Oleh: Nana Sudiana, Sekjen FOZ dan Direksi IZI)
“Tentang rasa, tak semua harus diterka. Perihal hidup, tentu nyala-nya tak boleh redup” (Escapist E)
Ada beragam rasa kala seseorang menjalani hidup sebagai amil. Rasa bangga, bahagia, sekaligus sedih dan duka. Ibarat permen, mungkin layaknya permen nano-nano. Gula-gula kesukaan anak-anak dengan beragam rasa dalam satu bungkus yang sama.
Disebut mudah, sebenarnya tak mudah. Disebut susah, juga tidak. Menjadi amil sejatinya bukan pilihan sederhana.
Baca Juga: Wawancara Eksklusif Prof. Anbar: Pendidikan Jaga Semangat Anak-Anak Gaza Lawan Penindasan
Budi, Amil Baru
Budi adalah amil baru yang belum lama bergabung di sebuah organisasi pengelola zakat yang belum lama lulus masih idealis dan belum sepenuhnya tahu dunia zakat. Ia juga punya banyak mimpi akan masa depan di Lembaga zakat, tak sepenuhnya gadaikan harapannya. Kemudian sambil mencari peluang kerjaan yang lebih baik.
Dalam menjalani hari-harinya, Budi butuh terus belajar, juga rela mengeja berbagai situasi dengan penuh kesabaran. Ia juga harus senantiasa bersiapsiaga, karena posisinya rentan tergantikan, apalagi belum ada keahlian khusus yang dimiliki. Terlebih pendatang baru, ia harus lebih rajin bekerja, juga menjalin pertemanan dengan yang lebih tua.
Amil baru butuh tenaga lebih bila ingin maju. Walau pada awalnya membutuhkan fisik yang prima dan tahan banting agar mulus Ketika melewati tahapan adaptasi, namun secara perlahan, ia wajib pintar. Ini diperlukan agar ia tak melulu bekerja hanya dengan mengandalkan tenaga fisik semata.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-9] Jalankan Semampunya
Amil Dua, Iwan (Supervisor)
Iwan mewakili sosok di elemen tengah organisasi, dengan pengalaman, yang juga didukung latar belakang pendidikan yang menunjang, ia semakin punya akar dalam bekerja, juga dalam posisinya di kantor. Walau ia tak lagi ada di level terbawah sebuah hierarkies, namun tetap saja tak mudah menjalaninya. Dalam posisi dirinya, Iwan punya beban dari atas, padahal saat yang sama, ada pula aspirasi, bahkan tuntutan dari bawah.
Posisi Iwan layaknya hulubalang barisan keprajuritan. Ia harus lincah, maju mundur dan bergerak luwes ke kanan dan kiri pasukan. Ia juga harus pandai menjelaskan sesuatu, dan tetap mampu menjaga keseimbangan perasaan. Tegas tapi ramah, ramah tapi tapi tak terkesan main-main. Susah sekali bukan?.
Menjadi Iwan, juga harus mampu berdiri ditengah. Kadang berperan sebagai motivator, membagikan semangat dan optimisme pada tim dan lingkungaan disekitarnya. Kadang pula harus tegas bila ada potensi tak sesuai aturan. Mengendalikan dua situasi dalam sosok Iwan tentu saja butuh kemampuan dasar kepemimpinan.
Baca Juga: Wawancara Eksklusif Prof El-Awaisi: Ilmu, Kunci Pembebasan Masjid Al-Aqsa
Amil Tiga, Agus (Manajer)
Untuk sampai ke level ini butuh jalan Panjang. Juga pembuktian kemampuan serta loyalitas terhadap organisasi. Lamanya bekerja, kadang tak menjamin kenaikan jenjang hingga posisi ini. Agus dan amil-amil di posisi yang selevel dengannya harus sadar bahwa posisi yang ia duduki ibarat kursi panas. Amat tergantung dari bagaimana ia duduk dan berperan di posisinya.
Tak ada batas aman, juga jaminan pasti lebih nyaman. Agus juga harus paham, bahwa di posisi yang ia pegang, ada kunci-kunci yang ia lewati dan berhasil ia buka pada setiap etape-nya.
Menjadi baik, lalu bekerja dengan keras bukanlah cara terbaik di posisi Agus. Yang justru ia harus lakukan adalah menjadi sel kuat yang akan menopang keberhasilan organisasi. Agus harus bersiap menjadi tulang punggung yang menguatkan cita-cita organisasi, walau sesulit apapun.
Baca Juga: Amalan Sunnah pada Hari Jumat
Amil di level ketiga, beban-nya semakin banyak dan bisa jadi semakin membuat tak nyaman. Di level ini, kesalahan tim akan bergeser menjadi kesalahan pimpinan. Tak ada prajurit yang salah, yang salah adalah pimpinannya. Dengan risiko yang semakin besar, wajar amil pada level ini diberi remunerasi yang lebih dari yang lainnya.
Ia harus diberikan apresiasi dan penghargaan atas kiprahnya walau mungkin hanya dilebihkan kafalahnya sedikit lebih banyak dari yang lain. Hal ini tak lain agar terlihat bagaimana organisasi memberikan penghargaan yang proporsional.
Amil Empat, Tris (Direksi)
Tris mewakili sedikit orang di dunia zakat. Ia kini berposisi sebagai salah satu direksi atau Board of Director (BOD). Posisi ini walau namanya sama, tentu saja berbeda kondisinya bila dibandingkan dengan sebuah perusahaan. Ada proses panjang yang harus dilewati Tris untuk bisa duduk sebagai bagian penting organisasi.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-8] Mengajak Kepada Kalimat Syahadat
Sebagaimana kita tahu, bahwa seorang direksi merupakan organ penting yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengelolaan semua urusan organisasi.
Selain harus bekerja lebih keras dan sungguh-sungguh, serta harus kreatif dan inovatif, seorang direksi wajib tunduk pada ketentuan peraturan perundang-undangan atau regulasi yang berlaku. Semua aturan dan tata kelola perzakatan harus dirujuk dan dijadikan bagian dari aktivitas lembaga. Tris juga sebagai direksi harus berusaha meningkatkan efisiensi dan efektivitas lembaga.
Oleh sebab itu, seorang direksi dalam organisasi pengelola zakat haruslah menjalankan jabatannya secara hati-hati dan dengan iktikad baik dan penuh kesungguhan. Jangan sampai ia tergoda untuk memajukan dan mengembangkan lembaga namun justru malah bisa merusak dan merugikan organisasi. (A/R8/RS2)
Mi’raj Newa Agency (MINA)
Baca Juga: Tertib dan Terpimpin