Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Antara Islamofobia dan Rasisme (Oleh: Imam Shamsi Ali, New York)

Rana Setiawan - Rabu, 27 Desember 2017 - 08:26 WIB

Rabu, 27 Desember 2017 - 08:26 WIB

103 Views

(Foto: Istimewa)

(Foto: Istimewa)

Oleh: Imam Shamsi Ali, Presiden Nusantara Foundation, New York, Amerika Serikat

Salah satu sesi saya di Muktamar IMSA (Indonesian Muslim Society in America) tahun ini adalah Islamofobia: Realita atau Mitos? Tentu bagi warga Muslim Amerika Serikat hal ini menjadi sebuah topik yang sangat relevan, khususnya dalam konteks masa kini.

Islamofobia sesungguhnya bukan hal yang baru di dunia dakwah. Justeru semua nabi dan rasul menghadapi tantangan yang berat dalam tugas menyampaikan kebenaran kepada umatnya. Bahkan alamiahnya semakin tinggi derajat nabi dan rasul itu, semakin tinggi pula tantangannya. Mereka bahkan mendapat gelar khusus sebagai “ulul azmi” (mighty prophets).

Imajinasi Muslim di Dunia Barat

Baca Juga: Muasal Slogan ”Al-Aqsa Haqquna”

Sesungguhnya kesalahpahaman dan ketakutan serta kebencian kepada Islam bukan hal baru di Amerika Serikat dan di Barat. Kesalahpahaman (miskonsepsi) terhadap Islam sejak dulu. Bahkan hal ini kerap kali terimajinasikan dalam ragam bentuk, termasuk gambar-gambar di buku-buku studi sosial.

Pada sebuah buku referensi studi sosial pernah digambarkan orang-orang dari berbagai belahan dunia. Salah satunya adalah orang Islam atau Muslim. Tapi yang ditampilkan sebagai orang Islam adalah seseorang yang berjanggut panjang, bersorban, berdiri di samping onta di padang pasir, dengan pedang terhunus.

Tentu menggambarkan Muslim sebagai orang Arab bukan masalah. Karena memang banyak saudara-saudara kita yang berbangsa Arab. Tapi kata “Arab” dalam persepsi sebagian di dunia barat artinya kaku, tidak demokratis, tiada kebebasan, tidak menghormati wanita, tidak toleran, terbelakang, dan selalu berperang.

Maka dengan sendirinya penggambaran Muslim sebagai Arab sekaligus berarti bahwa ajaran Islam adalah ajaran yang kaku, tidak demokratis, tidak menghargai kebebasan, tidak menghargai wanita, intoleran, terbelakang dan mengajarkan permusuhan dan kekerasan (terorisme).

Baca Juga: Enam Prinsip Pendidikan Islam

Imajinasi seperti ini kemudian dalam sejarahnya mendapat justifikasi di dunia modern. Kita diingatkan pada tahun 70-an dengan revolusi Iran, khususnya dengan peristiwa penyanderaan diplomat Amerika Serikat di Teheran.

Imajinasi itu kemudian seolah mendapat justifikasi dengan tumbuhnya kelompok-kelompok mujahidin pasca Perang Afghanistan, hingga terbentuknya kelompok Taliban di Afghanistan.

Setelah Taliban termarjinalkan atau setelah ada penjinakan, entah dengan apa dan oleh siapa, tiba-tiba kemudian timbul sebuah pembenaran jika Islam adalah terorisme dengan terbentuknya sebuah organisasi yang bernama Al-Qaidah itu. Kata Al-Qaidah ini menjadi sangat populer dengan peristiwa serangan terror ke Amerika Serikat pada tanggal 11 September 2001 lalu.

Peristiwa 9/11 itu diproyeksikan oleh sebagian sebagai kuburan Islam dan dakwah di Amerika Serikat. Ternyata rencana manusia tidak mampu mengalahkan rencana Allah. Islam semakin populer dan bahkan semakin menjadi agama yang diminati. Berbondong-bondong bangsa Amerika Serikat belajar, bahkan menerima Islam sebagai jalan hidup mereka.

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-10] Makanan dari Rezeki yang Halal

Suasana menjadi semakin kondusif bagi perkembangan Islam di Amerika Serikat. Sehingga untuk pertama kalinya dalam pidato pelantikan presiden Barack Obama, Islam disebut sebagai agama Amerika Serikat bersama Yahudi dan Kristen.

Tiba-tiba saja pasca terjadinya perang Irak, tanpa diketahui dari mana asal usulnya timbul kelompok terroris yang konon kabarnya jauh lebih kuat dari Al-Qaidah. Dahsyatnya kelompok ini menamai dirinya sebagai Islamic State dengan misi mendirikan khilafah internasional di Irak dan Suriah.

Kehadiran ISIS menggemparkan dunia. Selain karena sangat sadis dan tidak manusiawi, juga karena kemampuan mereka memanfaatkan alat teknologi modern untuk propaganda dan rekruitmen. Kelompok ini diproyeksikan tidak mengekspor anggota. Tapi mengekspor ideologi ke jantung-jantung yang mereka anggap sebagai musuh, termasuk Amerika dan Eropa. Berbagai insiden, besar atau kecil, kemudian terjadi dan diakui sebagai kejadian yang terinspirasi oleh ISIS.

Setelah ISIS mulai memudar, khusus untuk Amerika Serikat, terjadi pergeseran kekuasaan dari mereka yang “minority friendly” (bersahabat ke minoritas) termasuk Muslim ke mereka yang cukup anti minoritas, termasuk Muslim. Artinya bukan lagi karena ada pembenaran luar. Tapi memang karena karakter mereka yang cukup anti minoritas dan Muslim.

Baca Juga: Wawancara Eksklusif Prof. Anbar: Pendidikan Jaga Semangat Anak-Anak Gaza Lawan Penindasan

Kebangkitan “White Supremacy” (kelompok putih militan) sesungguhnya bukan karena hanya agama. Atau yang paling substantif dari permasalahannya bukan karena agama. Tapi permasalahan ras yang memang telah menjadi isu sosial turunan di Amerika Serikat.

Kita mengenal bahwa sejak beberapa dekade terakhir terjadi perubahan demografis di Amerika dan Barat secara umum. Kelompok “non white” yang selama ini dikategorikan sebagai minoritas semakin bangkit, baik secara kwantitas (jumlah) maupun kwalitas (pengembangan diri dan kelompok). Satu contoh terbesar adalah kemenangan Barack Obama menjadi presiden pertama non putih di Amerika Serikat.

Hal itu tentunya juga didukung oleh gelombang imigran yang semakin membesar, khususnya dari negara-negara konflik yang melibatkan Amerika Serikat dan negara-negara Barat lainnya.

Hal-hal di atas, ditambah lagi tingkat kelahiran di kalangan minoritas yang diperkirakan dua kali lipat dari kalangan masyarakat putih menjadikan warga berkulit putih merasa terancam. Perasaan terancam inilah yang membangkitkan semangat nasionalisme di Barat.

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-9] Jalankan Semampunya

Semangat nasionalisme kaum putih inilah yang mengantar kepada kemenangan Donald Trump, kandidat yang didukung setengah hati oleh partainya sendiri. Tapi karena pesan kampanye yang anti minoritas itu, dengan slogan to make America great again, menjadikan banyak warga putih Amerika Serikat mendukungnya.

Demikian pula kaum putih, khususnya orang-orang tua di Inggris menekan diadakannya referendum untuk keluar dari Uni Eropa (Brexit), karena dianggap lembek dalam menyikapi masalah imigran. Inggris menjadi sangat khawatir jika imigran semakin bertambah maka negara itu akan diambil alih oleh imigran (kelompok non white).

Dari sini kita pahami bahwa Islamofobia yang terjadi di Amerika Serikat dan dunia barat saat ini telah bergeser dari isu agama ke isu sosial. Di mana kaum mayoritas merasa terancam oleh warga minoritas sehingga melakukan pembelaan atau penyelamatan bahkan dengan cara-cara yang tidak konstitusional, bahkan bertentangan dengan nilai-nilai yang mereka banggakan dan promosikan di dunia ketiga.

Sehingga tidaklah salah barangkali jika saya menahami bahwa Islamofobia saat ini merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari rasisme yang sedang meninggi di Amerika Serikat. Wallahu a’lam!

Baca Juga: Wawancara Eksklusif Prof El-Awaisi: Ilmu, Kunci Pembebasan Masjid Al-Aqsa

(Dalam perjalanan dari Denver ke Kota New York, 26 Desember 2017)

 

(A-R01/P1)

Mi’raj News Agency (MINA)

Baca Juga: Amalan Sunnah pada Hari Jumat

Rekomendasi untuk Anda

Amerika
Palestina
Kolom
Kolom
Kolom
Amerika