Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Arah Istiqlal di Bawah Nasaruddin Umar

Rana Setiawan - Jumat, 29 Januari 2016 - 19:51 WIB

Jumat, 29 Januari 2016 - 19:51 WIB

474 Views

Bimas

Sigit Kamseno.(Foto: bimas Islam)

Oleh Sigit Kamseno, Penyusun Bahan Informasi dan Penerangan, Ditjen Bimas Islam Kementerian Agama RI

Hari kerja terakhir di pekan lalu, Jumat (22/01), Masjid Istiqlal resmi dipimpin oleh Imam Besar yang baru, Prof. Dr. H. Nasaruddin Umar, MA, seorang guru besar ilmu tafsir di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta.

Kapasitas keilmuan tokoh yang masuk dalam The 500 Most Influential Muslims in the World itu dalam khazanah intelektual keislaman di Nusantara sudah tak diragukan. Dalam kapasitas keilmuan Islam, bersama Prof. Dr. Din Syamsuddin dan Sir Azyumardi Azra, Rektor Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur’an (PTIQ) itu saat ini juga duduk di bangku Dewan Pertimbangan MUI Pusat.

Diangkatnya pria yang juga pernah menjabat sebagai Dirjen Bimas Islam itu sebagai Imam Besar Masjid Istiqlal merupakan angin segar di tengah kehidupan keberagamaan umat Islam tanah air yang memang sangat dinamis, terutama jika dikaitkan dengan penerimaan dan toleransi terhadap kelompok berbeda, termasuk di dalamnya cita-cita mewujudkan kerukunan intern di tengah-tengah umat Islam.

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-9] Jalankan Semampunya

Imam Besar sebelumnya, Prof. Dr. Ali Musthafa Ya’qub, seorang pakar hadits kenamaan di Indonesia, juga telah memulai pendekatan itu melalui tulisannya berjudul ‘Titik Temu Wahabi-NU’ di Republika, medio Februari 2015 lalu yang merefleksikan buah pikirannya agar perbedaan-perbedaan khilafiyah di tengah umat selayaknya ditempatkan pada porsi yang tepat.

Murid langsung pakar hadits dunia, Mustafa A’zami itu ingin agar umat Islam lebih fokus melihat persamaan-persamaan ketimbang terus menerus ribut dalam urusan perbedaan yang tak berkesudahan.

Dalam konteks persatuan umat itu, ditunjuknya Nasaruddin Umar sebagai imam Masjid Istiqlal kemudian menemukan signifikansinya. Selama ini, pimpinan pondok pesantren Al-Ikhlas, Ujung Bone, Sulawesi Selatan, itu dikenal sebagai tokoh yang inklusif dan dapat merangkul semua pihak.

Selama menjabat sebagai Wakil Menteri Agama saja, tak terhitung tokoh penerima anugerah Bintang Mahaputera Utama itu  menerima dengan sangat akrab berbagai tokoh dan kelompok dari paham keagamaan yang beragam-macam, mulai dari yang paling ‘kanan’ hingga paling ‘kiri’.

Baca Juga: Wawancara Eksklusif Prof El-Awaisi: Ilmu, Kunci Pembebasan Masjid Al-Aqsa

Peraih gelar doktor terbaik di UIN Jakarta tersebut menerima semua kelompok dengan tangan terbuka sehingga punya jalinan keakraban dengan siapa saja.

Dalam ragam jalinan itu, kita, tidak akan mendapatkan lisan dari pria yang sering terlibat dalam dialog perdamaian itu mudah memberi vonis pada kelompok-kelompok berbeda.

Selain karena didasari oleh kehati-hatiannya, sikapnya ini juga lahir dari penghormatan mendalam kepada ragam paham keagamaan yang tumbuh dan eksis di tanah air. Selain itu, pilihan hidupnya ini juga lahir dari kerendahhatian sebab tak ingin memosisikan dirinya seumpama mufti. Di tengah fenomena saling curiga akibat arus kemajuan teknologi informasi yang acap memecah belah itu, banyak pihak menaruh harap, nahkoda baru Istiqlal ini semakin meneguhkan arah kapal menuju pulau persatuan dan keharmonian umat.

Masjid Istiqlal, Simbol Kemerdekaan dan Keharmonian  

Baca Juga: Amalan Sunnah pada Hari Jumat

Istiqlal merupakan masjid raksasa yang mampu menampung sekitar 200 ribu jamaah, atau (bayangkan) setara dengan setengah penduduk negara Brunei Darussalam! Diambilnya nama Istiqlal untuk masjid yang punya menara setinggi 90 meter itu merupakan simbol kemerdekaan sekaligus melepaskan diri dari penjajahan, sebab kawasan Taman Wijaya Kusuma, tempat masjid negara itu berdiri merupakan lambang pemerintah  kolonial Hindia Belanda ketika itu.

Selain semangat pembebasan tersebut, sejak awal masjid yang punya kubah seberat 86 ton itu juga sudah sangat akrab dengan perbedaan. Selain bertetangga dengan Gereja Katedral, arsitek Masjid Istiqlal adalah seorang non Muslim bernama Frederich Silaban. Oleh sebab itu Bung Karno menyebut Istiqlal sebagai simbol persaudaraan, persatuan, dan toleransi.

Karena itu, sebetulnya simbolisme rumah ibadah yang menjunjung tinggi ‘kemerdekaan’ dan ‘menerima keragaman’ merupakan hal yang sudah inhern pada Masjid Istiqlal sejak awal-awal dibangun. Dalam konteks pasca kemerdekaan seperti saat ini, dua simbol tersebut berpadu, bahwasanya ‘merdeka’ adalah membangun semangat persaudaraan meski berbeda, melihat kepelbagaian sebagai sumberdaya, bukan sebagai pemicu perpecahan.

Jangan sampai setelah kemerdekaan itu diraih, sesama anak bangsa justru saling berseteru karena perbedaan yang sebetulnya jamak terjadi. Sebangun dengan itu, maka kehadiran figur inklusif yang mampu berdialog dengan seluruh komponen umat merupakan pilihan tepat untuk menjadi Imam Besar Masjid Istiqlal, masjid yang merupakan simbol kebanggaan umat Islam tanah air.

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-8] Mengajak Kepada Kalimat Syahadat

Selama ini, masjid Istiqlal telah berhasil mengakomodasi sekian ragam kelompok-kelompok Islam di Indonesia. Pengajian rutin di Masjid terbesar se-Asia Tenggara itu selalu dihadiri ribuan orang dari berbagai macam madzhab, organisasi, dan kelompok gerakan-gerakan Islam.

‘Politik akomodatif’ ini merupakan tradisi penting yang harus dilestarikan, mengingat Istiqlal merupakan masjid kebanggaan milik umat Islam Indonesia. Istiqlal tidak boleh hanya mengakomodasi satu kelompok dan mengabaikan yang lain. Setelah al-ustaadz Ali Musthafa Ya’qub dengan sangat baik khatam memimpin masjid yang punya tujuh pintu itu, terpilihnya seorang ulama yang dikenal ketawadhuannya merupakan pilihan tepat untuk menjaga tradisi agar sense of belonging umat Islam terhadap Istiqlal tetap terikat dengan baik.

Di tangan Nasaruddin Umar, kita akan melihat ke arah mana kebijakan Masjid Istiqlal akan berlabuh.  Saya selalu yakin, pria yang pernah melakukan penelitian kepustakaan di kampus-kampus Timur dan Barat itu kembali menunjukkan kedigdayaannya untuk menjadi fasilitator yang akomodatif terhadap ragam pemahaman kelompok-kelompok Islam.

Mari kita tunggu langkah original apa yang akan ditelurkan oleh pria yang juga menjabat sebagai Dewan Penasihat Komunitas One Day One Juz itu.(T/R05/R02)

Baca Juga: Tertib dan Terpimpin

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Sumber: masjid-terbesar-arah-istiqlal-di-bawah-nasaruddin-umar#sthash.i2P5go06.dpuf">Ditjen Bimas Islam Kemenag RI

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-7] Agama itu Nasihat

Rekomendasi untuk Anda

Indonesia
Khadijah
Indonesia
Indonesia
Kolom
Kolom
Khadijah