Oleh: Ir. Niel Makinuddin,MA. Manager, governance and partnership, The Nature Conservancy (TNC), sebuah lembaga konservasi internasional yang berpusat di Amerika Serikat.
Potret Ringkas SDA Indonesia
Dalam konteks sumberdaya alam baik hayati maupun non hayati, Indonesia adalah satu-satunya negara yang memiliki hampir segalanya. Dalam kekayaan keanekaragaman hayati ekosistem hutan, Indonesia memang sedikit di bawah Brazil.
Dalam kekayaan hayati ekosistem kelautan dan maritim, Indonesia bisa dibilang nomor satu. Nah, bila kedua kekayaan hutan (daratan) dan laut (maritim) digabung, maka Indonesia bisa disebut sebagai negara Super Power kekayaan hayati.
Baca Juga: Tertib dan Terpimpin
Hutan Indonesia termasuk yang paling kaya keanekaragaman hayati di dunia. Hutan Indonesia dikenal sebagai hutan yang paling kaya akan spesies palm (447 spesies, 225 di antaranya tidak terdapat di belahan dunia yang lain), lebih dari 400 spesies dipterocarp (jenis kayu komersial yang paling berharga di Asia Tenggara), dan diperkirakan mengandung 25,000 species tumbuhan berbunga.
Indonesia juga sangat kaya akan hidupan liar: terkaya di dunia untuk mamalia (515 spesies, 36% di antaranya endemik), terkaya akan kupu-kupu swalowtail (121 spesies, 44% di antaranya endemik), ketiga terkaya di dunia akan reptil (ada lebih dari 600 spesies), keempat terkaya akan burung (1519 spesies, 28% di antaranya endemik) kelima untuk amfibi (270 spesies), dan ketujuh untuk tumbuhan berbunga.
“We have almost everything in this country”, kita memiliki hampir segalanya di negeri ini. Sungguh anugerah yang melimpah dari Allah Yang Maha Kaya. Mulai dari cadangan migas, deposit batubara dan mineral lainnya. Sehingga kalau ada yang kelaparan dan kemiskinan, bisa dipastikan bahwa negara ini telah mengalami salah urus atau mis-management.
Semuanya tersedia di Indonesia, sehingga tidak heran bila banyak negara besar di dunia selalu berebut pengaruh untuk menguasai kekayaan Indonesia sejak ratusan tahun lalu dimana VOC Belanda yang kemudian diikuti dengan pola penjajahan ekonomi di era sekarang ini.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-7] Agama itu Nasihat
Karakter Pengelolaan SDA dan LH
Pertama, ekstraktif-eksploitatif. Kegiatan bersifat ekstraktif dan eksploitatif ini sesungguhnya baru dimulai di kurun waktu akhir 1960-an ketika Presiden Soeharto berkuasa. Hal ini ditandai dengan dikeluarkannya beberapa produk Undang-Undang UU nomor 5 tahun 1967 tentang Kehutanan, UU nomor 11 tahun 1967 tentang Pertambangan, dan berbagai produk peraturan perundangan lainnya.
UU terkait lingkungan hidup dan konservasi baru ada pada tahun 1990, atau sekitar 20 tahun lebih setelah alam negeri ini dikeruk hasilnya.
Kedua, kapitalistik atau padat modal. Dengan alasan Indonesia perlu suntikan dana segar dalam jumlah sangat besar, maka skenario pembangunan adalah mempercepat pertumbuhan. Percepatan ini diyakini hanya bisa digerakkan oleh suntikan modal yang cukup besar, terutama dari modal asing. Untuk itu, produk hukum seperti seperti UU nomor 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing menjadi faktor penguat (complimentary) untuk terjadinya proses pengelolaan sumberdaya alam yang berawatak ekstraktif dan eksploitatif.
Baca Juga: Ada Apa dengan Terpilihnya Trump?
Ketiga, sentralistik dan elitis. Di era Orde Baru keputusan mengenai pengelolaan sumberdaya alam dilakukan dari Jakarta (sentralistik) sehingga tidak mengherankan bila penguasa ekonomi adalah beberapa gelintir konglomerat yang memiliki kedekatan dengan penguasa saat itu. Di era eformasi hingga saat ini polanya merupakan kombinasi antara sentralisitk dan elitis. Keduanya karakter ini – sentralistik dan elitis – memiliki banyak kesamaan yakni bertali temali kuat sekali dengan pemilik modal (kapitalistik). Di era otonomi daerah, elit politik yang ingin berkuasa “wajib” bergandeng tangan pemodal kuat.
Dalam bidang apapun (kehutanan maupun pertambangan) konsesi-konsesi besar selalu diberikan karpet merah. Menurut laporan Warta Ekonomi (Agustus, 1998), sebagian besar hutan di Indonesia sampai sebelum reformasi, sudah dikuasai oleh dua belas (12) grup besar melalui 109 perusahaannya. Di antaranya, Grup Kayu Lapis milik Hunawan Widjajanto menguasai 3,5 juta hektare HPH, menduduki tempat teratas.
Urutan selanjutnya adalah Grup Djajanti Djaja milik Burhan Uray yang menguasai 2,9 juta hektare, Grup Barito Pacific milik Prajogo Pangestu memegang 2,7 hektare, Grup Kalimanis milik Bob Hasan menguasai 1,6 juta hektare, PT Alas Kusumah Group menguasai 1,2 juta hektare, Sumalindo Group dengan luas 850.000 hektare, PT Daya Sakti Group dengan luas 540.000 hektare, Raja Garuda Mas Group dengan luas 380.000 hektare, dan seterusnya.
Sementara itu, dalam bidang perminyakan, menurut laporan majalah SWA Sembada (April-Mei, 1996), hampir semua sumur minyak di Indonesia telah dikuasai oleh perusahaan raksasa minyak asing yang merupakan perusahaan multinasional, seperti Exxon (melalui Caltex), Atlantic Richfield (melalui Arco Indonesia), dan Mobil Oil. Selebihnya, Pertamina yang memproduksi. Dalam skala lebih kecil muncul belakangan pengusaha-pengusaha swasta nasional yang ikut terjun dalam bisnis minyak bumi, seperti Arifin Panigoro dengan Medconya, Tommy Soeharto dengan Humpussnya, Ibrahim Risjad, Srikandi Hakim, dan Astra International.
Baca Juga: Pentingnya Memahami Fiqih Jual Beli dalam Berdagang
Dampak Pengelolaan SDA terhadap LH
Pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup dengan karakter tersebut diatas telah terbukti gagal memberikan kesejateraan dan kemakmuran kepada mayoritas masyarakat Indonesia. Jurang si kaya dan miskin semakin melebar dan aneka bencana semakin sering menghampiri berbagai wilayah Indonesia. Beberapa diantaranya adalah:
Pertama, kerusakan lingkungan hidup: hilangnya ekosistem hutan tropis dalam skala yang cukup masif. Hilangnya aneka kekayaan hayati didalamnya termasuk ribuan jenis tumbuhan obat dan aneka fauna yang dilindungi. Kini, area kerusakan hutan mencapai 56,98 juta hektare. Untuk merehabilitasinya, Indonesia memerlukan dana Rp225 triliun.
Sementara itu, dana reboisasi (DR) di APBN hanya dianggarkan Rp7 triliun saja (Kompas, 23 Oktober 2000). Itupun masih akan bertambah karena kerusakan hutan di Indonesia diperkirakan mencapai 1,6 juta hektare per tahun. Adapun kemampuan rehabilitasi hutan dan lahan di luar kawasan hutan hanya 400.000 – 500.000 hektare per tahun (Kompas, 23 Oktober 2000). Dalam beberapa tahun ke depan, bukan tidak mungkin hutan Indonesia terancam punah.
Baca Juga: Selesaikan Masalahmu dengan Sabar dan Shalat
Kedua, kebakaran hutan dan lahan yang memusnahkan ribuan jenis flora dan fauna bernilai tinggi. Selain itu, kebakaran hutan dan lahan juga menghasilan asap yang membahayakan manusia dan binatang. Saat ini, puluhan atau bahkan ratusan ribu jiwa sedang terkepung asap pekat khususnya di Sumatera (Jambi dan Palembang) dan Kalimantan (Barat, Tengah, Selatan dan Timur). Mereka harus menghadapi kenyataan bernafas dengan kadar oksigen sangat rendah antara 5% – 20 % saja.
Kamar dagang dan industri (KADIN) Riau menaksir kerugian ekonomi Propinsi Riau saja sebesar 20 trilyun rupiah selama sebulan terakhir ini. Padahal, kebakaran masih belum tertangani tuntas saat ini. Nilai kerugian akan jauh lebih fantastis manakala aspek kesehatan juga dihitung secara cermat, baik dampak kesehatan dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Kerugian ekonomi juga meningkat 14 kali lipat dibandingkan tahun 1950an, yakni 50-100 billion USD (World Disaster Report, 2001)
Ketiga, bencana banjir. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menjelaskan bahwa hanya dalam kurun waktu Januari – Oktober 2014, jumlah korban akibat bencana khususnya bencana hidrometeorologi seperti banjir, longsor dan puting beliung sejak 1 Januari sampai dengan hari ini tercatat 137 orang tewas dan 1,1 juta jiwa mengungsi dan menderita. Juga menimbulkan kerusakan tercatat 1.234 rumah rusak berat, 273 rumah rusak sedang, dan 2.586 rumah rusak ringan serta kerusakan infrastruktur yang lainnya, seperti jalan, saluran irigasi lahan pertanian, dan lainnya .. (sumber: indonesia-tewaskan-137-sejak-awal-januari/1839884.html">http://voaindonesia.com/content/ bencana-di-indonesia-tewaskan-137-sejak-awal-januari/1839884.html)
Keempat, kesenjangan sosial dan konflik. Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMa) memperkirakan konflik sumber daya alam dan agraria akan terus meluas. Anggota Divisi Data dan Informasi, HuMa, Widiyanto, mencatat sampai November 2012 ada 232 konflik SDA dan agraria. Konflik terjadi di 98 kabupaten/kota di 22 provinsi dengan luasan area sengketa mencapai 2 juta hektar. Masyarakat yang menjadi korban dari konflik itu lebih dari 91 ribu orang. Kasus terbanyak terjadi di Provinsi Kalimantan Tengah dengaan 67 kasus, Jawa Tengah 36 kasus dan Banten 14 kasus.
Baca Juga: Dentuman Perang Memisahkan Sepasang Calon Pengantin
Konflik tertinggi terjadi di sektor perkebunan dengan 119 kasus, kehutanan 72 kasus dan pertambangan 17 kasus. Dari berbagai konflik itu tercatat ada enam pihak yang ditengarai menjadi pelaku utama. Yaitu Taman Nasional/Kementerian Kehutanan, Perhutani, PT Perkebunan Nusantara (PTPN), Perusahaan/Korporasi, Perusahaan Daerah dan instansi lain seperti TNI.
Kelima, korban jiwa bencana alam akibat salah urus (mis-management) dari pengelolaan sumberdaya alam cukup besar. Sejak tahun 50an, jumlah kematian akibat bencana iklim mengalami peningkatan sekitar 50% untuk setiap dekade (Kreimer and Munasinghe,1991). Di Samarinda, dalam kurun hampir 10 terakhir sebanyak 11 nyawa anak melayang dalam konteks kegiatan ekstraktif pertambangan batubara.
Diperkirakan di masa depan (2050), secara global korban jiwa akibat bencana iklim bisa mencapai 100,000 jiwa/tahun dan kerugian ekonomi mencapai 300 billion USD per tahun (SEI, IUCN, IISD, 2001).
Hijrah dalam Penataan SDA dan LH
Baca Juga: Bela Masjid Al-Aqsa Sepanjang Masa
Kata hijrah berasal dari kata Arab yang berarti berpisah, pindah dari satu negeri ke negeri lain, berjalan di waktu tengah hari, igauan, mimpi.
Para ulama umumnya menjelaskan “hijrah” kedalam tiga pengertian, antara lain: 1) pindah dari negeri orang kafir atau musyrik ke negeri orang Islam, seperti terjadi pada diri Rasulullah dan para muhajirin yang meninggalkan Mekkah menuju Madinah, tempat kaum Anshar yang telah menyatakan keislamannya, 2) mengasingkan diri dari bergaul dengan orang kafir atau musyrik yang berlaku kejam dan suka menyebarkan fitnah ke tempat yang aman, seperti yang diperintahkan Rasululullah kepada para sahabat untuk berhijrah dari Mekkah ke Habasyah (Etiopia), 3). pindah dari kebiasaan mengerjakan perbuatan mungkar (buruk) kepada kebiasaan mengerjakan perbuatan makruf (baik).
Adapun ganjaran bagi orang yang melakukan hijrah karena Allah, maka bagi mereka ganjaran yang berlimpah dan tempat serta derajat yang tinggi di sisi Allah, hal ini bisa kita lihat dalam firman Allah yang berkenaan tentang ganjaran bagi orang berhijrah sebagai berikut:
- Rezki yang berlimpah di dunia (An-Nisa: 100) (Al-Anfal: 79)
- Kesalahan dihapus dan dosa diampuni (Ali Imran: 195)=
- Derajatnya ditinggikan oleh Allah (At-Taubah: 20)
- Kemenangan yang besar (At-Taubah: 20, 100)
- Tempat kembalinya adalah surga (At-Taubah: 20-22)
- Mendapatkan ridha dari Allah (At-Taubah: 100)
Dalam konteks pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup, makna ketiga dari hijrah – yakni pindah dari kebiasaan mengerjakan perbuatan mungkar (buruk) kepada kebiasaan mengerjakan perbuatan makruf (baik) – dirasa lebih menemukan konteksnya.
Baca Juga: Cinta Dunia dan Takut Mati
Umat manusia perlu melakukan hijrah dari cara mengelola alam yang ekstraktif-eksploitatif dan destruktif menuju cara mengelola alam yang lebih arif, berkeadilan dan berkelanjutan seperti arahan dalam Firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala::
ظَهَرَ ٱلۡفَسَادُ فِى ٱلۡبَرِّ وَٱلۡبَحۡرِ بِمَا كَسَبَتۡ أَيۡدِى ٱلنَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعۡضَ ٱلَّذِى عَمِلُواْ لَعَلَّهُمۡ يَرۡجِعُونَ
Artinya: “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar) (QS Ar-Ruum [30]: 41).
Beberapa prinsip penting pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup adalah:
Pertama, mengamalkan kaidah usul Fiqih “menghindari kerusakan lebih utama daripada mendapatkan kemaslahatan”.
Baca Juga: Menjaga Akidah di Era Digital
Dalam hirarki pengelolaan sumberdaya alam lestari dan berkeadilan dikenal dengan SAVE (selamatkan), STUDY (palajari, fahami), lalu USE (memanfaatkan).
Hirarki tersebut harus diamalkan secara utuh guna memastikan pengelolaan alam yang berkadilan dan berkelanjutan bisa benar-benar terwujud. Sebab, dalam paparan ringkas diatas terbukti dengan jelas bahwa pola pengelolaan sumberdaya alam telah dilakukan dengan hirarki terbalik yakni USE, STUDY kemudian SAVE.
Peraturan perundangan yang dibuat terlebih dahulu adalah peraturan untuk USE (memanfaatkan), bukan Save dan Study terlebih dahulu. Untuk itu, kedepan, kajian keilmuan (scientific basis) mutlak diperlukan sebagai referensi utama dalam pengambilan keputusan terkait pengelolaan dan pemanfataan sumberdaya alam termasuk dalam pemberian ijin kelola alam baik sumberdaya tidak terbarukan (non-renewable resources) maupun sumberdaya alam terbarukan (renewable resources). Dengan kajian sains akan diketahui potensi bahaya (mudharat) beserta strategi pemanfaatan yang minimal resiko dan optimal manfaat.
Kedua, memperhatikan daya dukung (carrying capacity) lingkungan maupun sosial. Suatu pola pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya alam apapun, tidak akan terjamin aman dan berkelanjutan manakala aspek daya dukung lingkungan dan sosial tidak dipenuhi. Ada banyak kasus perusahaan gulung tikar bahkan berakibat pidana bila kedua daya dukung ini dilanggar.
Baca Juga: Amerika itu Negara Para Pendatang!
Ketiga, berbasis kewilayahan alam (natural boundary): Daerah Aliran Sungai (DAS) dan Ekosistem. Kasus kekabaran dan asap adalah merupakan contoh yang baik betapa pengelolaan sumberdaya alam dan Lingkungan Hidup lebih baik dilakukan dalam skala lintas batas politik negara (beyond political boundaries). Kepentingan umat yang lebih besar bisa dijamin, mitigasi resiko dampak lebih mudah dikoordinasikan/dikendalikan, konflik lebih mudah dikelola dan pembagian manfaat bisa lebih adil.
Bila batas kelola adalah batas politis negara atau daerah, maka negara atau daerah yang secara ekonomi dan politik lebih kuat cenderung dominan dan merampas kepentingan negara yang lebih lemah. Singapore, Malaysia dan Thailand bisa jadi akan menggugat dan menuntut ganti rugi atas bencana asap yang jumlahnya bisa jadi sangat besar bagi Indonesia. Padahal, dalam konteks tertentu, Indonesia adalah korban dari skenario investasi yang kapitalistik dimana beberapa wilayah Indonesia sudah dikuasai oleh (baca: digadaikan ke) pemilik modal yang berasal dari Singapura atau Amerika Serikat.
Dalam skala lebih kecil, sebagai contoh kasus pengelolaan DAS Mahakam yang panjang nya hampir 1.000 kilometer, bisa diterapkan konsep “One River, One Plan, and One Management” atau satu sungai, satu rencana dan satu kesatuan pengelolaan. Sehingga, kabupaten atau kota yang ada di wilayah DAS Mahakam – seperti Mahulu, Kutai Barat, Samarinda, Kutai Kartanegara, dan Kutai Timur – akan tunduk dan bekerjasama (baca: berjamaah) dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidupnya.
Hal seperti ini bisa diperluas menjadi skala pulau Kalimantan (termasuk Serawak, Sabah dan Brueni) dengan konsep “One Island, One Plan and One Management”.
Penutup
Dalam skala yang lebih besar yang bersifat mundial atau global, bisa jadi kelak akan menjadi keniscayaan dan kebutuhan dimana pengelolaan bumi ini akan menjadi satu kesatuan yakni “One World, One Plan and One Management”.
Di mana Hukum Allah diaplikasikan untuk menjamin pengelolaan bumi ini berkeadilan dan berkelanjutan. Pendekatan ini tentu tidak bisa diwujudkan melalui konsep Perserikatan Bangsa Bangsa karena ikatannya lemah, partial (ekonomi dan politik semata) dan cenderung ada dominansi.
Yang lebih rasional dan komprehensif adalah pengelolaan bumi kedepan dalam satu kesatuan pengelolaan di bawah Kekhalifahan (Al-Jama’ah). (Ham/P4)
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)