Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Apakah Terdapat Nilai-Nilai Khilafah dalam Pancasila?

Arif Ramdan - Selasa, 25 Juni 2024 - 10:47 WIB

Selasa, 25 Juni 2024 - 10:47 WIB

29 Views

Kamaruzzaman Bustamam Ahmad

Oleh Kamaruzzaman Bustamam Ahmad, antropolog menetap di Banda Aceh

Saat ini, salah satu istilah dari studi Islam yang paling tidak disukai di Indonesia adalah istilah khilafah. Menyebutkan istilah ini seolah-olah sudah anti-NKRI. Istilah ini menjadi momok menakutkan. Sebelum istilah ini dipertakutkan, istilah lain yang menjadi menakutkan adalah komunis.

Namun, istilah komunis pun tidak lagi begitu menggema di permukaan. Saat ini, istilah komunis telah tergantikan dengan istilah khilafah yang seolah-olah begitu menakutkan. Ketika para akademisi yang berbicara konsep ini, seolah-olah dipandang sebagai anti-NKRI. Logika yang dibangun adalah membicarakan khilafah seolah-seolah tidak pancasilais.

Padahal, tugas utama manusia di muka bumi ini adalah menjadi khalifah-Nya. Penjabaran konsep khalifah ini, dapat dibaca dalam pidato pengukuhan Guru Besar alm. Prof. Dr. Nurcholish Madjid. Teks pidato ini menjabarkan bagaimana konsep kekhalifahan dan kemanusiaan secara komprehensif.

Baca Juga: Mengapa Ada Orang Pintar Tapi Kelakuannya Tidak Baik?

Sementara itu, Prof. Dawam juga menjabarkan konsep “khilafah” dalam karyanya tentang Tafsir Al-Qur’an. Saat dua begawan ini menyajikan penjabaran konsep khalifah dan khilafah, negara ini tidak ada gonjang-ganjing tentang istilah dari langit tersebut. Ketika itu, istilah khalifah malah menjadi istilah untuk pidato guru besar, sekarang istilah ini malah menjadi masalah bagi seorang guru besar.

Lantas, apakah bicara tentang khilafah itu artinya anti-NKRI atau tidak pancasilais. Rezim pemerintahan ini abai kalau nilai-nilai khilafah dari ajaran Islam ini malah termaktub secara tekstual dalam setiap sila Pancasila. Di situ adalah tauhid, insaniyah, ‘adalah, adab, hubb al-wathan, ummat, musyawarah, dan keadilan bagi rakyat. Kalau dipelajari secara mendalam, nilai-nilai yang ada di dalam Pancasila sesungguhnya terkandung dalam konsep khilafah Islamiyyah (pemerintahan Islam). Jadi, Pancasila itu sendiri lahir dari diksi-diksi islami.

Istilah-istilah dari Islam, karena bahasa Sangsekerta sama sekali tidak memiliki istilah-istilah dari Arab yang wujud dalam beberapa pasal di dalam Pancasila. Syed Mohammad Naquib al-Attas pernah menyebutkan bahwa bahasa-bahasa dari Arab ini memuati semangat intelektual yang amat tinggi, dibandingkan dengan dari agama-agama tertentu sebelum Islam. Sehingga jiwa intelektualisme Islam itu lebih kuat, ketimbang agama-agama yang dianut sebelum Islam datang. Istilah-istilah Arab dalam sila-sila Pancasila memperlihatkan bahwa serapan nyawa dan jiwa Muslim tidak dapat diabaikan di negeri ini.

Ihwal parno dengan istilah khilafah disebabkan ada “pembajakan” oleh gerakan tertentu oleh sebagian kelompok Muslim, yang seolah-olah istilah ini digunakan untuk menggantikan Pancasila. Trauma dengan istilah khilafah juga dipicu oleh kontribusi aktif dari para penulis di Barat yang seolah-olah istilah ini akan menghantam istilah dan konsep yang ditawarkan oleh Islam.

Baca Juga: Mengambil Ibrah dari Kisah Nabi Nuh ‘Alaihissalam (Bagian II)

Padahal, istilah khalifah sendiri masih digunakan oleh salah satu raja Jawa hari ini, sultan Yogyakarta. Ngarså Dálem Sampéyan Dálem Íngkang Sinuwún Kangjeng Sultan Hamengkubuwånå Sènópáti-íng-Ngálaga Abdurråhman Sayidin Pánatagåmå Khalifatullah. Beberapa kesultanan pun masih ada dan pernah hadir di Indonesia. Sebagaimana disebutkan di atas, beberapa istilah dalam kajian khilafah rupanya telah tersedot dalam sila-sila Pancasila.

Karena itu, saya ingin mengatakan bahwa Indonesia, disadari atau tidak, telah mendirikan khilafah islami itu sendiri. Istilah ini merupakan pemerintahan islami. Ihwal pandangan ini pernah juga disampaikan oleh Tun Mahathir, ketika mengatakan Malaysia adalah Negara Islam, ketika ribut masalah pemberlakuan hukum Islam di Kelantan.

Proses sedotan nilai-nilai khilafah ini memang jarang dikupas oleh para sarjana. Pasal pertama itu berisi tentang ketauhidan. Aspek ini menjadi penting bahwa di negara ini, diakui mereka yang memiliki Tuhan. Model pengakuan pada ketuhanan ini telah dipraktikkan oleh Rasul dalam Piagam Madinah.

Pasal kedua mencakup tentang kemanusiaan atau dikenal dengan istilah insaniyah. Istilah ini dilekatkan dengan inti dari seorang pemimpin yaitu adil dan kondisi rakyat yaitu berkeadaban. Istilah peradaban sebenarnya berasal dari adab. Istilah ini memiliki korelasi dengan istilah tamaddun, yang juga berkait erat dengan istilah madinah dan din. Adab bahkan dalam studi Islam berada di atas ilmu pengetahun. Karena itu, dalam pasal kedua ini adalah cetak biru manusia Indonesia yang memiliki jiwa insaniyyah, bukan hewaniyyah. Kemudian memiliki jiwa adil dan beradab.

Baca Juga: Mengambil Ibrah dari Kisah Nabi Nuh ‘Alaihissalam (Bagian I)

Istilah adil ini pernah dikupas oleh Taufik Abdullah ketika membahas raja yang adil dalam Kitab Tajus Salatin. Lagi-lagi, konsep adil begitu penting dalam studi politik Islam. Raja atau pemimpin yang adil menjadi begitu penting dalam studi khilafah islamiyah.

Kalau istilah dari tradisi pengetahuan Islam ini dibenci, maka perlu dicari istilah lain karena sangat erat dengan studi khilafah. Dapat dilihat misalnya dalam kitab-kitab klasik politik Islam, yang ditulis oleh para ulama, seperti al-Ahkam al-Sulthaniyyah. Begitu juga dengan istilah beradab yang memiliki makna yang sangat dalam, ketika dikupas dalam tradisi politik Islam. Istilah Kota Utama (al-madinah al-fadhilah) dapat dirujuk pada pemikiran al-Farabi, seorang filosof Muslim, yang banyak memberikan pengaruh di Barat.

Adapun pasal ketiga sangat jelas dalam di dalam filosofi maqashid al-syariah, yang kemudian diikat melalui konsep cinta tanah air (hubb al-wathan). Sehingga, di Indonesia mereka yang mengkritik negara, sebagian pemikir Muslim, masih dapat koridor konsep tersebut.

Apa yang dialami oleh Hamka dan M. Natsir dapat menjadi iktibar bagi generasi saat ini. Bahwa mencintai negara itu sudah final. Pengalaman Gus Dur dengan Pak Harto juga dapat dijadikan rujukan, bagaimana persoalan cinta negara, sudah melebihi dari urusan pribadi. Jangan sampai muncul generasi sekarang untuk meloloskan kepentingan pribadi, maka diatasnamakan kepentingan negara.

Baca Juga: Yuk Miliki Tujuh Amalan Hati

Sementara itu, pasal keempat itu dalam tradisi kepemerintahan Islam dikenal dengan konsep ahl hilli wa aqdi, dimana disitu orang bijak yang bermufakat demi memikirkan negara dan rakyat. Konsep dalam pasal ini pun ada dalam pemerintahan Islam (al-hukumah al-islamiyyah). Ada beberapa istilah kunci yang tidak sanggup kita kupas secara tuntas di sini, yaitu: rakyat, hikmat, musyawarah, dan wakil. Istilah ini sangat penting dalam al-hukuman al-islamiyyah. Inilah istilah kunci dalam pembentukan khilafah islamiyah.

Adapun sila kelima itu ada tujuan puncak dari pemerintahan Islam. Dewasa ini, walaupun negara ini alergi dengan khilafah Islam, tetapi praktik dari pemerintahan Islami diimplementasikan. Semua urusan umat Islam yang mendatangkan devisa negara, negara terlibat aktif. Zakat diatur sedemikian rupa. Dana haji diparkir telah mencapai trilyunan rupiah. Sukuk pun mulai dilirik. Bank-bank hampir semuanya “masuk” Islam. Ini membuktikanIndonesia telah mengambil sekian konsep dari wujud khilafah Islamiyyah. Jadi, apakah Indonesia dapat menghilangkan Islam dari konsep dan tata negaranya?

Setelah saya mempelajari sejarah bangsa Indonesia, kesimpulan saya adalah negara ini berdiri karena takdir ilahi. Karena itu, jangan mempermainkan suatu konsep yang datang dari langit. Istilah khalifah itu muncul ketika Khalid membedakan kedudukan manusia dengan makhluk lainnya.

Kehadiran khilafah itu sebenarnya konstribusi peradaban Islam. Kalau pun sekarang alergi dengan istilah ini, bukan istilah yang dibuang jauh-jauh, tetapi pemahaman yang harus diluruskan. Tidak ada hubungannya istilah ini dengan terorisme dan radikalisme, baik secara historis maupun politis. []

Baca Juga: Perang Mu’tah, Aksi Militer Pertama Rasulullah SAW untuk Pembebasan Al-Aqsa

  • Prof Kamaruzzaman Bustamam  Ahmad, menulis banyak buku tentang Aceh dan keilsmanan. Karyanya yang paling monumental yaitu ACEHNOLOGI. Tulisan lain dapat disimak di laman kba13.com.

Mi’raj News Agency (MINA)

 

Baca Juga: Kiat Agar Selamat dari Empat Keburukan

Rekomendasi untuk Anda

Indonesia
MINA Sport
MINA Sport
Kolom