya hidup adalah topeng, maka kebutuhan hidup adalah wajah asli kita. Saat kita lebih jujur pada kebutuhan, hidup akan terasa ringan. Tapi saat kita terus memelihara topeng, hidup akan penuh kepalsuan dan kesempitan. Rumah tangga butuh kejujuran dan kesederhanaan, bukan sandiwara sosial yang menguras batin.

Anak-anak tidak mengingat seberapa mewah pesta ulang tahun mereka. Tapi mereka akan mengingat seberapa sering orang tuanya hadir, memeluk, dan mendengarkan. Sayangnya, banyak orang tua sibuk mengabadikan momen tanpa pernah benar-benar hadir dalam momen itu. Mereka kehilangan yang hakiki demi yang tampak indah di layar.

Baca Juga: Sukses Versi Dunia, Tapi Gagal di Akhirat: Masih Mau?

Berapa banyak rumah tangga hancur karena pertengkaran soal uang, bukan karena kurang rezeki tapi karena salah urus. Mereka lupa, keberkahan bukan datang dari jumlah, tapi dari keikhlasan dan kecukupan. Dan gaya hidup yang berlebihan akan selalu membutakan rasa syukur. Padahal syukur adalah kunci damai dalam setiap keluarga.

Saat gaya hidup menjadi tuhan baru, maka pengorbanan untuk keluarga pun terasa berat. Kita membeli apa yang tidak kita butuhkan dengan uang yang tidak kita punya demi kesan yang tidak nyata. Padahal, hidup bahagia tak pernah butuh validasi orang lain. Ia tumbuh dari hati yang tahu cukup dan keluarga yang saling menguatkan.

Mari kita dudukkan kembali mana gaya, mana kebutuhan. Mari kita ajarkan pada diri dan anak-anak bahwa hidup bukan soal tampil, tapi soal makna. Jangan tunggu rumah tangga hancur baru sadar, jangan tunggu anak-anak jauh baru rindu. Kini saatnya kembali, memilih kebutuhan, menanggalkan topeng gaya hidup semu.

Kebutuhan hidup itu sederhana: makan, pakaian, tempat tinggal, dan cinta. Tapi gaya hidup seringkali merumitkan yang sederhana demi pencitraan kosong. Kembalilah pada fitrah, pada kesederhanaan yang damai, pada kebersamaan yang jujur. Sebab di sanalah letak bahagia yang sejati—bukan di luar, tapi di dalam rumah, bersama orang-orang tercinta.[]

Baca Juga: Sibuk Cari Cuan, Tapi Tak Sempat Baca Al-Qur’an: Hidup Macet di Akhirat!

Mi’raj News Agency (MINA)

Rekomendasi untuk Anda