Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

AS Katanya Penegak HAM, Tapi Mendukung Pelanggar HAM

Redaksi Editor : Bahron Ansori - Rabu, 16 Oktober 2024 - 13:41 WIB

Rabu, 16 Oktober 2024 - 13:41 WIB

36 Views

Oleh Irwan Amrullah, Alumni STAI Al-Fatah, pemerhati krisis Timur Tengah.

Amerika Serikat (AS) yang dikenal sebagai negara adidaya dan sering memposisikan diri sebagai penjaga hak asasi manusia (HAM), kini menghadapi kritik tajam atas sikapnya terhadap konflik yang terjadi di Gaza sejak 7 Oktober 2023. Serangan masif yang dilakukan oleh Israel di wilayah Gaza menimbulkan dampak kemanusiaan yang sangat besar, dengan ribuan korban jiwa termasuk warga sipil, wanita, dan anak-anak.

Namun, di tengah eskalasi kekerasan ini, Amerika Serikat justru terkesan bungkam dan tidak memberikan respons yang tegas untuk menghentikan kekerasan tersebut. Justru malah mendukung kejahatan kemanusiaan Zionis Israel dengan mengirim bantuan dana dan senjata. Apa yang menyebabkan AS bersikap seperti itu dan bagaimana persepsi dunia terhadap komitmennya pada HAM?

Sejak 7 Oktober 2023, serangan militer Israel ke Gaza menyebabkan situasi kemanusiaan yang sangat memprihatinkan. Menurut data terbaru yang tersedia dari konflik di Gaza yang dimulai pada 7 Oktober 2023, jumlah korban jiwa di pihak Palestina telah mencapai angka yang signifikan.

Baca Juga: Mahsyar dan Mansyar: Refleksi tentang Kehidupan Abadi

Berdasarkan laporan dari Palestinian Central Bureau of Statistics, lebih dari 42,411 warga Palestina kehilangan nyawa akibat konflik tersebut, dengan sekitar 98 persen dari total korban berasal dari Gaza sisanya dari bagian Tepi Barat. Dari jumlah tersebut, anak-anak yang terbunuh sekitar 16.891 dan wanita 11.458 Jiwa. Mereka adalah kelompok yang paling rentan dalam konflik ini.

Data ini menunjukkan skala krisis kemanusiaan yang sedang berlangsung di Gaza, terutama dengan jumlah korban jiwa yang terus meningkat hingga saat ini. Konflik yang terjadi telah menarik perhatian dunia internasional, meskipun respons global terhadap situasi di Gaza masih menimbulkan banyak kritik terkait kurangnya tindakan nyata untuk mengatasi Genosida yang dilakukan Israel terhadap warga sipil di sana.

Amerika Serikat (AS) yang mengaku sebagai bapaknya HAM dan yang memiliki pengaruh besar di kancah internasional, hanrusnya mengambil tindakan tegas terhadap konflik ini. Namun, alih-alih mendesak penghentian kekerasan atau memberikan tekanan terhadap Israel untuk menghormati hak-hak warga sipil, Amerika Serikat justru cenderung mendukung langkah-langkah militer Israel atas nama keamanan nasional. Dukungan ini disampaikan tanpa memperhatikan dampak serius pada warga sipil di Gaza yang tidak bersalah.

Standar Ganda Amerika Serikat Dalam Konflik di Gaza

Baca Juga: Sujud dan Mendekatlah

Sikap Amerika Serikat dalam konflik Gaza memperlihatkan standar ganda yang sudah sering menjadi ciri khas kebijakan luar negerinya. Ketika terjadi pelanggaran HAM di negara yang dianggap sebagai musuh politiknya, seperti Korea Utara atau Iran, Amerika Serikat sangat cepat untuk mengeluarkan kecaman keras bahkan menjatuhkan sanksi. Namun, ketika pelanggaran tersebut melibatkan sekutunya Israel, AS justru memilih untuk diam seribu bahasa, bahkan dengan terang-terangan memberikan dukungan militer dan politik kepada Israel tanpa mempertimbangkan dimensi kemanusiaannya.

Tentu sikap tersebut menuai kritik dari berbagai pihak, termasuk dari aktivis HAM dan sejumlah negara yang menganggap bahwa AS tidak benar-benar berkomitmen pada prinsip-prinsip hak asasi manusia yang sering mereka gembor-gemborkan. Mereka mempertanyakan bagaimana mungkin negara yang mengaku memperjuangkan HAM di berbagai belahan dunia, justru terdiam ketika terjadi krisis kemanusiaan yang jelas-jelas memerlukan tindakan segera. Apakah Amerika Serikat hanya mengutamakan kepentingan politik dan ekonominya di atas nilai-nilai kemanusiaan?

Kepentingan Politik dan Ekonomi di Balik Dukungan terhadap Israel

Melihat dari sejarah, hubungan erat antara Amerika Serikat dan Israel sudah berlangsung selama beberapa dekade, didasarkan pada kepentingan strategis dan aliansi politik di kawasan Timur Tengah. AS yang kerap kali memberikan bantuan militer dan ekonomi kepada Israel, memiliki kepentingan untuk menjaga stabilitas sekutunya di kawasan yang kaya akan sumber daya energi ini.

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-17] Berbuat Baik pada Segala Sesuatu

Sejak dimulainya perang Israel dengan Hamas pada 7 Oktober 2023, Amerika Serikat telah memberlakukan undang-undang yang menyediakan setidaknya $12,5 miliar dalam bantuan militer kepada Israel, yang mencakup $3,8 miliar dari RUU pada Maret 2024 (sesuai dengan MOU saat ini) dan $8,7 miliar dari undang-undang alokasi tambahan pada April 2024.

Amerika Serikat telah menyetujui sementara melalui nota kesepahaman (MoU) untuk memberikan Israel $3,8 miliar per tahun hingga tahun 2028. Dukungan AS terhadap Israel sering kali dianggap sebagai upaya untuk menjaga pengaruhnya di Timur Tengah, sekaligus menahan pengaruh negara-negara seperti Iran dan Rusia di kawasan tersebut.

Namun, dukungan ini datang dengan harga yang mahal, yaitu kredibilitas Amerika Serikat sebagai penegak HAM global. Kebijakan luar negeri yang mengutamakan stabilitas geopolitik di atas nilai-nilai kemanusiaan (HAM) menunjukkan bahwa sikap Amerika Serikat tidak konsisten. Ketika kepentingan politiknya bersinggungan dengan pelanggaran HAM, seperti genosida yang dilakukan Israel terhadap warga sipil Palestina, Amerika Serikat lebih memilih untuk mendukung sekutunya daripada berdiri di sisi kemanusiaan.

Sikap Amerika Serikat yang tidak konsisten ini tidak hanya berdampak pada persepsi dunia terhadap kebijakan luar negerinya, tetapi juga menciptakan ketegangan dalam hubungan diplomatiknya dengan sejumlah negara. Negara-negara di Timur Tengah, serta beberapa negara Eropa dan Asia, menganggap bahwa Amerika Serikat tidak dapat dipercaya sebagai penengah yang adil dalam konflik-konflik internasional. Mereka mengkritik kebijakan yang terkesan berpihak dan menuntut agar AS bertindak lebih adil dalam memperlakukan semua pelanggaran HAM, tanpa memandang siapa pelakunya.

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-16] Jangan Marah

Bahkan, di dalam negeri Amerika Serikat sendiri pun, protes dan kritik terhadap kebijakan ini mulai bermunculan. Sejumlah anggota parlemen dan aktivis hak asasi manusia di Amerika mengkritik sikap pemerintah yang dianggap tidak mencerminkan nilai-nilai kemanusiaan yang seharusnya dijunjung tinggi. Mereka menuntut agar Amerika Serikat lebih aktif dalam upaya diplomatik untuk menghentikan kekerasan dan memberikan perlindungan terhadap warga sipil di Gaza Palestina.

Diamnya Amerika Serikat Menghadapi Tuntutan Internasional

Di tengah kritik internasional yang semakin keras, Amerika Serikat tetap enggan untuk mengubah sikapnya. Alih-alih mendorong penghentian serangan dan mengupayakan gencatan senjata, Amerika Serikat justru memveto resolusi Dewan Keamanan PBB yang menyerukan penghentian kekerasan di Gaza. Langkah ini semakin mempertegas posisi Amerika Serikat yang lebih memprioritaskan dukungan terhadap Israel dibandingkan upaya untuk melindungi warga sipil di Gaza.

Padahal, organisasi internasional seperti Amnesty International dan Human Rights Watch sudah menyerukan adanya penyelidikan independen terhadap dugaan kejahatan perang yang dilakukan Israel dalam konflik ini. Laporan mereka menyebutkan adanya penggunaan kekuatan yang berlebihan, yang tidak proporsional dan berpotensi melanggar hukum internasional.

Baca Juga: Bahaya Zina dan Sebab Pengantarnya

Namun, Amerika Serikat tetap pada pendiriannya, bahkan menolak untuk menyebut tindakan tersebut sebagai bentuk “genosida” atau “kejahatan terhadap kemanusiaan,” meski fakta di lapangan menunjukkan situasi yang sangat kritis.

Krisis di Gaza telah memberikan bukti nyata, bahwa komitmen Amerika Serikat untuk menegakkan hak asasi manusia (HAM) secara konsisten, ternyata hanya omong kosong belaka. Tidak bisa dipungkiri lagi, bahkan hingga saat ini Amerika Serikat terus memilih untuk mengabaikan genosida yang dilakukan Israel terhadap warga sipil Palestina, dan AS lebih memilih memprioritaskan kepentingan geopolitiknya.

Sementara itu, masyarakat internasional yang tergabung dalam komunitas bela Palestina terus menuntut tindakan konkret dari Amerika Serikat untuk menggunakan pengaruhnya dalam meredakan konflik di Gaza, bukan malah memberikan dukungan tanpa syarat kepada Israel.

Konflik di gaza membutuhkan tindakan tegas dan benar yang mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan di atas kepentingan politik jangka pendek. Apakah Amerika Serikat siap untuk mengubah arah kebijakannya dan kembali menjadi pembela HAM sejati, atau justru memilih untuk tetap terdiam seribu bahasa..?.

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-15] Berkata yang Baik, Memuliakan Tamu, dan Tetangga

Dalam konteks ini, penting bagi komunitas internasional bela Palestina dan Umat Islam  agar terus mengecam atas tindakan Amerika Serikat yang terus mendukung Israel melakukan genosida di Palestina dan Umat Islam terus mengawasi dan mengkritisi kebijakan luar negeri Amerika Serikat agar nilai-nilai HAM dapat diterapkan secara lebih adil dan tidak bersifat selektif.

Meskipun Amerika Serikat memiliki pengaruh besar dalam urusan global, dunia membutuhkan sikap yang lebih konsisten dan berprinsip dalam penegakan hak asasi manusia agar keadilan bisa dirasakan oleh semua negara, tanpa pengecualian.[]

Mi’raj News Agency (MINA)

Baca Juga: Masih Adakah yang Membela Kejahatan Netanyahu?

Rekomendasi untuk Anda

Internasional
Amerika
Amerika
Amerika
Presiden Prabowo Subianto secara resmi memulai kunjungan kerja luar negeri perdananya, Jumat (08/11/2024), dengan mengunjungi sejumlah negara untuk melakukan pertemuan bilateral dan multilateral. (Foto: BPMI Setpres)
Asia
Dunia Islam