Oleh: Aat Surya Safaat, Pemimpin Redaksi Kantor Berita ANTARA 2016-2017*
Sampai menjelang pelantikan Joko Widodo-Ma’ruf Amin sebagai Presiden-Wakil Presiden periode 2019-2024 pada Oktober 2019, isu hubungan internasional atau politik luar negeri Indonesia belum banyak diangkat media massa, padahal politik luar negeri sama pentingnya dengan kebijakan domestik.
Politik luar negeri itu sendiri adalah komponen dari kebijakan politik nasional yang ditujukan ke luar. Dengan kata lain, politik luar negeri merupakan pencerminan dari kepentingan nasional yang ditujukan ke luar serta merupakan bagian dari keseluruhan kebijakan untuk mencapai tujuan-tujuan nasional.
Mengingat situasi internasional selalu berkembang, pelaksanaan politik luar negeri suatu negara kerap mengalami perubahan.
Baca Juga: Amalan Sunnah pada Hari Jumat
Perkembangan situasi internasional yang dinamis itu harus selalu diantisipasi oleh setiap negara agar pelaksanaan politik luar negerinya tidak menemui hambatan.
Pertanyaannya adalah, bagaimana arah politik luar negeri Indonesia lima tahun mendatang? Siapapun Menteri Luar Negeri RI yang akan dipilih oleh Presiden Jokowi nanti, pelaksanaan politik luar negeri Indonesia harus tetap berpegang pada kebijakan politik luar negeri bebas aktif.
Politik luar negeri bebas-aktif itu sendiri secara historis merupakan pengejawantahan dari buah pemikiran Bung Hatta yang terangkum dalam karya legendarisnya dengan judul “Mendayung di antara dua karang”.
Politik luar negeri bebas-aktif secara harfiah memiliki makna dasar sebagai suatu kondisi bebas dan tidak terikat, namun tetap bersikap aktif dalam konteks hubungan antar-bangsa, baik di tingkat regional maupun internasional. Dalam hubungan ini jajaran Kementerian Luar Negeri RI terus menggelorakan perjuangan Indonesia untuk perdamaian dunia, mulai dari Palestina, Afghanistan hingga Myanmar.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-8] Mengajak Kepada Kalimat Syahadat
Upaya tersebut dilakukan secara konsisten, bukan semata-mata disebabkan karena Indonesia berpenduduk Muslim terbesar di dunia, tetapi adalah karena adanya amanat konstitusi.
Dalam Pembukaan UUD 1945 tertulis “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan”.
Konsisten dan Kolaboratif
Menlu Retno Lestari Priansari Marsudi dalam beberapa kesempatan menekankan adanya empat prioritas politik luar negeri Indonesia, yaitu melindungi NKRI, melindungi WNI di luar negeri, mengintensifkan diplomasi ekonomi, dan meningkatkan peran Indonesia di panggung kawasan dan di dunia internasional.
Baca Juga: Tertib dan Terpimpin
Perhatian politik luar negeri Indonesia pada 2019 juga tercurah pada keanggotaan Indonesia di Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB), di mana Indonesia menjabat sebagai anggota Tidak Tetap DK PBB periode 2019-2020.
Menurut Menlu Retno, Pemerintah RI akan terus berupaya mewujudkan politik luar negeri bebas-aktif secara konsisten namun kolaboratif dan memberikan manfaat konkret bagi rakyat Indonesia.
Adapun kinerja positif dari pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla dalam pelaksanaan politik luar negeri selama hampir lima tahun terakhir antara lain penolakannya yang tegas terkait status Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel.
Di samping itu Indonesia dapat membina hubungan yang relatif baik dengan negara-negara ASEAN dan negara-negara Asia Pasifik yang pertumbuhan ekonomi, terutama dari sektor pariwisata dan kemaritimannya sangat menjanjikan.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-7] Agama itu Nasihat
Kementerian Luar Negeri di bawah kepemimpinan Menlu Retno Marsudi juga secara jelas menunjukkan keseriusannya dalam perlindungan WNI di luar negeri (meski dalam beberapa kasus mengalami kegagalan melindungi TKI bermasalah dari hukuman mati di Saudi).
Jokowi-Ma’ruf yang menjadi pemenang dalam Pilpres 2019 nampaknya akan melanjutkan kebijakan dan pelaksanaan politik luar negeri bebas-aktif seperti yang dijalankannya selama hampir lima tahun terakhir.
Salah satu fokus kebijakan luar negeri Indonesia yang krusial ke depan adalah keberlanjutan diplomasi Indonesia dengan dua raksasa ekonomi yang tengah terlibat perang dagang, yakni China dan Amerika Serikat.
Selama kebijakan China dalam berinvestasi di Indonesia tidak merugikan rakyat dalam artian tidak merebut kesempatan kerja warga lokal, maka sejatinya hubungan RI-China relatif tidak ada masalah.
Baca Juga: Ada Apa dengan Terpilihnya Trump?
Tetapi jika nanti makin banyak tenaga kerja dari China yang masuk ke Indonesia dan merebut lapangan kerja warga Indonesia, maka tentunya hal itu akan menjadi masalah besar terkait ketenagakerjaan di kemudian hari.
Di sisi lain, Pemerintah RI dalam lima tahun ke depan harus tetap menjaga hubungan baik dengan Amerika. Meski kondisi AS dan China sedang tegang akibat perang dagang, Indonesia tidak boleh timpang dengan memprioritaskan satu negara saja.
Indonesia harus tetap menjalin hubungan baik dengan China sebagai negara besar di Asia dan AS sebagai negara adidaya di dunia. Indonesia harus tetap menjaga hubungan baik dengan keduanya.
Selain itu, penguatan sistem pertahanan dengan kenaikan anggaran setiap tahun perlu menjadi salah satu kebijakan yang harus diambil, di samping juga harus membangun kedaulatan maritim yang tangguh agar angkatan bersenjata Indonesia selalu siap siaga dan disegani negara-negara lain.
Baca Juga: Pentingnya Memahami Fiqih Jual Beli dalam Berdagang
Dalam kaitan ini, kiranya tepat adagium atau lebih tepatnya peribahasa Latin yang menyatakan “Si vis pacem para bellum (Jika mendambakan perdamaian, bersiap-siaplah menghadapi perang).
Perlu kehati-hatian
Terkait pelaksanaan politik luar negeri lima tahun ke depan, sisi lain adalah perlunya kehati-hatian dan kecermatan Pemerintah Indonesia terhadap isu domestik yang bisa saja berdampak ke dunia internasional.
Dalam kaitan ini, sebagaimana banyak diberitakan media belum lama berselang, pernyataan Presiden tentang rencana pembebasan Ustadz Abu Bakar Basyir yang dinilai sementara kalangan terkesan “grasa-grusu” mendapatkan reaksi pro-kontra, terutama di luar negeri.
Baca Juga: Selesaikan Masalahmu dengan Sabar dan Shalat
Pernyataan ini merujuk kepada wacana pembebasan terpidana kasus tindak pidana terorisme Ustadz Abu Bakar Ba’asyir yang tertunda lantaran membutuhkan pertimbangan sejumlah aspek terlebih dahulu.
Pernyataan lain yang mempunyai pengaruh kurang baik bagi hubungan antarnegara ialah adanya penggunaan istilah “Propaganda Rusia” yang dikemukakan Jokowi beberapa waktu yang lalu, dengan menunjuk adanya penyebaran hoax yang katanya dilakukan pihak lain menjelang Pilpres 2019.
Meski Jokowi secara sangat jelas tidak menuduh Rusia bermain dalam urusan dalam negeri Indonesia, tapi penggunaan istilah “Propaganda Rusia” itu berkonotasi negatif, sehingga Dubes Rusia untuk RI Lyudmila Georgievna Vorobieva memberikan reaksi yang kurang senang terhadap penggunaan istilah itu.
Dubes Lyudmila menegaskan, istilah “Propaganda Rusia” tidak berdasar dan bukan hal yang nyata. Dia menegaskan istilah itu tidak bersumber dari Rusia, melainkan buatan Amerika Serikat.
Baca Juga: Dentuman Perang Memisahkan Sepasang Calon Pengantin
Menurut dia, istilah itu dibuat oleh lembaga riset Rand Corporation pada 2016 saat Amerika Serikat menyelenggarakan pemilu, dan istilah “Propaganda Rusia” tidak memiliki dasar di dunia nyata.
Merujuk pada pengangkatan isu yang dianggap beberapa kalangan kurang pas itu dan yang pada akhirnya menjadi sorotan media massa, jelas bahwa kehati-hatian adalah sebuah keniscayaan.
Sementara itu, tantangan untuk memajukan ekonomi domestik serta untuk menyiasati situasi internasional yang penuh dinamika menuntut adanya kepiawaian Presiden beserta para Menteri terkait dalam menjalankan roda pemerintahan.
Ekonomi domestik itu sendiri dalam artian yang umum adalah keadaan ekonomi nasional yang berkembang pada satu periode tertentu. Keadaan ekonomi amat berpengaruh terhadap kelangsungan hidup atau eksistensi suatu negara, khususnya terhadap eksistensi pemerintahan yang berkuasa.
Baca Juga: Bela Masjid Al-Aqsa Sepanjang Masa
Berhasil-tidaknya perekonomian nasional bisa diamati dari beberapa indikator, antara lain tingkat pengangguran, laju pertumbuhan produksi, pendapatan per kapita, dan tingkat inflasi. Kondisi ekonomi domestik itu juga dipengaruhi oleh keadaan ekonomi internasional.
Terkait upaya memajukan perekonomian nasional, Presiden Jokowi dalam beberapa kesempatan menyatakan perlunya sikap optimistis sambil berharap adanya perbaikan dan kemajuan ekonomi internasional.
Optimisme Presiden itu tentu harus didukung semua pihak agar perekonomian Indonesia terus maju, sehingga pada akhirnya juga memberikan dampak yang makin baik bagi pelaksanaan politik luar negeri bebas-aktif ke depan.
Bagaimanapun, Pemerintah RI di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi-Wakil Presiden Ma’ruf Amin perlu terus berupaya mempertahankan politik luar negeri bebas-aktif secara konsisten namun penuh kehati-hatian tanpa mengabaikan kepentingan nasional.(AK/R01/P1)
Baca Juga: Cinta Dunia dan Takut Mati
Mi’raj News Agency (MINA)
*Penulis, Pemimpin Redaksi Kantor Berita ANTARA 2016-2017 dan pernah bertugas sebagai Kepala Biro ANTARA di New York tahun 1993-1998. Jurnalis kelahiran Pandeglang Banten ini sejak dua tahun terakhir mendapat amanah sebagai salah satu Asesor Wartawan Utama pada Uji Kompetensi Wartawan (UKW) Persatuan Wartawan Indonesia (PWI).