DI TENGAH debu, reruntuhan rumah, dan tangisan panjang yang tak kunjung surut, wajah-wajah yang paling sering menghilang dari berita adalah wajah-wajah anak, ibu, dan kakek yang tak pernah memilih perang. Sejak konflik bergelora lagi pada 7 Oktober 2023, puluhan ribu nyawa di Gaza telah terenggut—bukan oleh kecelakaan, bukan oleh alam, melainkan oleh putusan politik dan operasi militer yang menghancurkan kehidupan sehari-hari. Laporan-laporan kemanusiaan mencatat angka-angka yang menyayat: puluhan ribu terbunuh, ratusan ribu terluka, jutaan mengungsi tanpa tempat berteduh yang aman. Ini bukan sekadar statistik; ini adalah sejarah manusia yang sobek.
Sekilas sejarah menunjukkan pola yang menyakitkan namun konsisten. Ketika operasi besar dilakukan—dari Cast Lead (2008–2009), Pillar of Defense (2012), Protective Edge (2014), hingga eskalasi-eskalasi berikutnya—jumlah korban sipil selalu menjadi proporsi besar dari keseluruhan korban. Pada perang 2014 saja, ribuan warga Palestina tewas termasuk ratusan anak dan perempuan, rumah-rumah luluh-lantak, dan sistem kesehatan yang runtuh di bawah beban luka dan kehilangan. Reruntuhan itu masih membekas di setiap keluarga yang harus mulai membangun kembali dari nol.
Di tempat yang sama, koalisi dukungan internasional—paling menonjol adalah dukungan politik dan militer Amerika Serikat terhadap Israel—memberi dimensi lain pada penderitaan ini. Sejak Perang Dunia II, Amerika Serikat telah menjadi pemasok utama bantuan militer, intelijen, dan dukungan diplomatik untuk Israel; hingga hari ini total dukungan kini bernilai ratusan miliar dolar sepanjang dekade, dan komitmen formal bernilai puluhan miliar di bawah memorandum of understanding terbaru. Ketika senjata, amunisi, dan sistem pertahanan mengalir, konsekuensinya tidak hanya pada skala operasi, tetapi juga pada kemampuan pihak yang lebih kuat untuk melanjutkan campur tangan militer yang berdampak pada warga sipil.
Lembaga-lembaga hak asasi dan kemanusiaan internasional telah menegaskan adanya pola yang mengkhawatirkan—pengusiran paksa, pembatasan akses terhadap layanan dasar, serta tindakan militer yang menimbulkan banyak korban sipil—bahkan dalam beberapa laporan disebutkan sebagai potensi kejahatan perang dan pelanggaran berat terhadap hukum humaniter internasional. Laporan Human Rights Watch dan organisasi lain mendokumentasikan bukti-bukti praktik yang menyebabkan penderitaan sistemik, termasuk pembatasan air bersih, listrik, bahan makanan, dan perlindungan medis, yang secara kumulatif menghancurkan kehidupan sipil. Ketika aspek-aspek mendasar kehidupan dipersenjatai sebagai alat perang, siapa yang bersalah? Yang paling rapuh—orang biasa—lah yang menjadi korban.
Baca Juga: Zionisme: Iblis Modern dalam Jas Kenegaraan
Berbicara tentang humanisasi korban bukanlah mendukung kekerasan; melainkan memaksa kita melihat wajah manusia di balik headline. Setiap angka anak yang disebut dalam laporan-laporan bukan hanya statistik: ia adalah sekolah yang tak lagi berfungsi, mainan yang terbungkus debu, mimpi yang dipangkas sebelum sempat tumbuh. Di kamp pengungsian, ibu-ibu merapal doa dan menyembunyikan luka; di rumah sakit, tenaga medis bekerja di bawah tekanan ekstrim, sering tanpa pasokan memadai. Narasi-narasi politik yang menasbihkan satu pihak sebagai “pembela” dan pihak lain sebagai “ancaman” harus berhenti mendesak nurani kita sehingga yang paling dasar — keselamatan warga sipil — menjadi prioritas tak tergoyahkan.
Perdebatan geopolitik dan keamanan tentu penting; tetapi keamanan yang sejati harus mengutamakan keselamatan manusia. Ketika negara-negara besar mengirim senjata, memblokir akses kemanusiaan, atau menggunakan veto diplomatik untuk menutup mata terhadap penderitaan yang terdokumentasi, mereka turut menulis bab-bab paling kelam dalam sejarah kemanusiaan modern. Pilihan-pilihan kebijakan bukanlah netral; ia menumpuk darah di jalanan dan air mata di rumah-rumah. Data dan catatan sejarah yang tercatat di organisasi-organisasi internasional seharusnya menjadi panggilan untuk akuntabilitas, bukan justifikasi pembiaran.
Apa yang bisa kita lakukan, sebagai manusia yang tidak rela menyaksikan keadilan tertindas? Pertama, jangan kehilangan empati: membaca laporan, mendengarkan kesaksian korban, dan menyebarkan kebenaran bukanlah tindakan sepele—itu menolak bisu moral. Kedua, dorong akuntabilitas hukum: institusi internasional harus mampu menyelidiki dan menegakkan hukum secara adil tanpa pilih kasih. Ketiga, dukung jalur bantuan kemanusiaan yang benar-benar menjangkau yang membutuhkan, dan desak kebijakan yang mengutamakan keselamatan sipil di atas ambisi militer.
Di tengah keganasan konflik, kita masih punya kata-kata: solidaritas, empati, dan tuntutan akan keadilan. Sebuah anak yang kehilangan rumah, sebuah keluarga yang kehilangan makan malamnya, seorang dokter yang tak pernah cukup tidur — mereka bukan angka. Mereka adalah panggilan agar dunia bertanya: untuk siapa kekuatan itu digunakan, dan apakah kita rela membiarkan pemerintahan dan aliansi-aliansi besar menjadi alasan bagi pembunuhan rakyat tak berdosa?
Baca Juga: Deklarasi New York, Hukuman bagi Pejuang dan Hadiah bagi Penjajah
Kita tak bisa mengubah sejarah dalam semalam. Tapi kita bisa menolak membiarkan sejarah berjalan tanpa ditantang. Kita dapat menjadi suara yang menuntut kebenaran, yang tak henti-hentinya menempatkan kemanusiaan di atas politik, dan yang menuntut agar setiap nyawa — termasuk nyawa yang tak pernah bersuara di panggung geopolitik — dihitung dan dilindungi.[]
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Jebakan Pemikiran Kolonial Rencana 20 Poin Trump tentang Gaza