Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Antara Perjanjian Hudaibiyah dan Gencatan Senjata di Gaza

Redaksi Editor : Widi Kusnadi - 6 menit yang lalu

6 menit yang lalu

3 Views

Salah satu demo menuntut "Gencatan Senjata Gaza", (Foto: Middle East Monitor)

Oleh Imaam Yakhsyallah Mansur

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

اِنَّا فَتَحْنَا لَكَ فَتْحًا مُّبِيْنًاۙ ۝١ لِّيَغْفِرَ لَكَ اللّٰهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْۢبِكَ وَمَا تَاَخَّرَ وَيُتِمَّ نِعْمَتَهٗ عَلَيْكَ وَيَهْدِيَكَ صِرَاطًا مُّسْتَقِيْمًاۙ ۝٢ وَّيَنْصُرَكَ اللّٰهُ نَصْرًا عَزِيْزًا ۝٣ (الفتح [٤٨]: ١ــ٣)

Baca Juga: Perdamaian di Gaza, Antara Asa dan Realita

“Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata [1] agar Allah memberikan ampunan kepadamu terhadap dosamu yang telah lalu dan yang akan datang, menyempurnakan nikmat-Nya atasmu, dan menunjukimu ke jalan yang lurus, [2] serta menolongmu dengan pertolongan yang kuat.” (QS. Al-Fath [48]: 1–3)

Para ulama ahli tafsir menjelaskan, ayat di atas turun usai peristiwa Hudaibiyah pada bulan Dzulqa’dah tahun ke-6 Hijriyah. Rasulullah ﷺ bersama sekitar 1.400 sahabat berangkat dari Madinah menuju Makkah untuk menunaikan umrah.

Namun, ketika sampai di wilayah Hudaibiyah (± 22 km dari Makkah) perjalanan itu dihadang oleh kaum Quraisy yang menolak kedatangan mereka. Padahal, belum pernah terjadi sebelumnya, sejak ibadah haji dan umrah disyariatkan Allah Ta’ala, pelarangan ibadah haji dan umrah oleh siapa pun.

Setelah ketegangan dan perundingan panjang terjadi, kedua pihak (kaum Muslimin dan Quraisy) sepakat menandatangani sebuah perjanjian damai yang kemudian dikenal dengan Perjanjian Hudaibiyah. Isi perjanjian itu adalah:

Baca Juga: Ketika Sumud Flotilla Tak Sampai Gaza

Pertama, kedua belah pihak sepakat untuk melakukan gencatan senjata selama sepuluh tahun. Selama masa itu, tidak boleh ada peperangan atau permusuhan antara kaum Muslimin dan Quraisy. Masa damai ini memberikan kesempatan bagi umat Islam untuk hidup dengan aman, menyebarkan dakwah tanpa gangguan, dan membangun kekuatan dari dalam Madinah.

Kedua, perjanjian itu menetapkan bahwa setiap kabilah di Jazirah Arab bebas menentukan pihak mana yang ingin mereka bela atau bergabung dengannya, baik dengan Rasulullah ﷺ maupun dengan Quraisy. Dengan demikian, terbentuklah blok-blok kekuatan yang diatur secara damai dan terbuka.

Ketiga, siapa pun dari Quraisy yang datang ke pihak Rasulullah ﷺ tanpa izin walinya, harus dikembalikan ke Makkah. Namun, jika ada orang dari pihak Muslim yang datang ke Quraisy, mereka tidak wajib mengembalikannya. Sekilas, klausul ini tampak berat sebelah dan merugikan umat Islam, namun Rasulullah ﷺ menerimanya dengan sabar dan penuh hikmah, karena beliau melihat manfaat jangka panjang dari perdamaian itu.

Keempat, Rasulullah ﷺ dan para sahabat tidak diizinkan menunaikan umrah pada tahun itu. Mereka harus kembali ke Madinah tanpa memasuki Makkah. Sebagai gantinya, kaum Muslimin diperbolehkan datang kembali pada tahun berikutnya untuk melaksanakan umrah, dengan syarat mereka hanya tinggal di Makkah selama tiga hari dan membawa senjata ringan untuk perlindungan diri, tanpa menunjukkan kekuatan perang. Kaum Quraisy pun berjanji akan keluar dari Makkah selama tiga hari tersebut untuk memberi ruang bagi kaum Muslimin melaksanakan ibadah mereka.

Baca Juga: Mewaspadai Parasit Bani Israil dalam Tubuh Kaum Muslimin

Kelima, kedua belah pihak bersepakat untuk tidak mengkhianati perjanjian dan menjaga keamanan wilayah masing-masing. Tidak boleh ada tipu daya, pelanggaran, atau bantuan kepada musuh dari pihak mana pun. Komitmen terhadap kejujuran dan keamanan ini menjadi dasar terciptanya ketenangan di Jazirah Arab setelah bertahun-tahun dilanda konflik.

Meski terlihat menguntungkan pihak Quraisy, namun Rasulullah ﷺ menerima perjanjian itu atas petunjuk Allah Subhanahu wa Ta’ala, untuk menunjukkan bahwa misi syariat Islam bukanlah peperangan, melainkan perdamaian. Sebagaimana niat awal, Rasulullah ﷺ datang ke Makkah tanpa niat berperang, tetapi hanya ingin menunaikan ibadah.

Maka, dalam dua tahun setelah perjanjian itu, jumlah kaum Muslimin meningkat pesat. Data menunjukkan jumlah kaum Muslimin yang mengikuti kafilah Rasulullah ﷺ pada Fathul Makkah berjumlah sedikitnya 12.000 orang (sebelum perjanjian Hudaibiyah hanya 2.000 orang).

Bahkan, setelah perjanjian Hudaibiyah, banyak tokoh-tokoh Quraisy yang akhirnya memeluk Islam, seperti: Khalid bin Walid, Amru bin Ash, Utsman bin Thalhah, Suhail bin Amr (negosiator Quraisy), Abu Sufyan bin Harb dan lainnya.

Baca Juga: Global Sumud Flotilla, Napak Tilas Perjuangan Sahabat Bebaskan Masjidil Aqsa

Hikmah dari perjanjian itulah yang membuka jalan Fathu Makkah (pembebasan kota Makkah) yang menjadi simbol kemenangan dakwah dan tegaknya kemuliaan Islam di seluruh jazirah Arab.

Imam Ibn Katsir Rahimahullah menjelaskan, kemenangan yang dimaksud pada ayat di atas bukanlah kemenangan di medan tempur, melainkan kemenangan dalam dakwah. Melalui perjanjian Hudaibiyah itu, Rasulullah ﷺ mendapat ruang aman untuk menyebarkan Islam ke berbagai kabilah Arab tanpa gangguan.

Fathan Mubinan bukan berarti menaklukkan sebuah kota atau bangsa, melainkan kemenangan dalam keteguhan dan kesabaran. Rasulullah ﷺ mengajarkan, bahwa dalam perjuangan, kadang kita harus berhenti sejenak bukan karena lemah, tetapi karena Allah Ta’ala tengah menyiapkan kemenangan yang lebih besar.

Gencatan Senjata Bukan Akhir Derita

Baca Juga: Nabi Musa Pembebas Bani Israil, Menuju Tanah yang Disucikan

Setiap kali kata gencatan senjata antara Israel dengan Palestina diucapkan, dunia seakan bernafas lega. Namun, di balik itu, sesungguhnya masih bergemuruh kecemasan yang mendalam. Sebab bagi rakyat Palestina, gencatan senjata bukanlah akhir dari derita, melainkan hanya jeda dari penderitaan panjang yang seakan tak kunjung usai.

Dunia internasional kerap menyambut kesepakatan gencatan senjata dengan sorak dan optimisme. Padahal sejarah mencatat, hampir setiap kali kesepakatan itu diumumkan, luka yang belum kering di badan dan reruntuhan bangunan belum sempat dibersihkan, Israel sudah kembali melanggar perjanjian.

Di sinilah letak paradoks tragis yang terus berulang di Palestina, bumi para nabi itu. Sebuah kesepakatan perdamaian yang selalu dilanggar oleh Zionis Israel dan Dunia hanya diam seribu bahasa. Mengapa Dunia tidak bertindak seperti halnya terhadap Hitler di Jerman dan Jepang pada Perang Dunia II?

Kesepakatan gencatan senjata yang kini berlaku di Jalur Gaza sesungguhnya bukan yang pertama, dan barangkali juga bukan pula yang terakhir. Sejak awal berdirinya entitas Zionis pada 1948, berbagai kesepakatan telah dibuat, dari Perjanjian Oslo, Madrid, Camp David, hingga berbagai perjanjian yang dimediasi Mesir dan Qatar. Namun, semua itu tidak pernah dipatuhi Zionis Israel.

Baca Juga: 5 Keutamaan Membaca Shalawat Atas Nabi

Itulah mengapa banyak tokoh dan pengamat internasional melihat dengan skeptis gencatan senjata kali ini. Dalam praktiknya, Zionis tetap berusaha mengontrol perbatasan, membatasi bantuan kemanusiaan dan meneruskan blokade Gaza.

Meski demikian, di balik kerentanan itu, gencatan senjata selalu memiliki sisi lain yang sering luput dari perhatian. Gencatan senjata mendorong bantuan kemanusiaan untuk dapat masuk ke Gaza. Ia memberi harapan bagi anak-anak yang kehilangan keluarga, bagi warga untuk sekadar menjenguk puing-puing bangunan rumahnya, bagi rumah-rumah sakit untuk melanjutkan pelayanannya, walau dengan segala keterbatasannya.

Bagi para pejuang Palestina, mereka memahami bahwa perlawanan tidak selalu berarti terus menggunakan senjata, tetapi juga menunggu waktu yang tepat. Karena dalam perang yang panjang dan melelahkan ini, setiap jeda adalah ruang untuk mengatur kembali napas perjuangan.

Namun yang paling penting, gencatan senjata — betapapun rapuhnya — memberi dunia kesempatan untuk merenung bahwa Zionis Israel adalah sumber berbagai krisis di dunia, khususnya di Palestina.

Baca Juga: Kesombongan yang Menyamar Jadi Kebaikan

Dari Hudaibiyah ke Gaza, Hikmah di Balik Sebuah Perjanjian

Bagi umat Islam, setiap peristiwa harus dilihat bukan hanya dari yang tampak saja, tetapi juga dari hikmah yang tersembunyi di baliknya. Dalam konteks ini, gencatan senjata antara Zionis Israel dan Palestina mungkin bisa dimaknai seperti Perjanjian Hudaibiyah, yang tampak merugikan umat Islam, namun justru menjadi pintu kemenangan besar.

Pada ayat di atas, Allah Ta’ala menegaskan bahwa perjanjian Hudaibiyah bukan kekalahan, melainkan sebuah kemenangan, yaitu dengan terbukanya jalan dakwah, tersebarnya risalah Islam secara damai, dan manusia berbondong-bondongnya memeluk Islam. Inilah kemenangan hakiki yang hanya dapat dilihat dengan pandangan iman.

Pelajaran inilah yang perlu direnungkan dalam konteks Gaza hari ini. Mungkin, bagi sebagian orang, kesepakatan gencatan senjata terasa seperti kompromi yang melemahkan semangat perlawanan. Namun, kita berharap, di balik jeda ini, Allah Ta’ala sedang menyiapkan kemenangan yang lebih besar — kemenangan yang tidak hanya lahir dari senjata, tetapi juga dari keteguhan, kesabaran, dan kebijaksanaan.

Baca Juga: Menempatkan Seseorang Sesuai Bidangnya

Gencatan senjata bisa menjadi momentum introspeksi bagi umat Islam di manapun berada. Di saat tidak ada serangan, ada ruang untuk memperkuat solidaritas, membangun kembali jaringan kemanusiaan, menyatukan visi perjuangan dan menata strategi diplomatik. Karena kemenangan tidak hanya ditentukan oleh kekuatan militer, tetapi juga oleh kekuatan moral dan kesatuan umat.

Demikian pula bagi rakyat Palestina, kesepakatan gencatan senjata ini — meski terasa pahit dan tidak adil — diharapkan menjadi bagian dari rencana Ilahi yang jauh lebih luas. Allah Ta’ala sedang menguji, siapa yang tetap teguh dalam kesabaran dan siapa yang menyerah dalam kepahitan.

Gencatan senjata di Gaza kali ini, betapa pun rapuh dan sarat kecurigaan, tetaplah memberi makna mendalam. Ia mengingatkan dunia bahwa di balik setiap jeda peperangan, ada manusia-manusia yang sedang berusaha bertahan hidup, ada doa yang dipanjatkan, ada ibu-ibu yang masih menimang anaknya, memimpikan hari ketika langit Gaza benar-benar bersih dari pesawat tempur dan rudal-rudal mematikan.

Dari gencatan senjata saat ini, kita berharap dapat membuahkan hikmah seperti perjanjian Hudaibiyah yang memberikan kemenangan gilang gemilang bagi umat Islam.  Kesepakatan saat ini kiranya dapat menjadi salah satu momentum penting menuju kemerdekaan Palestina dan pembebasan Masjid Al-Aqsa (Fathul Aqsa) yang sempurna.

Baca Juga: Al-Aqsa Episentrum Peradaban Umat Islam 

Al-Aqsa Haqquna.

وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ

 Mi’raj News Agency (MINA) 

Baca Juga: 3 Warisan Nabi Adam untuk Menghidupkan Iman dan Perjuangan

Rekomendasi untuk Anda