Asal Usul Gelar “Ash-Shiddiq” di Belakang Nama Abu Bakar

Kedekatan dan kesetiaan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam merupakan satu hal yang sangat melekat pada diri sahabat termulia, Abu Bakar. Kedekatan itu terlihat sejak persahabatan sebelum memeluk Islam hingga Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam wafat. Rasulullah dan Abu Bakart selalu dekat hati dan raganya.

Setelah sebelumnya pada tulisan “Persahabatan Mulia Abu Bakar dan Rasulullah” menceritakan tentang silsilah, karakter dan masa masuk Islamnya Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu, maka pada tulisan kali ini akan menceritakan asal mula gelar “” disematkan di belakang nama “Abu Bakar” menjadi “Abu Bakar Ash-Shiddiq”.

Bermula setelah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam kembali dari mi’raj ke Baitul Maqdis di Syam (Palestina). Lalu dari Baitul Maqdis kembali ke Makkah di malam itu juga.

Pada masa itu, kendaraan yang bisa dinaiki oleh orang Arab untuk berpergian cepat hanyalah onta atau kuda. Tetapi Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menempuh perjalanan sejauh sekitar 1.500 km hanya dalam waktu kurang dari semalam, dari setelah isya hingga sebelum fajar. Saat itu, jarak sejauh itu bisa ditempuh selama 40 hari. Ditambah cerita mi’raj (naik) menembus tujuh lapis langit hingga ke Sidratul Muntaha. Jelas cerita ini tidak masuk akal manusia pada masa itu. Itulah yang dirasakan oleh para pemimpin kafir Quraisy dan pengikutnya.

Sedemikian sulitnya diterima oleh akal, bahkan di kalangan cendekiawan Islam pun, masih ada yang berpendapat bahwa isra’ dan mi’raj Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam hanya bersifat rohani.  Artinya, Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam hanya rohaninya yang melakukan perjalanan, sementara fisiknya tidak melakukan isra’ dan mi’raj.

Dipagi hari setelah isra’ dan mi’raj, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pergi ke Masjidil Haram kemudian duduk seperti biasa. Lewatlah Abu Jahal dan berkata, “Apa yang terjadi, wahai Muhammad?”

Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menjawab, “Tadi malam, saya diperjalankan dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha.”

Abu Jahal bertanya, “Kemudian di pagi hari kau sudah di antara kami?”

Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menjawab, “Iya.”

Abu Jahal bertanya lagi, “Seandainya aku panggil orang-orang Quraisy, apakah kemudian kau akan kabarkan kepada mereka dengan apa yang sudah kau kabarkan kepadaku?”

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menjawab, “Iya.”

Maka benarlah, ketika orang-orang musyrikin Quraisy berkumpul, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menceritakan perjalanan isra’ dan mi’rajnya yang terjadi dalam satu malam saja.

Tak ayal, kaum musyrikin Makkah menertawakan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.

Lalu mereka mendatangi Abu Bakar sebagai seorang tokoh Quraisy dan juga sahabat kental Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Mereka ingin mendengarkan langsung reaksi sahabat terdekat Rasulullah. Mereka berharap sikap Abu Bakar akan sama dengan mereka mengingat peristiwa tersebut sangat sulit diterima akal.

Setelah bertemu dengan Abu Bakar, Abu Jahal yang memimpin kaum Quraisy berkata, “Hai Abu Bakar, bagaimana pendapatmu tentang cerita sahabatmu yang kamu cintai bahwa ia semalam telah pergi ke Baitul Maqdis dan pagi ini telah berada di Makkah bersama kita?”

Abu Bakar justru bertanya balik, “Apakah ia benar mengatakan demikian?”

Abu Jahal menjawab, “Ya, ia telah berkata demikian di depan orang banyak di masjid. Oleh karena itu, agar kamu mendengar langsung ucapan sahabatmu itu.”

Maka keluarlah kata-kata reaksi Abu Bakar yang mencengangkan dan tidak diharapkan oleh orang-orang Quaisy yang dipimpin Abu Jahal.

Abu Bakar berkata dengan mantap, “Jika benar demikian, maka sungguh ia memang benar dan tidak akan pernah berdusta.”

Abu Jahal dan kawan-kawannya berkata, “Apakah kamu membenarkan perkataannya bahwa ia telah pergi ke Baitul Maqdis semalam, dan kembali ke Makkah sebelum fajar?”

Abu Bakar menegaskan, “Ya, aku membenarkan perkataannya dan aku membenarkan ia meskipun lebih jauh daripada itu. Aku akan membenarkan berita dari langit, baik di waktu pagi ataupun sore yang datang darinya.”

Abu Bakar kemudian meminta Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam untuk menggambarkan kejadian tersebut. Rasulullah pun menggambarkan seluruh peristiwa yang dialaminya secara detail.

Abu Bakar kemudian berkata, “Engkau benar, aku bersaksi bahwa engkau utusan Allah.”

Maka Rasulullah pun berkata kepada Abu Bakar, “Engkau adalah Abu Bakar Ash-Shiddiq.”

Sejak saat itulah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam memberi gelar “As-Siddiq” kepada Abu Bakar.

Mengapa Rasulullah memberi gelas Ash-Shiddiq yang berarti “membenarkan” kepada Abu Bakar? Karena di saat orang lain tidak mempercayai ucapan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tentang peristiwa isra’ dan mi’raj, ia membenarkannya sendiri dan yakin bahwa Rasulullah tidak akan pernah berbohong, karena beliau selalu dijaga kesucian hatinya oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Ya, keunggulan Abu Bakar Ash-Shiddiq ada pada keyakinan, kecintaan, ketulusan, kepatuhan dan kesungguhan dalam menerima ajaran Allah. Sesuatu yang umumnya tidak mudah dinilai secara kasat mata, tapi butuh ‘ainul bashirah’ (mata hati) untuk melihatnya.

Karena itu, seorang ulama salaf berkata,

مَا فَضَلَ أَبُو بَكْرٍ النَّاسَ بِكَثْرَةِ صَلاةٍ ، وَلا بِكَثْرَةِ صِيَامٍ ، وَلَكِنْ بِشَيْءٍ وَقَرَ فِي صَدْرِهِ

“Abu Bakar tidak mengungguli manusia dengan banyaknya shalat dan puasa, akan tetapi dengan sesuatu yang tertanam dalam dadanya.” (Riwayat Hakim dan Tirmizi)

(A/RI-1/RS3)

 

Mi’raj News Agency (MINA)