Antara Sepakbola, Mudik dan I’tikaf

Oleh: Ali Farkhan Tsani, Redaktur Senior Kantor Berita Islam MINA (Mi’raj Islamic News Agency)

Sedikitnya ada tiga kegiataan massal yang beriringan berlangsung pada bulan Ramadhan tahun ini, dengan skema berbeda. Pertama, kejuaraan Piala Eropa (Euro) 2016, yang berlangsung di Prancis, 11 Juni sampai dengan 11 Juli 2016. Ini bertepatan dengan tanggal 6 Ramadhan sampai 6 Syawal 1437.

Tentu ini menimbulkan masalah yang sedikit menantang bagi banyak pemain Muslim. Faktanya, banyak dari mereka memilih untuk menunda puasa setelah turnamen selesai. Banyak nama besar pemain yang bersaing di turnamen tahun ini adalah Muslim, seperti Paul Pogba, Emre Can, Sami Khedira dan Mesut Özil, belum lagi beberapa pemain di tim nasional Turki, Albania dan Swiss.

Sebagian besar di antara mereka ternyata memang memilih tidak berpuasa dan akan menggantinya pada bulan lain.

Asosiasi sepakbola Jerman pernah berkonsultasi dengan ulama Islam di Universitas Al-Azhar, salah satu otoritas terkemuka di kalangan umat Islam. Dan ulama Al-Azhar memutuskan bahwa pengecualian bisa diberikan kepada atlet profesional selama Ramadhan untuk tidak berpuasa.

Fatwa ini telah dipakai oleh banyak pemain Muslim yang mengungkapkan bahwa mereka tidak akan berpuasa Ramadhan selama turnamen berlangsung.

Pemain Muslim di tim Blues Prancis, walaupun tidak dalam bepergian, mereka mengatakan tidak berpuasa selama turnamen, karena mereka bertujuan untuk memastikan bahwa penampilan mereka tetap fit.

Demikian juga, pemain Muslim di tim Belgia, seperti Mousa Dembele dan Marouane Fellaini, mengatakan pula, mereka akan mengganti puasa setelah Ramadhan.

Tim nasional Turki pun telah memutuskan untuk tidak berpuasa, menurut pelatih kepala Fatih Term.

Menurut pendapat penulis, itu semua sebenarnya akan sangat tergantung pada pemain itu sendiri dalam mengikuti aturan Islam.

Sebab, ada juga yang mengatakan bahwa memang diperbolehkan untuk menunda puasa dalam udzur. Namun ini hanya permainan, sehingga tidak pas menerapkannya.

Menurut ajaran Islam hanya mereka yang bepergian, sakit atau hamil saja yang boleh menginggalkan berpuasa.

Abdul Bari Zamzami, Ketua Perkumpulan Maroko meneliti peraturan Islam untuk menjawab pertanyaan apa pemain bola muslim boleh tidak berpuasa. Ia berkesimpulan bahwa pemain boleh meninggalkan puasa.

“Bagi yang tidak setuju saya tantang untuk bermain bola seperti yang dilakukan para pemain itu. Lihat saja apa kata mereka,” ujarnya pada Khazanah Republika.

Menurut Zamzami, apabila puasa bisa mengganggu prestasi para pemain maka mereka bisa memutuskan untuk tidak puasa. Tapi, keputusan ada pada para pemain itu sendiri.

Berbeda dengan negara-negara Eropa lainnya, klub sepak bola Belanda lebih toleran terhadap para pemain bola yang berpuasa. Di Liga Belanda ada lebih 40 pemain sepak bola muslim, kebanyakan keturunan Maroko.

Klub-klub Belanda tidak melarang pemain untuk berpuasa. Beberapa bahkan menyesuaikan jadwal latihan. Mereka juga memberikan informasi tentang bulan khusus ini.

Bahkan, pada tahun 2007 klub PSV Eindhoven menggelar seminar dengan tema “Ramadhan dan Top Sport” yang dihadiri imam, dokter dan spesialis.

Bagi pemain asal Mali, Frederic Kanoute menyatakan, bahwa dirinya tetap menjalankan ibadah puasa penuh di bulan Ramadhan. Baginya, puasa sambil bertanding merupakan “ujian keimanan”.

Kendati puasa menimbulkan pro dan kontra bagi pemainnya sendiri, penelitian secara ilmiah tidak menunjukkan adanya pengaruh besar antara puasa dan penampilan di atas lapangan.

Studi puasa dan sepakbola, seperti dilansir Liputan 6,  mulai digalakkan pada 2011. Dr Yacine Zerguini, salah seorang konsultan sekaligus ahli bedah ortopedi menyatakan, tidak mudah menjawab hubungan puasa dan sepakbola. “Hasil penelitian ini sangat unik,” kata Zerguini.

Kesimpulannya, kata Zerguini, setiap kasus harus diperlakukan secara individual. Dia mengingatkan, sangat mungkin efek Ramadhan terkait dengan kualitas spiritual dan kemampuan atlet. “Iman dan kepercayaan adalah faktor terbesar,” ucapnya.

Maksudnya, dia melanjutkan, bila pemain percaya puasa tidak akan menimbulkan dampak buruk terhadap kinerja di lapangan, tentu tidak akan masalah. Sebaliknya, kalau ragu, si pemain lebih baik makan.

Karena masalah puasa menyangkut keimanan seorang, tidak aneh bila pelatih Timnas Aljazair di Piala Dunia 2014, Vahid Halilhodzic sempat membentak media yang meributkan pro dan kontra pemain Aljazair yang memilih berpuasa jelang laga kontra Jerman di perdelapan final Piala Dunia.

Kedua, kegiatan serentak pada bulan Ramadhan, wabil khusus di Indonesia, mayoritas di Pulau Jawa, adalah lebaran setahun sekali.

Jutaan warga yang memiliki kampung halaman di Jawa, memiliki tradisi turun-temurun, unik, bahkan dianggap ‘wajib’ hukumnya pulang kampung pada momentan Lebaran Idul Fitri.

Penulis bertemu dengan kenalan di Jakarta Barat, yang hendak mudik tahun ini, katanya ia dan keluarganya akan mudik ke Jawa Timur, dan sudah memesan tiket via online tiga bulan sebelum Ramadhan.

“Kalau pesan bulan Ramadhan, sudah habis,” ujarnya.

Lainnya, ada yang harus merogoh kantongnya lebih dalam untuk menyewa mobil rental. Angkot pun jadi, naik kendaraan terbuka oke, dan bahkan ada yang nekad sekeluarga, ayah-ibu-anak, naik motor menempuh jarak ribuan kilometer Jakarta-Jatim.

Itu karena dorongan kuat arus mudik, seperti kuatnya dorongan orang-orang menonton bola semalaman sampai pagi pada Euro 2016 di Ramadhan ini. Tak peduli dengan berkurangnya tadarus Al-Quran dan shalat tarawih malam itu. Hingga terbengkalainya shalat shubuh berjamaah di masjid. Astaghfirullaah.

Ketiga, momen berjamaah di akhir Ramadhan adalah i’tikaf, di mana kaum Muslimin berbondong-bondong memasuki masjid-masjid Allah, menambah amal ibadah sampai menjelang Idul Fitri.

Namun, kegiatan ini tidak sesemarak Euro 2016 dan arus mudik Lebaran. Di beberapa masjid, memang tetap istiqamah dengan adanya kaum Muslimin yang melaksanakan i’tikaf di dalamnya. Walau tidak sebanyak jamaah shalat fardhu. Namun di tempat lainnya mulai sepi, karena ditinggalkan warganya yang menonton pertandingan sepakbola Piala Eropa dan Mudik Lebaran.

Sungguh ironi bagi sebagian Muslim memang, Ramadhan dengan berbagai kemuliaan dan keutamaannya, ternyata belum cukup memberikan daya dorong umat untuk meraihnya.

Keprihatinan itu muncul di jejaring sosial, dalam sebuah puisi, yang kemudian Penulis edit dan gubah lagi dalam judul “Saudaraku, sebentar lagi aku akan pergi”.

Sudah hampir setengah bulan aku bertamu, namun seringkali aku ditinggal sendirian. Walau aku sering dikatakan istimewa namun perlakuanmu tak luar biasa terhadapku. Oleh-olehku nyaris tak kau sentuh…

Al-Quran hanya dibaca sekilas, kalah dengan update status dan tontonan bola.
Shalatmu pun sudah tak lebih khusyu, kalah bersaing dengan ingatan akan lebaran, baju baru, mudik,…..

Kamu juga tak terlalu banyak minta ampunan kpd Allah, karena sibuk menumpuk harta demi THR dan shopping. Malam dan siangmu pun tak banyak dipakai berbuat kebajikan, kalah dengan bisnis yang sedang panen saat Ramadhan. Tak pula banyak kau bershadaqah, karena khawatir tak cukup buat mudik dan liburan.

Saudaraku, aku seperti tamu yang tak diharapkan. Hingga, sepertinya kau tak kan menyesal kutinggalkan. Padahal aku datang dengan kemuliaan, seharusnya tak pulang dengan kesia-siaan.

Aku sebentar lagi pergi dan belum tentu kan kembali datang padamu. Sehingga seharusnya kau menyesal telah menelantarkanku.

Masih ada sekitar setengah bulan lagi kita bersama. Semoga kau sadar sebelum aku benar-benar pergi…

“Karena umurmu hanyalah cerita singkat yang akan dipertanggungjawabkan dengan panjang”. Ramadhanmu.

Teladan Nabi dan Orang-Orang Shalih

Sungguh sangat jauh dengan kebiasaan, amaliyah dan aktivitas Nabi Shallallah ‘Alaihi Wasallam, bersama sahabat-sahabatnya, yang diikuti kemudian oleh orang-orang shalih, para pejuang di jalan Allah, dan para syuhada. Yakni, mereka memang menyediakan waktu khusus sepuluh hari yang akhir di bulan Ramadhan, dalam setahun 365 hari, untuk beri’tikaf di masjid.

Kecintaannya, kerinduannya, bakti dan taatnya, serta takwa dan takutnya, kepada Sang penciptanya, telah memberikan dorongan dalam jiwanya untuk tersungkur dalam nuansa i’tikaf.

Beberapa warga Muslim yanag pernah Penulis temui, di beberapa tempat kompleks (riyasah) warga Jama’ah Muslimin (Hizbullah) di Cileungsi (Bogor, Jabar), Muhajirun (Lampung), Margasari (Tegal, Jateng), Wiradesa (Pekalongan, Tegal), sebagian besar dari mereka khusus menyediakan waktu 10 hari di akhir Ramadhan untuk beri’tikaf di masjid.

Mereka ingin meraih keutamaan Ramadhan secara maksimal dan paripurna, di detik-detik Lailatul Qadar turun membawa berkah, di ujung final Ramadhan. Mereka ingin menjadi juara di bulan Ramadhan, dan meraih tropi ‘Taqwallah’. Dan, lawan kuat yang harus dihadapi tidak tanggung-tanggung, adalah Piala Eropa dan Mudik Lebaran. Dapatkah kita memenangkannya ??? (P4/P2)

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.