Oleh: Rudi Hendrik, jurnalis Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Pada Ahad tanggal 12 April 2015, Paus Francis mengatakan, genocida pertama abad ke-20 dialami bangsa Armenia yang dilakukan oleh Kesultanan Ottoman Turki pada April 1915.
Pernyataan itu menyebabkan Turki memanggil pulang duta besarnya di Vatikan untuk konsultasi dan juga memanggil utusan Vatikan di Ankara untuk minta penjelasan.
Paus membuat pernyataan tersebut dalam sebuah Misa dalam ritus Katolik Armenia di Basilika Santo Petrus, di mana Presiden Armenia Serzh Sargsyan juga hadir.
Baca Juga: Pengungsi Sudan Menemukan Kekayaan Di Tanah Emas Mesir
Pernyataan pemimpin tertinggi umat Katholik itu mendapat kritik keras dari pemerintah dan bangsa Turki.
Perdana Menteri Turki Ahmet Davutoglu mengatakan, pernyataan itu bukan hanya tentang salah membaca sejarah, tetapi juga “memberikan jalan untuk tumbuhnya rasisme di Eropa”, serta menuduh Turki dan Muslim melakukan kejahatan kolektif.
Namun dua hari kemudian, Parlemen Eropa justeru sepakat melabeli peristiwa 1915 sebagai “genosida” terhadap bangsa Armenia.
Peristiwa 1915 versi Armenia, Eropa dan Barat
Baca Juga: Terowongan Silaturahim Istiqlal, Simbol Harmoni Indonesia
Ketika Perang Dunia I pecah mengarah kepada konfrontasi antara Kekaisaran Ottoman dan Kekaisaran Rusia di Kaukasus dan Kampanye Persia, pemerintah baru di Istanbul mulai memandang bangsa Armenia dengan ketidakpercayaan dan kecurigaan. Ini terjadi karena di dalam Tentara Kekaisaran Rusia terdapat kontingen relawan Armenia.
Pada 24 April 1915, sebanyak 250 intelektual Armenia ditangkap oleh pihak berwenang Ottoman dan dengan UU Tehcir (29 Mei 1915), akhirnya sebagian besar orang Armenia yang tinggal di Anatolia tewas yang kemudian oleh Eropa dan Barat disebut sebagai “Genosida Armenia”.
Genosida dilaksanakan dalam dua tahap. Pertama, pembunuhan grosir penduduk laki-laki berbadan sehat dengan cara pembantaian dan wajib militer untuk kerja paksa. Kedua, disusul dengan deportasi perempuan, anak-anak, orang tua dan lemah dengan digiring massal menuju gurun Suriah.
Dalam pengawalan militer Ottoman, etnis Armenia yang dideportasi tidak diberi makanan dan air, juga mengalami perampokan berkala, pemerkosaan, dan pembunuhan massal.
Baca Juga: Bukit Grappela Puncak Eksotis di Selatan Aceh
Peristiwa 1915-1917 dianggap oleh bangsa Armenia dan sebagian besar sejarawan Barat adalah pembunuhan massal yang disponsori negara atau genosida.
Genosida Armenia diakui telah menjadi salah satu genosida modern pertama. Menurut penelitian yang dilakukan oleh sejarawan Arnold J. Toynbee, diperkirakan 600.000 orang Armenia tewas dalam deportasi 1915-16. Angka ini, bagaimanapun, hanya tahun pertama genosida dan tidak memperhitungkan mereka yang meninggal atau dibunuh setelah laporan itu disusun pada 24 Mei 1916.
The International Association of Genocide Scholars menempatkan korban tewas lebih dari satu juta. Jumlah orang yang tewas paling banyak diperkirakan antara 1 hingga 1,5 juta.
Selama lebih 30 tahun, Armenia dan diaspora Armenia telah berkampanye untuk mendapatkan pengakuan resmi dari peristiwa itu sebagai genosida. Peristiwa ini secara tradisional diperingati setiap tahun pada tanggal 24 April, Hari Martir Armenia atau Hari Genosida Armenia.
Baca Juga: Masjid Harun Keuchik Leumik: Permata Spiritual di Banda Aceh
Peristiwa 1915 versi media Turki, Anadolu Agency
Perang Dunia I adalah bencana global yang menyebabkan 15 juta orang tewas dan 20 juta terluka.
Kekaisaran Ottoman, Austria-Hungaria dan Rusia runtuh di mana batas-batas wilayah kekuasaan mereka dipetakan.
Jutaan orang harus meninggalkan rumahnya, tragedi global menimpa rakyat Kekaisaran Ottoman, termasuk bangsa Armenia di dalamnya.
Baca Juga: Temukan Keindahan Tersembunyi di Nagan Raya: Sungai Alue Gantung
Selama perang, sekelompok nasionalis Armenia mengambil keuntungan dari fakta bahwa pasukan Ottoman dan Rusia sedang berperang satu sama lain, tetapi mereka bekerja sama dengan tentara Rusia dengan tujuan menciptakan tanah air etnis Armenia yang homogen.
Ketika tentara Rusia menyerbu Anatolia Timur, beberapa relawan unit Armenia di Rusia dan Kekaisaran Ottoman mendukung invasi. Bahkan beberapa pejabat Armenia di tentara Ottoman berkhianat dan bergabung dengan tentara Rusia melawan Turki.
Beberapa kelompok bersenjata Armenia membantai warga sipil selama invasi Rusia.
Sebagai tanggapan, pemerintah Ottoman berusaha meyakinkan wakil Armenia dan pemimpinnya untuk menghentikan kekerasan, namun tanpa hasil yang menguntungkan.
Baca Juga: Kisah Perjuangan Relawan Muhammad Abu Murad di Jenin di Tengah Kepungan Pasukan Israel
Pemerintah kemudian memutuskan untuk menutup Komite Revolusioner Armenia dan menangkap atau mendeportasi beberapa tokoh terkenal pada 24 April 1915, tanggal yang diperingati sebagai “Genosida Armenia” oleh bangsa Armenia di kemudian hari.
Pada tanggal 27 Mei 1915, pemerintah Ottoman memerintahkan penduduk Armenia yang tinggal di atau dekat zona perang, serta mereka yang bekerja sama dengan tentara Rusia, pindah ke provinsi Ottoman selatan.
Kondisi masa perang, kelaparan, wabah, konflik internal yang sedang berlangsung dan kelompok-kelompok lokal yang ingin membalas dendam, membuat sejumlah orang Armenia tewas, meskipun pemerintah Ottoman telah membuat rencana untuk memindahkannya ke wilayah yang aman dan mencoba untuk memenuhi kebutuhan kemanusiaan mereka.
Dokumen sejarah jelas menunjukkan, pemerintah Ottoman tidak berniat tragedi ini terjadi dan menginginkan pelaku yang melakukan kejahatan terhadap orang Armenia ketika direlokasi, dihukum.
Baca Juga: Pejuang Palestina Punya Cara Tersendiri Atasi Kamera Pengintai Israel
Pejabat dan warga sipil yang dinyatakan bersalah “melanggar instruksi pemerintah untuk melakukan relokasi dengan cara yang aman”, diadili dan dijatuhi hukuman pidana mati, jauh sebelum akhir Perang Dunia I.
Sementara itu, Rusia keluar dari pertempuran setelah Revolusi Bolshevik tahun 1917 dan meninggalkan wilayah itu untuk milisi Armenia yang menginvasi banyak daerah perumahan Ottoman menggunakan senjata Rusia.
Dengan Perjanjian Sevres yang ditandatangani pada 10 Agustus 1920, Kekaisaran Ottoman terpaksa memungkinkan berdirinya negara Armenia di Anatolia Timur. Namun perjanjian itu tidak berlaku.
Akibatnya, Anatolia Timur diserbu lagi oleh milisi Armenia yang menolak perjanjian Desember 1920.
Baca Juga: Catatan Perjalanan Dakwah ke Malaysia-Thailand, Ada Nuansa Keakraban Budaya Nusantara
Perjanjian Alexandropol ditandatangani pada 2 Desember 1920, menciptakan batas baru antara Armenia dan Turki hari itu, tapi karena Armenia adalah bagian dari Rusia, perjanjian itu tidak dilaksanakan.
Dengan Perjanjian Kars yang ditandatangani pada 13 Oktober 1921, perbatasan Armenia-Turki ditentukan lagi.
Setelah kemerdekaan Armenia dari Uni Soviet pada tahun 1991, negara ini mengatakan tidak lagi mengakui Perjanjian Kars.
Pemerintah Turki terbuka
Baca Juga: Pengabdian Tanpa Batas: Guru Honorer di Ende Bertahan dengan Gaji Rp250 Ribu
Merujuk definisi menurut Konvensi Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida 1948, genosida adalah tindakan yang dilakukan dengan maksud menghancurkan secara keseluruhan atau sebagian, bangsa, etnis, ras atau kelompok agama.
Pemerintah Turki berpendapat, masalah ini harus ditangani dengan menghormati “memori” dari kedua belah pihak, memahami apa yang masing-masing negara alami dan mengambil pendekatan non-politik dan tidak bias sejarah.
Pemerintah Turki telah berulang kali mengusulkan pembentukan komisi bersama sejarawan dari kedua negara yang meliputi para ahli internasional untuk mengatasi masalah ini dengan cara ilmiah.
Komisi diusulkan untuk melakukan penelitian, tidak hanya dengan menggunakan arsip Turki dan Armenia, tetapi juga dengan menggunakan arsip yang relevan dari negara-negara lain.
Baca Juga: RSIA Indonesia di Gaza, Mimpi Maemuna Center yang Perlahan Terwujud
Ketua Parlemen Turki Cemil Cicek mengatakan pada Rabu, 15 April2015 yang lalu, bangsa Turki siap menghadapi kebenaran sejarah peristiwa 1915.
Dia mengatakan, bangsa Turki ingin kebenaran peristiwa 1915 terungkap dan negaranya siap bekerja sama dengan orang-orang yang akan memberikan kontribusi dalam proses.
Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon pada Senin 13 April 2015 mengatakan, lembaganya siap bekerja sama mengungkap fakta tentang apa yang sebenarnya terjadi pada peristiwa 1915 yang melibatkan warga Armenia.
“Sekretaris Jenderal sangat percaya, memperingati dan mengingat peristiwa tragis 1915 dengan terus bekerja sama untuk mengungkap fakta-fakta apa yang terjadi, harus memperkuat tekad kita bersama untuk mencegah kejahatan dan kekejaman yang sama di masa depan,” kata juru bicara PBB, Stephane Dujarric kepada wartawan di New York. (T/P001/P2)
Sumber: Wikipedia, Anadolu Agency
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)