Antara OKI dan Al-Quds (Jerussalem)

(Sumber: Inet)
(Sumber: Inet)

Oleh Rendy Setiawan, Jurnalis Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Pembakaran Masjid Al-Aqsha pada tanggal 21 Agustus 1969 telah mendorong berdirinya Organisasi Konferensi Islam () yang saat ini beranggotakan 57 negara. Selama perjalannya, OKI selalu mendukung Palestina untuk memperoleh kemerdekaannya dari penjajahan. Salah satu usaha dukungannya adalah melalui jalur diplomasi.

Indonesia sebagai sebuah negara dengan mayoritas umat Islam terbesar di dunia, kini menjadi tuan rumah Konferensi Tingkat Tinggi Luar Biasa Organisasi Kerjasama Islam ( OKI) kelima, 6-7 Maret 2016. Dalam pertemuan tersebut secara khusus membahas masa depan Al-Quds As- Sharif dan kemerdekaan Palestina.

Adalah Presiden Palestina Mahmoud Abbas sendiri yang meminta Indonesia untuk menjadi tuan rumah untuk even kali ini. Presiden Joko Widodo yang sejak kampanyenya berjanji akan komitmen mendukung perjuangan rakyat Palestina untuk mencapai kemerdekaannya dengan senang hati menyetujui permintaan itu.

Konferensi yang mengangkat tema “United for a Just Solution” (Bersatu Untuk Sebuah Keadilan) adalah pertemuan luar biasa yang pertama kali diselenggarakan khusus untuk mencari terobosan guna menyelesaikan isu Palestina dan Al-Quds Al-Sharif. KTT ini diharapkan dapat memberikan dorongan pada dunia internasional untuk tetap memprioritaskan penyelesaian isu Palestina dan Al-Quds Al-Sharif.

KTT LB OKI ke-5 ini diikuti lebih dari 500 delegasi dari 49 negara anggota, termasuk pada tingkat kepala negara/pemerintahan. KTT tersebut  juga akan diikuti 3 negara observers atau pengamat, 4 negara/organisasi kuartet internasional, dan 5 anggota tetap Dewan Keamanan PBB.

Direktur Jenderal Multilateral Kementerian Luar Negeri RI Hasan Kleib dalam sebuah pernyataannya menegaskan, Penyelesaian Palestina dan Al-Quds Al-Sharif tidak hanya penting bagi Palestina dan Indonesia, namun merupakan tanggung jawab bagi Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) dan seluruh anggotanya, khususnya mengingat OKI dibentuk menyusul pembakaran Mesjid Al-Aqsha di Jerusalem pada tahun 1969,” tegas dalam briefing di hadapan para Duta Besar negara anggota OKI di .

Bagi Umat Islam, Al-Quds menjadi sebuah tempat yang dimuliakan, bahkan Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pun memberi perhatian khusus dengan merekomendasikan kepada umatnya untuk berkunjung ke tempat tersebut setelah Masjidil Haram dan Masjid Nabawi.

Al-Quds (dalam bahasa Arab) atau Yerusalem (dalam bahasa Ibrani) merupakan salah satu kota tertua di dunia, terletak di sebuah dataran tinggi di Pegunungan Yudea antara Laut Tengah dan Laut Mati. Saat ini, kota tersebut menjadi rebutan dengan saling klaim antara Israel dan Palestina. Israel mempertahankan lembaga-lembaga pemerintahan utamanya di kota itu, sementara Palestina pada dasarnya memandang kota ini sebagai pusat kekuasaannya.

Badan Pusat Statistik Israel merilis data, di Al-Quds, terdapat 303.000 penduduk Muslim dan merupakan 35,7% dari penduduk keseluruhan di kota itu. Komunitas Muslim besar lainnya berada di Rahat (60.000; 98% dari total penduduk); Nazareth (52.000); dan Umm Al-Fahm (51.000).

Populasi Muslim di kawasan yang dijajah Israel sejak 1948 itu adalah penduduk muda. Sebanyak 36,5 persen dari mereka berusia 0-14 tahun (sekitar 530 ribu) dan hanya 3,7% yang berusia di atas 65 tahun (sekitar 53 ribu).

Secara umum, Muslim di Palestina memiliki tingkat kesuburan lebih tinggi jika dibandingkan dengan di beberapa negara Arab  termasuk Suriah (3,0), Aljazair (2,9), Saudi Arabia (2,9), Turki (2,1), dan Lebanon (1,5). Sedikitnya ada 35.970 anak-anak Muslim yang lahir di Israel pada 2014.

Dukung Palestina

KTT LB OKI yang diselenggarakan dua hari, 6-7 Maret di Jakarta harus mengupayakan hasil yang memuaskan bagi umat Islam di seluruh dunia pada umumnya dan di Palestina khususnya. Ini karena sebagian anggota OKI ada yang bertindak sebagai negara berpengaruh di kawasan Timur-Tengah, bahkan internasional, seperti Iran dan Arab Saudi. Sebab itulah hasil dari KTT LB OKI harus dijadikan sebuah langkah nyata untuk membebaskan Palestina dari belenggu penjajahan.

Selain karena seluruh anggota OKI adalah negara dengan mayoritas Islam, ditambah sebagian anggotanya adalah negara berpengaruh, di Palestina sendiri ada situs bersejarah milik umat Islam, yakni Masjid Al-Aqsha, masjid yang dibangun di kawasan Al-Quds. Bagi umat Islam sendiri, Al-Quds menjadi salah satu tempat yang banyak berkaitan dengan sejarah Islam.

Berikut adalah beberapa bukti sejarah kota Al-Quds yang berhubungan dengan ke-Islamannya, antara lain:

Peristiwa Isra Mi’raj

Al-Quran sebagai kitab suci umat Islam secara khusus menceritakan proses peristiwa Isra Mi’raj Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dalam surah Al Isra ayat pertama. Kaum Muslimin di berbagai belahan dunia, tiap tahun memperingati peristiwa Isra Mi’rajnya Rasulallah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dari Masjid Al-Haram ke Masjid Al-Aqsha, lalu mi’rajnya ke Sidratul Muntaha.

Masjid Al-Aqsha adalah kiblat pertama umat Islam, sebelum mereka beralih ke Makkah. Para shahabat Rasulallah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam senantiasa memelihara kedudukan Masjid Al-Aqsha. Demikian juga ketika Islam di masa kekhalifahan dari dua disnati, Abbasiyah maupun Umawiyah.

Hingga para salafus shalih pun menganggap Al-Aqsha sebagai kiblat pertama dan Al-Haram kedua. Ketika kaum salibis menjajah kota Al-Quds, Shalahuddin Al-Ayubi tidak pernah merasa tenang, matanya tak pernah nikmat terpejam hingga ia berusaha untuk membebaskanya dari tangan kaum salib. Ia pun mengembalikan Masjid Al-Aqsha dan Kubbah Al-Shakhra, Masjid Amr bin Ash di Mesir serta 36 masjid lainya kembali ke tangah kaum Muslimin.

Pertanyaannya sekarang, bagaimanakah kondisi Al-Aqsha yang senantiasa diperingati dan disebut-sebut oleh seluruh kaum Muslimin sedunia, setelah dijajah Zionis sejak tahun 1967, bahkan jauh sebelum itu sudah ada konspirasi yang mengepung Palestina. Konspirasi itu bertujuan untuk menguasai dan menerapkan hukum di Palestina.

Siapapun tidak boleh masuk maupun keluar Masjid Al-Aqsha tanpa izin dari pihak Zionis, walaupun ia penduduk Al-Quds, yang tinggal dan lahir di Al-Quds. Walau ia keturunaun Yabusi dan Kanani, sebagai penduduk asli Al-Quds sejak ribuan tahun silam.

Bumi para Nabi

Palestina adalah bumi penuh berkah yang Allah jadikan sebagai tempat turunnya risalah, tempat berhimpunnya kebudayaan dan sebagai tempat hijrah para nabi-Nya. Di dalamnya terdapat kiblat pertama dan tempat diisra’kannya Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, di dalamnya pula Dajjal akan binasa melalui tangan Al-Masih ‘Alaihissalam dan dibinasakannya Ya’juj dan Ma’juj.

Di dalamnya pula, bebatuan dan pepohonan akan berkata, “Wahai muslim! Wahai hamba Allah! Ini ada Yahudi di belakangku, kemarilah dan bunuhlah dia!,” maka Yahudipun akan binasa melalui tangan hamba-hamba Allah yang shalih di bumi Palestina.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pernah mengimami seluruh Nabi di Masjid Al-Aqsha, agar Imamah (kepemimpinan) di atas Masjidil Aqsha tetap langgeng, agar seluruh makhluk tunduk terhadap Islam. Selama perputaran sejarah, kerajaan-keraja­an dan negeri-negeri saling bermusuhan untuk memperebutkanny­a, mereka saling membinasakan dan mengalahkan dalam rangka menguasainya dan mendudukinya.

Dikarenakan Palestina adalah bumi yang Allah memilihnya sebagai tempat hijrah bagi khalil-Ny­a yaitu Ibrahim dan kalim-Nya yaitu Musa, sebagai tempat kelahiran Isa dan tempat isra’nya Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.

Kiblat Pertama

Sejarah penting Masjid Al-Aqsha dalam Islam juga mendapatkan penekanan lebih lanjut, karena umat Islam ketika shalat pernah berkiblat ke arah Al-Aqsha selama empat belas atau tujuh belas bulan setelah peristiwa hijrah mereka ke Madinah tahun 624.

Menurut Ath-Thabathaba’I, Allah menyiapkan umat Islam untuk perpindahan kiblat tersebut, pertama-tama dengan mengungkapkan kisah tentang Ibrahim dan anaknya Ismail, doa-doa mereka untuk Ka’bah dan Mekkah, upaya mereka membangun Baitullah (Ka’bah), serta perintah membersihkannya untuk digunakan sebagai tempat beribadah kepada Allah. Kemudian diturunkanlah ayat-ayat Al-Qur’an yang memerintahkan umat Islam untuk menghadap ke arah Masjid Al-Haram dalam shalat mereka.

Perubahan arah kiblat adalah alasan mengapa Umar bin Khattab, salah seorang Khulafaur Rasyidin, tidak shalat menghadap batu Ash-Shakhrah di Bukit Bait Suci ataupun membangun bangunan di sekitarnya, meskipun ketika Umar tiba di sana pada tahun 638 M, ia mengenali batu tersebut yang diyakini sebagai tempat Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam memulai perjalanannya naik ke Sidratul Muntaha.

Setelah arah kiblat berpindah, maka Kab’ah di Mekkah telah menjadi lebih penting daripada tempat batu Ash-Shakhrah di Bukit Bait Suci tersebut.

Berdasarkan riwayat-riwayat yang umum dikenal dalam tradisi Islam, Umar memasuki Al-Quds setelah penaklukannya pada tahun 638. Ia diceritakan bercakap-cakap dengan Ka’ab Al-Ahbar, seorang Yahudi yang telah masuk Islam dan ikut datang bersamanya dari Madinah, mengenai tempat terbaik untuk membangun sebuah masjid. Al-Ahbar kemudian menyarankan agar masjid dibangun di belakang batu Ash-Shakhrah.

Menurut Al-Ahbar, hal itu akan membuat seluruh Al-Quds berada di tangan kaum Muslimin. Namun Umar menjawab, “Ka’ab, Anda sudah meniru ajaran Yahudi”. Tetapi kemudian, segera setelah percakapan ini Umar dengan jubahnya mulai membersihkan tempat yang telah dipenuhi dengan sampah dan puing-puing tersebut.

Demikian pula kaum Muslimin pengikutnya turut serta membersihkan tempat itu. Umar kemudian mendirikan shalat di tempat yang diyakini sebagai tempat shalat Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pada saat Isra Mi’raj, dan Umar di tempat itu membacakan ayat-ayat Al-Qur’an dari Surah Shad. Oleh karenanya, berdasarkan riwayat tersebut maka Umar dianggap telah menyucikan kembali situs tersebut sebagai masjid.

Mengingat kesucian Bukit Bait Suci, sebagai tempat yang dipercayai pernah digunakan untuk berdoa oleh Ibrahim, Daud, dan Sulaiman, maka Umar mendirikan sebuah rumah ibadah kecil di sudut sebelah selatan area tersebut. Ia secara berhati-hati menghindarkan agar batu Ash-Shakhrah tidak terletak di antara masjid itu dan Ka’bah, sehingga umat Islam hanya akan menghadap ke arah Mekkah saja ketika mereka shalat.

Situs Bersejarah

Di dalam kitab tershahih kedua dan ketiga di dunia setelah Al-Quran, yaitu shahih Bukhari dan Shahih Muslim, disebutkan perintah dan anjuran bagi umat Islam sedunia untuk mengunjungi masjid itu. Tentunya juga masjid Al-Haram di Makkah dan masjid Nabawi di Madinah.

لا تشد الرحال إلا إلى ثلاثة مساجد مسجد الحرام ومسجد الأقصى ومسجدي

Artinya: “Tidaklah diupayakan untuk berkunjung kecuali kepada tiga masjid: Masjid Al-Haram, Masjid Al-Aqsha dan masjidku ini (Nabawi).” (Hr. Bukhari dan Muslim)

Kalau sekarang ini ada penjahat yang merusak dan ingin merobohkan masjid itu, tentu saja harus ditentang dan dilawan. Selain sebagai situs peninggalan bersejarah, bagi umat Islam sendiri, sekedar berkunjung ke sana sudah merupakan mengamalkan perintah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.

Belum lagi kalau kita lihat sejarah. Masjid Al-Aqsha sepanjang sejarahnya telah menjadi milik umat Islam. Dikelola dan dimakmurkan oleh umat Islam. Tidak kurang dari 15 abad lamanya. Terhitung sejak diserahkannya kunci Baitul Maqdis secara resmi oleh pemimpin tertinggi agama Nashrani saat itu kepada khalifah yang agung, Umar bin Al-Khattab radhiyallahu ‘anhu. Kejadian itu pada tahun ke-15 hijriyah, atau 5 tahun setelah wafatnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.

Sejak saat itu hingga abad 20 ini, Masjid Al-Aqsha milik umat Islam 100%. Diakui secara de Facto dan de Jure. Adapun penjahat perang Yahudi baru kemarin sore pada tahun 1948, merebutnya dari tangan umat Islam yang sedang lengah.

Aman di bawah Pemerintahan Islam

Sejak era khalifah Umar bin Al-Khattab mengambil alih Masjid Al-Aqsha, sekitar tahun 368 M hingga akhir pemerintahan Turki Utsmani pada 1923, Masjid Al-Aqsha selalu berada dalam situasi yang aman. Hal yang berbeda terjadi ketika konspirasi internasional mengukuhkan runtuhnya Turki Utsmani di tahun itu. Sejak saat itulah, kaum Yahudi di Eropa berbondong-bondong datang ke Palestina yang sebelumnya aman di bawah kendali pemerintahan Islam.

Pada tahun 1948, David Ben Gurion memproklamirkan berdirinya negara Israel yang mencaplok tanah Palestina. Tidak hanya itu, bahkan Zionis yang telah kuat mengakar di Palestina sudah berani mengusir si empunya tanah Palestina. Ratusan ribu orang Palestina diusir dari tanahnya, dari tempat tinggalnya dan dari tanah kelahirannya. Padahal selama 13 abad lamanya Palestina dan Masjid Al-Aqsha aman di bawah kendali pemerintahan Islam.

Sebab-sebab dan beberapa hal tentang sejarah panjang Al-Quds dan Islam yang begitu kental dan panjang yang telah penulis sebutkan itulah yang kemudian menjadikan masyarakat Muslim berharap banyak dengan hasil KTT LB OKI yang sedang berlangsung. Wallahul Musta’an (P011/R03-P2)

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Wartawan: Rendi Setiawan

Editor: Widi Kusnadi

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.